Read Time:2 Minute, 53 Second
Oleh: Muftie Arief*
Masih hangat diperbincangkan di tongkrongan kopi hingga forum diskusi mengenai kebijakan Uang Kuliah Tunggal di kampus UIN JAKARTA. Berlaku pada mahasiswa baru tahun ajaran 2017/2018 melalui SK rektor no 287 tahun 2017 dan keputusan menteri agama no 157 tahun 2017 tentang penetapan Uang Kuliah Tunggal.
Pada kemenag no 157 tahun 2017 point 3, “Uang Kuliah Tunggal datang dengan janji pembayaran kuliah sesuai kemampuan ekonomi mahasiswa, pengasilan orang tua mahasiswa, atau pihak yang membiayainya”. point 4 “ UKT kelompok I paling sedikit 5% dari jumlah mahasiswa yang diterima” bahkan pada Permendikbud No 55 tahun 2013 “Kelompok UKT II dibatasi kuotanya 5% dari jumlah mahasiswa diterima”. Dilanjutkan dengan janji subsidi silang antara golongan mampu kepada yang tidak mampu. Tapi mari kita simak beberapa pertanyaan ini. Apakah penetapan golongan UKT sudah sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa? benarkah subsidi silang atau kedok penipuan?
Jahatnya UKT di UIN Jakarta
UIN Jakarta pada tahun 2017 menyediakan 5.500 kursi bagi mahasiswa baru, dilansir laman web resmi uinjkt.ac.id. Namun, Ketika PBAK 2017 kampus mengumumkan hanya 5.300 mahasiswa baru yang mengisi kursi dari 5.500 kursi yang disediakan. Kemanakah 200 mahasiswa baru diterima yang hilang dari pengumuman? Berbagai asumsi mengatakan, mayoritas mahasiswa baru tersebut terpaksa menggugurkan niatnya berkuliah di UIN Jakarta karna faktor penetapan kelompok UKT yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarganya. Sangat disayangkan kejadian “tak kuliah karena tak punya biaya” akibat dampak dari UKT.
Mari kita bermain hitung-hitungan korban UKT.
Jumlah Mahasiswa Baru UIN Jakarta = 5.300
Jumlah 5% kelompok I = 265 mahasiswa
Jumlah 5% kelompok II = 265 mahasiswa
Kel I + kel II = 530 mahasiswa
530 : 11 Fakultas = ± 48 mahasiswa tiap fakultas
Maka rata-rata tiap fakultas di UIN Jakarta hanya menerima ±48 mahasiswa pada UKT kel I dan kel II dari jumlah mahasiswa baru di tiap fakultas.
Penulis menganggap angka ini masih sangat sedikit, dan penulis mengingkan tak perlu ada kuota karena siapapun berkesempatan untuk berpendidikan secara terjangkau.
UKT Melanggar Konstitusi
Pembatasan kuota pada kelompok UKT I dan II telah menciderai konstitusi, karena bagaimanapun pada UUD 45 pasal 31 ayat 1 “Setiap Warga Negara berhak mendapat pendidikan” ayat 2 “Negara wajib membiayainya”. Sejak adanya UKT pada setiap PTN maka pendidikan bukan lagi hak bagi setiap warga negara, namun bagi segelintir orang yang punya uang.
Pemerintah pun tidak hadir dalam pemenuhan pendidikan warga negara. Inilah sebetulnya pokok permasalahan UKT, yakni “Merampas hak pendidikan warga negara”. Pada UU PT No 12 tahun 2012 pasal 74 ayat 2 “PTN wajib menjaring mahasiswa tidak mampu sebanyak 20% dari jumlah mahasiswa baru yang diterima”. Setelah UKT, PTN membatasi kuota bagi mahasiswa tidak mampu sebanyak 5% kelompok I dan II. Berarti jumlah tersebut berkurang dari sebelumnya 20% hingga sekarang 10% saja bagi mahasiswa tak mampu untuk berkuliah.
Belum lagi ketidaksesuaian penetapan kelompok UKT, misalnya salah satu mahasiswa UIN yang memiliki penghasilan orang tua 1jt/bulan harus membayar sebesar 3,4jt/semester. Ini tidak hanya dialami oleh satu mahasiswa bahkan ratusan mahasiswa merasa keberatan dengan penetapan kelompok UKT. Pihak kampus mempersilahkan mahasiswanya yang keberatan dengan penetapan UKT untuk mengklarifikasi agar terjadi penurunan biaya UKT. Berkali-kali mengajukan klarifikasi ternyata mendapat penolakan dan dipaksa menerima hal yang sudah ditetapkan kampus. Hal ini semakin meyakinkan penulis bahwa betul “Orang miskin tak boleh kuliah”.
Kita seperti kembali pada masa penjajahan di mana yang mampu mengenyam pendidikan hanya kaum bangsawan. Padahal cita-cita pendidikan bangsa kita pada pembukaan UUD 45 alinea 4 yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
*Penulis adalah mahasiswa FISIP dan anggota aktif Gerakan Pemuda Partiotik Indonesia (GPPI) UIN Jakarta
Average Rating