Judul buku : Jejak Jurnalis Perempuan
Penulis : Luviana
Penerbit : Aliansi Jurnalis Independen
Tebal buku : 197 halaman
Cetakan : Juni 2012
Dalam dunia pekerjaan, perempuan selalu dipandang sebelah mata, hal itu berlawanan dengan laki-laki yang dianggap lebih unggul. Bahkan di berbagai tempat, perempuan-perempuan dipandang sebagai kelompok masyarakat tertinggal. Pengaturan perempuan hanya pada kodrat biologisnya. Hal ini sering menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan gender.
Kondisi yang timpang itu pun terjadi dalam profesi jurnalistik. Di sini para perempuan seakan dinomorduakan sehingga berdampak pada masalah kesejahteraan dan keadilan sosial. Berlatar belakang ketimpangan tersebut, Luviana, mantan jurnalis nasional menulis sebuah buku yang berjudul Jejak Jurnalis Perempuan. Bagi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang menerbitkan buku ini, menganggap karya tersebut sebagai langkah kecil dalam hal menguatkan peran jurnalis perempuan dalam dunia media dan jurnalistik modern.
Dalam bukunya, Luvi mencoba mengulas bagaimana mula para perempuan berkiprah di dunia jurnalistik. Awalnya, sebelum adanya emansipasi, perempuan tidak mendapatkan hak-hak kewarganegaraan seperti pendidikan. Namun, kondisi suram yang menimpa perempuan tersebut, telah menemukan titik terang dengan kemunculan ide tentang emansipasi yang dibawa Kartini, pada 1900. Di mana dengan adanya emansipasi perempuan, kaum wanita memilik hak yang setara dengan kaum pria dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Emansipasi sebagai gerbang bagi profesi jurnalis perempuan itu dibawa Kartini dari pendidikannya di Barat. Ia pun kemudian mengilhami banyak perempuan untuk gemar menulis. Alhasil, di tahun 1908 ia telah berhasil mencetak banyak jurnalis perempuan untuk menggawangi sebuah media, seperti di koran Poetri Hindia yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo.
Di mana para jurnalis perempuan saat itu, lebih sering menulis tentang apa yang mereka alami di masa-masa kolonial Belanda. Menjadi seorang jurnalis perempuan bukan tanpa kendala, hal itulah yang mempengaruhi jumlah seorang jurnalis perempuan pada sebuah media. Hal itu terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh Divisi Perempuan AJI Indonesia tahun 2012.
Berdasarkan masalah yang berhasil terkumpul, jurnalis perempuan mengalami persoalan khusus dalam karirnya. Pertama, mereka mengalami beban ganda yaitu urusan rumah tangga dan urusan kantor. Kedua, tidak mendapatkan gaji yang sama dengan jurnalis laki-laki, alasannya karena perempuan bukan termasuk kepala rumah tangga.
Ketiga, mereka sering mengalami pelecehan dari narasumber laki-laki. Keempat, mereka tidak mendapatkan penilaian yang baik ketika sedang mengalami kehamilan. Kelima, mereka harus selalu dituntut untuk terlihat cantik dan rapi jika sedang berada di depan kamera.
Seperti yang pernah dialami oleh Wakil Pemimpin Redaksi Sinar Harapan, Fransiska Ria Susanti, ia sempat mengalami peristiwa pelecehan yang dilakukan narasumbernya saat ia sedang menjalankan tugas peliputan di Aceh, 2005. Menurut Susanti, posisi jurnalis perempuan untuk liputan di daerah konflik menjadi lebih rawan dibandingkan laki-laki.
Melihat permasalahan-permasalahan yang dialami oleh para jurnalis perempuan, penulis pun berharap perusahaan tempat ia bekerja memberikan fasilitas yang baik, seperti perlindungan kerja, transportasi yang nyaman di malam hari, juga tunjangan lain seperti asuransi dan uang makan yang memadai.
Buku ini terdiri dari delapan bab pokok bahasan. Bab pertama membahas tentang latar belakang mengapa buku ini ditulis. Kedua, membahas potret jurnalis perempuan di Indonesia. Ketiga, membahas banyaknya jurnalis perempuan yang mengalami diskriminasi. Keempat, membahas jejak para jurnalis perempuan.
Dalam bab kelima membahas hambatan yang dilalui oleh para jurnalis perempuan. Keenam membahas tantangan berserikat dan berorganisasi bagi perempuan. Ketujuh, berupa ajakan bagi para jurnlis perempuan untuk mengemukakan pendapat dan mengatasi persoalan yang dialami. Dan bab terakhir, tentang standar layak kerja bagi jurnalis perempuan.
Selain itu, buku yang memiliki tebal 197 halaman ini menceritakan tentang pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan di Indonesia dengan mencantumkan laporan hasil survei dalam bentuk grafik. Disajikannya buku yang ditulis oleh mantan wartawan nasional ini agar menjadi acuan bagi program-program penguatan peran jurnalis perempuan ke depan secara konkret dan lebih strategis.
Namun ada sedikit kekurangan dari buku ini, pembahasan yang sama terus diulang-ulang. Sehingga membuat pembaca bosan. Tapi dengan membaca buku ini kita bisa mengetahui bagaimana standar layak kerja jurnalis perempuan. (Nurlaela)
Average Rating