Read Time:3 Minute, 58 Second
|
Ilustrator: Jeannita Kirana |
Salah satu dosen Jurusan PBSI dituding telah melakukan tindak plagiarisme. Belum ada aturan, penyelesaian kasus tak temui titik terang.
“Ini fitnah! Saya mengajar Pragmatik sudah lama. Kalaupun ada yang sama, ya mana saya tahu.”
Kalimat itu terlontar dari mulut Hindun sesaat setelah Institut, Jumat (23/10) menanyakan perihal tindak plagiarisme yang ditudingkan padanya. Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menampik tudingan kalau dirinya telah melakukan tindak plagiarisme dalam buku Pragmatik yang ditulisnya.
“Jadi orang jangan sok tahu, apalagi kalau hanya hipotesis. Lagipula, satu-satunya orang yang berhak menuntut plagiarisme adalah pengarang atau penulis buku tersebut,” sambungnya.
Dugaan tindak plagiarisme yang diduga dilakukan Hindun dalam buku Pragmatik karyanya memang tengah santer dibicarakan di lingkungan dosen dan mahasiswa PBSI sejak beberapa bulan terakhir. Semuanya bermula saat sebuah pesan elektronik diterima Ketua Jurusan (Kajur) PBSI, Makyun Subuki awal Juni lalu. Pesan elektronik itu berisi catatan bukti dugaan tindak plagiarisme dalam buku Pragmatik karya Hindun.
Dalam catatan yang dijadikan bukti dugaan tindak plagiarisme itu di antaranya menyebutkan, tertera ketiadaan catatan kaki dan daftar pustaka di buku Pragmatik karya Hindun saat mengutip dari Jurnal Religia Vol.15 No.1 karya Muhammad Jaeni.
Di halaman bukunya yang lain sesuai draf catatan itu, Hindun juga tidak mencantumkan sumber laman http://tianfatmanuraini.blogspot.co.id/2011/06/pragmatik-dalam-kegiatan-berbahasa.html. Padahal, pada pembahasan tentang prinsip pemakaian bahasa dengan pendekatan Pragmatik di halaman 33 buku Hindun, persis sama seperti dalam laman blog itu. Ia hanya mengganti pembagian poin berdasarkan huruf (a,b,c,d) menjadi penomoran (1,2,3,4).
“Menurut saya itu dapat dikatakan plagiarisme. Tapi menurut LPM (Lembaga Penjaminan Mutu) takutnya berbeda, walaupun menurut bukti sudah pasti dikatakan plagiarisme,” kata Makyun yang enggan menyebutkan identitas si pengirim pesan elektronik itu, Selasa (20/10). Ia kemudian membawa kasus itu ke LPM UIN Jakarta untuk ditindaklanjuti.
Ditemui Institut, Ketua LPM UIN Jakarta, Sururin tak menampik dugaan kasus plagiarisme oleh dosen yang ia terima. Namun, ketika ditanya nama dosen tertuduh, Sururin enggan bicara. “Iya, ada satu kasus (plagiarisme) yang kami terima 4 bulan lalu,” katanya, Rabu (21/10).
Hingga kini atau terhitung hampir lima bulan berjalan, dugaan kasus plagiarisme oleh Hindun masih dalam proses penanganan dan belum ada kejelasan soal sanksi yang akan dijatuhkan. Pihak LPM dan Komisi Etik UIN Jakarta masih bekerjasama menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) dan pedoman yang rencananya baru rampung akhir tahun ini.
Menyinggung kasus ini, Wakil Dekan (Wadek) I Bidang Akademik FITK, Muhammad Zuhdi mengaku tak tahu menahu tentang kasus dugaan plagiarisme yang dilakukan dosen di fakultasnya. “Belum ada yang dilaporkan dan belum ada yang dibahas di senat fakultas,” ujar Zuhdi, Rabu (21/10).
Sekalipun ada kasus plagiarisme yang dilakukan dosen FITK, Senat Fakultas, kata Zuhdi, tak memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi. “Semua tergantung keputusan rektor. fakultas hanya menjalankan”. Menurutnya, tidak ada aturan dekan untuk memberhentikan dosen. Namun, Zuhdi tetap menyayangkan ketiadaan laporan dari pihak jurusan pada senat fakultas terkait kasus ini.
Berbeda dengan Zuhdi, Sekretaris Komisi Etik UIN Jakarta, Amany Lubis mengatakan bahwa fakultas memiliki wewenang untuk menindak kasus plagiarisme. Penanganan kasus plagiarisme baru ditangani komisi etik, jika tidak terselesaikan di tingkat fakultas. “Kalau tetap dibiarkan saja, ya, itu namanya tidak ada political will (niat baik pemimpin),” katanya, Jumat (18/9).
Sementara itu, Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada mengaku belum menerima laporan adanya kasus plagiarisme, baik dari LPM maupun para wakil rektor (warek). Soal plagiarisme, kata Dede, UIN perlu segera membuat aturan agar kasus serupa tidak terulang kembali. Untuk itu, perlu ada sanksi tegas. “Plagiat itu kejahatan akademik. Plagiat itu jahat. Jahat sekali,” tegas Dede, Jumat (23/10).
Namun untuk soal ini, kata Dede, universitas tetap tidak berhak menjatuhkan hukuman seperti mencabut gelar atau memberhentikan tersangka plagiat dari jabatannya. Katanya, menurunkan pangkat jabatan adalah kewenangan kementerian.
Pernyataan berbeda keluar dari Warek I Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga. Menurutnya, ada beberapa tahapan yang mesti dilalui sebelum penjatuhan sanksi terhadap tersangka plagiarisme, yakni pemanggilan untuk mengklarifikasi. “Jika benar dosen tersebut melakukan plagiarisme maka universitas berhak mencabut gelar dan jabatannya,” katanya, Senin (12/10).
Sejauh ini, untuk mengatur kasus plagiarisme, UIN Jakarta masih mengacu pada Buku Panduan Kode Etik. Dalam buku tersebut ada beberapa bentuk hukuman yang akan dijatuhkan pada pelaku plagiarisme.Antara lain, dinyatakan gugur atau tidak lulus dalam penulisan karya ilmiah, dikeluarkan, dan atau dicabut gelar dan karya ilmiahnya. Perbedaan penjatuhan sanksi disesuaikan tingkat plagiarisme yang dilakukan.
Sayangnya, Buku Pedoman Kode Etik tidak mengatur secara rinci tingkat plagiarisme yang terdapat dalam sebuah karya ilmiah plus bentuk sanksi yang dijatuhkan. Menurut Ketua LPM, Sururin, karena itu UIN Jakarta hingga kini belum bisa menjatuhi sanksi kepada Hindun atas tuduhan tindak plagiarisme yang dilakukannya. “Saya belum baca keseluruhan. Tapi sepertinya sudah masuk plagiarisme,” jelas Ketua LPM, Sururin.
Arini Nurfadilah
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating