Di atas ayunan tua, di bawah sinar rembulan nampak sosok pria tampan yang terus menengadah ke atas. Sambil sesekali menunjuk ke atas langit, jarinya pun mengikuti rasi bintang lalu menyatukan rasi bintang yang satu dengan bintang yang lain, mulutnya seperti tengah berkomat-kamit.
Mengapa malam ini begitu sepi? Hanya ada aku, kamu, kamu, kamu dan kamu. Kemana bintang yang lain? Begitulah pria berpiama biru tua itu berbisik pada bintang . Apa kau tidak merasa sepi ketika kau tak berkawan seperti itu?
Derit ayunan yang sesekali dihembus angin serasa mengganggu perbincangannya dengan bintang. Tak lama, khayalan pria yang berambut pirang itu kembali ke masa lalu. Bola matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar, pipinya yang tirus itu pun basah.
Sial, kenapa semuanya harus seperti ini, Tuhan? Kenapa semua orang-orang terdekatku malah pergi? Aku sendiri hanya menjadi sampah yang selalu dianggap hina oleh manusia di luar sana. Kenapa, Tuhan? Apa ini adil untukku?
Di malam yang sepi itu Renand murka. Kecewa dan sedih bergumul dalam hatinya. Cermin yang sedari tadi ia genggam kembali ditatapnya.
Ia menatap cermin itu, lalu terpaku saat melihat gambaran wanita di cermin. Ia teringat dengan masa lalunya. Masa lalunya, yang seharusnya tak membuat ia menyesal dan begitu murka akan keadilan Tuhan.
Usiaku waktu itu baru 18 tahun, dan saat itulah aku mulai diperkenalkan oleh dunia kepada kesendirian. Ketika orangtuaku memilih untuk berpisah, aku lebih baik memilih untuk tinggal bersama ibu ketimbang ayah. Pria itu sering mabuk-mabukan dan berjudi.
Perubahan drastis mulai muncul dalam hidupku. Dengan ibu, aku jarang sekali bercakap layaknya seorang anak dan orangtua. Dia lebih senang menyibukkan diri dengan mengejar karir dibanding memperhatikan aku, putri semata wayangnya. Dia pikir aku sudah bisa hidup mandiri.
Setelah lulus dari SMA, aku memilih untuk meneruskan kuliah di universitas swasta dan mengambil jurusan perekonomian. Jika kau tanya ibuku, saat ini aku semester berapa, aku berani bertaruh, pasti dia jawab tidak tahu.
Aku memang termasuk seseorang yang terlihat cuek. Di kampus, aku tak pernah memiliki seorang kawan. Aku hanya sendiri. Semua orang lebih terlihat segan, bahkan enggan untuk menjadikanku sebagai temannya. Mungkin karena profesiku, model yang wara-wiri di majalah ternama.
Kini aku tengah duduk di semester akhir, hampir semua teman seangkatanku sudah lulus. Hanya beberapa orang saja yang masih bertahan dan mendapat predikat mahasiswi abadi, termasuk aku.
Seperti biasanya, saat pikiranku sedang kacau, hanya sebotol beer dan sebungkus rokok yang menjadi teman setiaku. Mereka berhasil membuatku melupakan segala permasalahan hidup, bahkan urusan di dunia kampus.
Aku memang bukanlah termasuk anak yang pandai, semua nilai mata kuliahku hampir di bawah rata-rata. Itulah yang menjadi faktor utama aku malas untuk menyelesaikan tugas akhirku. Sampai aku muak dengan beberapa dosen yang terus menerus mengingatkanku untuk cepat-cepat menyelesaikan tugas akhirku.
Di sudut cafe di kampus, saat aku tengah menikmati tegukan secangkir vanilla latte, tiba-tiba sesosok lelaki tampan, dengan mata yang sipit dan kulitnya yang putih menghampiriku. Berbeda dengan yang lain, ia berani menyapaku dan berani duduk di depanku. Ia pun langsung menyodorkan tangannya. Aku yang terkenal dengan kesombongan dan keangkuhanku tentu saja tidak membalas jabat yang disodorkan lelaki itu.
Aku terus menikmati minuman favoritku. Tapi, sikap ketusku itu tak membuatnya menghentikan usahanya. Tiba-tiba ia tertawa— lebih tepatnya menertawakan—hasil ujianku yang sedari tadi terbuka lebar di atas meja. Yaa, memang hasilnya sangat buruk.
“Ternyata benar yah, kecantikan selalu berbanding terbalik dengan kepintaran.”
Aku kesal mendengar omongan lelaki itu. Aku pun memilih untuk meninggalkan tempat tersebut.
Kejadian tempo lalu membuatku malas untuk menginjakkan kaki di kampus. Pertemuanku dengan lelaki itu ternyata bukan hanya pertama kalinya. Tanpa disengaja aku kembali bertemu dengan dia di rumahku sendiri. Aku pikir dia sengaja mengikutiku, tapi ternyata dia hanya seorang tukang cuci pengganti Mang Adam tukang cuciku dulu.
Ha, kebetulan sekali memang. Tapi perlahan kurasa ini kebetulan yang menyenangkan. Hidupnya sebagai perantau membuat Daren siap untuk bekerja apapun, termasuk sebagai tukang cuci. Aku pun mulai terbiasa dengan kehadirannya di rumah. Aku yang selalu merasa sepi seperti mendapatkan seorang teman baru.
Sampai akhirnya, kedekatakan kami mulai terjalin. Ternyata lelaki kurus yang menurutku menyebalkan itu sangat pandai. Dia yang usianya lebih muda dariku mau menolongku untuk menyelesaikan tugas akhirku. Dia menjadi satu-satunya teman terbaikku. Panggil saja ia Daren, seorang Kristiani yang taat. Tak pernah ia meninggalkan ibadahnya sekalipun.
Hubungan kami mulai membaik, aku sebagai seorang muslim tak pernah mempermasalahkan statusnya sebagai seorang Kristiani. Kami berdua bukan sepasang kekasih, tapi kedekatan kami seperti kekasih. Ketika hubunganku dengan Daren semakin intim, aku mulai tersadar dengan kekuranganku. Aku bukanlah seperti wanita seutuhnya.
Prangg!
Gelas yang semula aku genggam terjatuh, serpihannya mengenai telapak kakiku. Aku tersungkur, lagi-lagi air mataku kembali tumpah, mengingat kondisiku yang ternyata berbeda dengan wanita normal lainnya.
Siapa aku ini Tuhan, perempuan? Tapi apa perempuan normal seperti ini?
Aku pun terus mencaci diriku sendiri. Di depan cermin ku buka semua pakaianku, lamat-lamat aku menatap semua badanku. Tapi mengapa aku malah seperti pria Tuhan? Apa rencanamu sebenarnya untukku? Aku yang tidak memiliki dada seperti perempuan, aku pun tak pernah mengalami masa bulanan seperti perempuan. Kedekatanku dengan Daren membuatku semakin frustasi. Apa Daren akan meninggalkanku setelah mengetahui kondisiku seperti ini?
Ibu. Aku seperti tak memiliki seorang ibu, ia tak pernah ada waktu untukku. Bahkan mengetahui gejolak batinku saja tidak. Ia selalu sibuk, sibuk, dan sibuk.
Sampai suatu hari aku dikejutkan dengan sesosok bintang televisi yang telah berhasil melakukan operasi transgender. Artikel di hadapanku pun membuat mataku tertarik untuk membacanya. Seketika pikiranku dipenuhi dengan info transgender.
Untuk melakukan operasi transgender ternyata membutuhkan biaya yang tak sedikit. Aku mulai berpikir untuk melakukan operasi transgender. Uang hasil kerjaku ternyata cukup membantu. Tapi aku pikir, aku harus memberitahukan ibu, meskipun aku malas untuk memberitahunya.
Suara pintu depan yang dibuka mengiringi sesosok wanita tua dengan raut lusuh memasuki ruang tengah, tepat di mana aku berada.
“Tumben kamu di sini? Nunggu ibu?”
Dia menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul 23:45.
“Bu, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
“Apa, Nak? sepertinya serius sekali?” tanya ibu penuh selidik.
“Bu, aku mau operasi transgender”
“Maksudmu????”
“Tunggu dulu bu, jangan potong omonganku.”
Ibuku terdiam.
“Ibu tak pernah tahu kondisiku seperti apa,.”
Kutarik lengan ibu untuk meraba dadaku.
“Lihat, Bu, rasakan, aku tidak seperti perempuan normal lainnya. Apa aku pernah mendapatkan menstruasi seperti perempuan normal lainnya? Aku tidak pernah mengalami itu semua, Bu!”
Ibu terdiam. Aku melihat ekspresi kebingungan di wajahnya dan tiba-tiba air mata ibu terjatuh. Ia memelukku erat. Aku yang selalu berjanji dalam hati untuk tidak akan pernah menangis depan ibu akhirnya gagal juga. Air mataku tumpah. Pelukan itu terasa canggung bagiku. Setelah sekian lama, aku bisa merasakan pelukan seorang ibu lagi.
“Nak, kenapa kau tidak pernah menceritakan ini semua?”
“Sejak kapan Ibu punya waktu untukku?”
“Ini sudah menjadi keputusan bulatku, Bu. Aku hanya ingin meminta izin untuk melakukan ini semua. Aku pikir kehidupanku akan lebih menyenangkan dan lebih tenang ketika aku menjadi seorang pria.”
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut ibu, dia hanya memelukku erat sambil terus menangis.
“Aku sudah mendapatkan informasi untuk melakukan operasi transgender, delapan bulan lagi aku akan pergi ke Jerman, Bu.”
“Maafkan Ibu, Nak.. Ibu telah menjadi ibu yang gagal. Kondisimu seperti ini saja, Ibu tak tahu. Ibu carikan dokter untuk menangani kondisimu, ya, Nak?”
“Tidak usah, Bu. Usiaku sudah tua¸ sulit untuk mendapatkan pengobatan dan itu semua akan akan sia-sia.”
Perbincanganku dengan ibu berakhir ketika jam di dinding menunjukkan pukul 03:00 dini hari. Dengan kejadian semalam, aku menjadi lebih pendiam dan memutuskan untuk mengurung diri selama berhari-hari. Daren pun mencariku. dia berhasil menemukanku yang sedang menyendiri di kamar.
Daren sepertinya mempunyai rencana untuk menghiburku, dia menawarkanku untuk pergi dengannya. Kami menghabiskan waktu berdua hari itu. Daren membawaku ke tempat para pengais sampah. Di sana terdapat sekolah untuk anak-anak jalanan, di mana semua pengajarnya adalah teman-teman Daren, tapi aku tak menghiraukan kondisi saat itu. Aku masih seperti dihipnotis suasana semalam, malam saat bersama Ibu. Aku hanya terus terdiam.
Tak terasa selama satu hari kuhabiskan bersama Daren. Selama itu pula aku hanya terus terdiam. Hari sudah semakin malam, aku pun memutuskan untuk menginap di kosan Daren. Suasana kosan Daren malam itu nampak berbeda, ada beberapa pernak-pernik natal.
“Lusa, aku akan merayakan natal,” ucap Daren, seperti tahu isi kepalaku. “Mau membantuku memasang ini semua?” Aku hanya mengangguk, menyanggupi pintanya.
Saat natal tiba, aku masih berada di tempat Daren. aku selalu berjanji untuk saling menghargai satu sama lain. Begitupun ketika ia merayakan natal. Perdebatanku tentang toleransi beragama membuat kami selalu percaya semua orang bisa saling percaya meskipun berbeda agama, bukan malah menjatuhkan atau menghujat satu sama lain.
“Ren, aku pergi sembahyang dulu yah,” pamit Daren sambil membuyarkan semua lamunanku.
“Hati-hati yah…” sahutku.
Perhatianku tertarik pada pemberitaan yang disiarkan di televisi saat itu. Para awak media sibuk mengabarkan pengeboman gereja oleh segerombolan orang-orang yang mengaku Islam. Hatiku hancur. Ketika Daren kembali, ia pun melihat pemberitaan yang membuat hatinya tak kalah hancur. Daren kecewa dengan toleransi umat beragama di negaraku. Saat dirinya berada di luar, ia mendengar beberapa orang menyudutkan agamanya.
Sebagai seorang lelaki yang taat beragama, ia sangat kecewa dengan kejadian itu. Melihat pemberitaan seperti itu membuat Daren memutuskan untuk pergi. Hari yang seharusnya menyenangkan justru malah menjadi hari di mana pertemuanku dengan Daren itu untuk terakhir kalinya. Aku melihat Daren sedang mengemasi semua barang-barangnya. Aku bingung, sebenarnya apa yang terjadi dengan Daren. Aku beranikan untuk bertanya, ia hanya menjawab ketus pertanyaanku.
“Aku kecewa dengan semua ini, aku pikir Indonesia adalah tempat bernaung yang tepat bagiku. Tempat yang menawarkan kedamaian bagi pendatang sepertiku. Ternyata itu hanya kedamaian semu.”
Puas melampiaskan kekecewaannya padaku, ia bergegas pergi. Mataku memanas saat punggungnya lamat-lamat menjauh dan menghilang seiring laju bus yang ditumpanginya. Aku hanya bisa menangis. Aku pikir Tuhan telah merampas semua kebahagianku. Silahkan Tuhan, ambil semua milikku! Aku menyumpahi, mencerca Dia yang membuatku tak kuat menahan kesedihan yang begitu besar ini.
Awal bulan Mei aku membulatkan hati untuk pergi ke Jerman. Tak ada yang mengantarkan keberangkatanku. Ibu pun tak ada. Perjalanan dinas ke luar kota, seperti biasa. Perjalanan selama delapan jam pun mengantarkanku menuju Jerman.
###
Setelah tiga bulan aku melakukan operasi, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Saat aku menapakkan kakiku di rumah, aku melihat sosok wanita yang tengah terkulai lemah di sofa. Kondisi ibu yang semakin tua membuatnya harus banyak istirahat.
“Maaf, mau mencari siapa?” Tanya Ibu padaku. Dia tak menyangka operasiku akan berhasil.
“Ini Iren, Bu.”
Ibu membelalakkan kedua matanya tak percaya. Pria yang berada di depannya berhasil membuatnya tertipu dan tidak mengenali anak kandungnya sendiri.
“Ini kamu nak?” Ibu mencoba meyakinkan diri kalau ini aku putrinya.
“Iya Bu, sekarang panggil aku Renand.”
###
Tapi ternyata, kehidupanku setelah menjadi Renand justru semakin memburuk. Orang-orang mulai mengetahui keputusanku untuk mengubah jati diri. Semua orang menghinaku yang kini menjadi Renand. Orang-orang menganggapku murtad, karena menurut mereka aku telah menyalahi kodrat Tuhan. Aku semakin tak kuasa menjalani hidupku selama ini. Kenapa semua yang aku kerjakan selalu salah? Apa dilahirkannya aku ke dunia ini pun salah?
Jauh dari kata kebahagiaan, setelah sembilan bulan aku berhasil mengubah diriku sebagai seorang lelaki. Kini kesedihan kembali menimpa hidupku. Kondisi ibu yang semakin tua membuat ia sering sakit-sakitan, dan tak lama kemudian dipanggil Tuhan. Kini aku seperti hidup sebatang kara. Orang-orang di luar sana bahkan terus mencaciku. Aku dianggap hina di mata mereka. Jika harus seperti ini, aku memilih untuk tidak dilahirkan ke dunia yang kejam ini, dunia yang tak pernah membiarkanku bahagia.”
Tiba-tiba ponselku mengedip-ngedipkan lampu berwarna hijau. Ketika aku membuka pesan pendek yang tak tahu siapa pengirimnya.
“Allah tidak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya” (Al-Hujwiri).
Mungkin hanya sms iseng, tapi apa makna dari sms ini? Siapa yang berani-beraninya mengkhutbahiku? Aku terus berpikir dengan keberadaanku yang ternyata seperti sampah, tidak berguna, bahkan tidak cukup berguna untuk diri sendiri.
Saat malam hari tiba, aku memutuskan untuk menuju taman belakang. Taman yang biasanya aku habiskan waktu bersama Daren. Di sana terdapat dua buah ayunan besi tua yang sudah reot. Malam itu terasa sangat sepi, pikiranku mulai kacau, mengingat semua hinaan orang-orang di luar sana. Aku lelah jika dipanggil banci! Aku Renand! Batinku meyakinkan.
Kuambil sebuah cermin dan kutatap cermin yang sedari tadi menjadi temanku di malam itu.
“Kau tak pernah bohong cermin, kini aku Renand. Mengapa semua orang memanggilku banci? Apa yang salah denganku?”
Dinginnya malam membuat gigiku bergemeletuk, tapi aku tidak memperdulikan cuaca malam itu. Aku yang terus memperhatikan diriku di cermin hanya ditemani oleh bayangan hitam tentang diriku dan keempat bintang keparat yang hanya di bertengger di atas sana.
Aku terdiam menatap wajahku dalam-dalam di cermin. Samar-samar aku melihat sosok Iren di pantulan itu. Bukan Renand. Air mataku tiba-tiba mengalir, melihat sosokku yang dulu. Seketika aku merasa begitu menjijikkan. Hanya karena nafsu, aku rela merubah takdirku sebagai seorang laki-laki.
Aku pikir keputusan yang akan aku ambil membuat hidupku menjadi lebih baik. Itu semua hanya omong kosong.
Tuhan, Kau begitu jahat membiarkan aku ditertawakan oleh orang banyak, dan membiarkanku hidup sebatang kara!
Tiba-tiba tetesan air dari atas sana menimpa wajah si lelaki. Lama kelamaan, air itu semakin banyak, tubuhnya mulai kuyup. Dia pun memutuskan untuk menuju kamar dan berhenti menatap bintang di tengah malam.
Average Rating