Read Time:4 Minute, 10 Second
Tiga puluh tiga lukisan yang memuat berbagai filosofi tentang kesaksian budaya Indonesia menyambut pengunjung di Gedung D Pameran Galeri Nasional, Jakarta, Senin (18/9). Lukisan tersebut hasil buah tangan Yos Suprapto. Sebagai pelaku budaya, Yos ingin berdialog melalui karya-karyanya yang lahir dari cita karsa sebagai masyarakat Indonesia.
Dalam lukisannya, Yos mengolah figurasi realis yang berakar pada tradisi realisme sosial ala Diego Rivera dan Taring Padi. Nuansa simbolisme realistik disajikan dalam lukisan budayawan yang kerap mengangkat isu lingkungan, sosial, dan politik Indonesia tersebut seakan mengingatkan kembali pada sapuan kuas para perupa Jogja era 1980-an.
Memasuki ruangan, di depan meja registrasi terdapat Press Release yang menuliskan bahwa sejarah perjalanan sebuah bangsa tidak selalu mulus. Lebih masuk ke dalam ruang pameran, terdapat lukisan yang berjudul “Arus Balik” yang disajikan dengan sapuan tinta akrilik warna kuning diatas kanvas berukuran 175×145 cm. Melalui lukisan tersebut, Yos Suprapto seakan berdialog kepada pengunjung tentang kemunduran bangsa ini. Setelah melakukan berbagai penelitian, ia menemukan fakta yang belum pernah diungkap oleh sejarah. Hasil penelitian tersebut menyatakan, hanya dengan 15 kapal dagang, Vereenidge Oostindische Compagnie (VOC) mampu menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun.
Lukisan “Arus Balik” yang dibuat dengan ilustrasi kapal dan ombak lautan rupanya sarat akan nilai sejarah. Ditinjau dari beberapa manuskrip yang ada di India, Kerajaan Majapahit pernah mengerahkan dua ribu kapal perang untuk menghadang kekuatan China dalam melancarkan serangan ke Indonesia. Mirisnya, hanya dengan 15 kapal dagang saja Indonesia dengan mudah menjadi negara jajahan. Untuk menuju arus balik, masyarakat harus memahami kultur sejarah dengan benar. Menurut Yos, kultur penjajahan yang diserap ke dalam alam bawah sadar mampu membebaskan pemikiran masyarakat Indonesia.
Kemudian, melangkah lebih masuk lagi, terdapat lukisan dengan sapuan warna kuning, coklat, dan hijau. Dalam lukisan itu, tampak beberapa orang laki-laki mencari emas di sungai dekat pegunungan. Indonesia memang dikenal dengan kekayaan sumber daya alam dan budayanya. Bermula dari penelitiannya di Banyuwangi, ia menyadari bahwa kota tersebut kaya akan tambang emas.
Lukisan berjudul “Pendulang Emas” tersebut mengungkapkan kegelisahan terhadap pihak asing yang mencuri kekayaan alam Indonesia. Kala itu, modus yang digunakan adalah sistem barter. Ketika isu terorisme menyebar, Indonesia meminta bantuan kepada Densus 88. Bantuan akan diberikan oleh pihak asing dengan syarat pihak asing diizinkan mengelola sumber daya alam Indonesia.
Kegelisahan terkait banyaknya kasus korupsi yang menimpa negeri ini pun turut digambarkan dalam tiga lukisan lainnya yang saling berkorelasi. Dalam lukisan “Berburu Predator” terlihat lelaki yang menaiki kapal menombak ikan hiu. Setelah ditombak, lukisan “Penyeret Predator” memperlihatkan dua orang menyeret satu ikan hiu. Kemudian, dalam lukisan “Menangkap Predator,” ikan hiu yang sudah sampai di daratan diangkat oleh masyarakat. Ikan hiu dalam lukisan Yos diibaratkan sebagai predator. Di Indonesia, menurut Yos, yang layak disebut predator adalah para koruptor.
Tak hanya itu, Presiden Republik Indonesia Jokowi pun turut diilustrasikan dalam lukisan berjudul “Air Mata”. Jokowi tampak menangis dalam lukisan tersebut. Yos menyampaikan pesan nyinyirisasi terkait sikap bangsa ini. Masyarakat dengan mudah diadu domba dengan kepentingan politik asing dengan menggunakan tangan masyarakat Indonesia sendiri. Jokowi dinilai mewarisi otoritas Orde Baru, bahkan dituduh beraliran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Yos mengemukakan harapannya terhadap bangsa Indonesia dalam lukisannya yang berjudul ”Cakrawala.” Dengan gambar kapal yang menuju cahaya, lukisan yang dibuat dengan nuansa matahari terbit itu seakan menyiratkan asa. Menurut Yos, Cakrawala berarti batasan antara langit dan bumi yang bisa melahirkan cahaya terang. Ia berharap agar masyarakat Indonesia mampu melihat titik terang. Dalam sebuah kultur sejarah, tidak ada sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, semua ada akarnya.
Yos memandang, perpecahan tidak relevan bagi bangsa Indonesia. Harus ada cinta kasih agar Indonesia menjadi damai. “Seperti bayi yang lahir karena adanya cinta kasih antara lelaki dan perempuan,” ungkapnya saat ditemui di Gedung D Pameran Galeri Nasional, Senin (18/9).
Pameran Tunggal Yos Suprapto ini berlangsung sejak 14 September sampai 3 Oktober 2017. Dengan mengusung tema “Arus Balik Cakrawala 2017,” pameran ini dinilai unik. Pasalnya, belum ada pelukis Indonesia yang mengkombinasikan penelitian menjadi bentuk visual. Lebih menariknya lagi, Yos selalu memadupadankan lukisannya dengan perkembangan zaman. “Sekarang kita sudah memasuki zaman kuantum yang serba cepat. Paradigma berpikir dengan ilmu pengetahuan pun harus mengikuti perkembangan zaman,” ucapnya, Senin (18/9).
Lukisan-lukisan tersebut berhasil menarik perhatian salah seorang pengunjung Ariyo yang sejak dulu tertarik dengan dunia seni lukis. Pameran ini digunakannya sebagai referensi visual baru dari Yos Suprapto yang begitu memperhatikan potret Indonesia masa kini. “Sejak dulu saya suka seni lukis, seperti sarana pelampiasan kegalauan,” kata Ariyo yang juga Alumni Mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Senin (18/9).
Senada dengan hal itu, Mahasiswi Bina Sarana Informatika Jurusan Manajemen Informatika pun turut mengungkapkan ketertarikannya. Menurutnya, pameran lukisan dapat dijadikan sarana belajar tentang art. “Lukisan diatas kanvas besar dengan sapuan warna yang sangat detail memiliki kesan tersendiri,” terangnya, Senin (18/9).
Sebagai saksi dan sekaligus pelaku sejarah kontemporer, Yos ingin konsep berdialog lewat pameran senirupa. Ia berharap mampu membangun sebuah budaya keberanian berekspresi dalam merefleksikan proses pergeseran nilai yang terjadi selama ini. “Dengan melukis, aku tidak perlu menulis. Meskipun tulisanku tidak dibaca banyak orang, tapi paling tidak aku bisa berdialog lewat lukisan,” pungkasnya, Senin (18/9).
SHR
Average Rating