Cacat Era Jokowi

Cacat Era Jokowi

Read Time:6 Minute, 47 Second
Cacat Era Jokowi

Era pemerintahan Presiden Jokowi menorehkan sejarah hitam. Pasalnya, korupsi menteri paling banyak terjadi di masa pemerintahannya. Salah satu faktor yaitu lemah dan tidak tegasnya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi.  


Kasus korupsi di Indonesia meningkat selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2022  terjadi 8,63 persen peningkatan kasus korupsi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Rilisan ICW juga menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun dari skor 38 pada tahun 2021 menjadi skor 34 di tahun 2022. 

Dilansir dari Kompas TV, selama rentang 10 tahun periode pemerintahan Presiden Jokowi terdapat 6 menteri yang terlibat kasus korupsi. Perolehan tersebut melebihi jumlah menteri yang tersandung kasus korupsi di masa pemerintahan presiden sebelumnya.

Ketua Moot Court Community (MCC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Defa Asyafa menilai politik Indonesia sekarang sedang kacau balau. Defa mengatakan, fenomena politik yang tidak biasa menandakan kacaunya politik saat ini. “Seperti putusan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilatarbelakangi kepentingan politik. Dan penangkapan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan pemerasan” ujar Defa, Selasa (5/12).

Defa mengungkapkan, praktik korupsi tidak hanya terjadi pada menteri sebagai lembaga eksekutif, tetapi juga lembaga legislatif dan yudikatif. Lanjut Defa, selama eksistensi menteri hadir di Indonesia, jumlah menteri yang terjerat kasus korupsi terbanyak terdapat  di era Presiden Jokowi. “Berdasarkan data yang saya cek, ada enam kasus korupsi yang melibatkan menteri Presiden Jokowi,” tuturnya.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, pemberantasan korupsi yang pemerintah lakukan  tidak mengalami kemajuan. Kurnia menilai, reformasi pemberantasan korupsi yang diusung oleh Presiden Jokowi masih lemah. “Pada 2019 lalu ada perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 yang melemahkan KPK dalam menindak kasus korupsi,” tutur Kurnia, Sabtu (2/12).

Pengamat politik UIN Jakarta, Zaki Mubarok mengatakan, korupsi sudah seperti wabah yang sulit diberantas sehingga terjadi di semua level termasuk lembaga pemerintahan. Lanjut Zaki, pemerintahan Presiden Jokowi yang serba transaksional menjadikan  pemberantasan korupsi tidak optimal. “Tidak tampak keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya,” kata Zaki, Selasa (28/11).

Korupsi Era SBY dan Jokowi

Defa menyampaikan, korupsi di masa Presiden Jokowi lebih parah dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Lanjut Defa, korupsi menteri era Presiden Jokowi  terbanyak sepanjang sejarah Indonesia. “Di masa Presiden SBY sebelumnya terdapat lima menteri yang korupsi. Walaupun banyak tapi tidak sebanyak Presiden Jokowi,” ucapnya.

Kurnia mengatakan, kasus korupsi atau pun penanganan korupsi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sama saja dengan era Presiden Joko Widodo sekarang. “Namun yang pasti, kelemahan pemberantasan korupsi banyak terjadi di era Presiden Jokowi,” ujarnya.

Sebab Maraknya Menteri Korupsi 

Mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta, Eki Nurdiansyah menyatakan, etika dan moral pejabat pemerintahan khususnya menteri masih rendah. Lanjut, ketika rendahnya etika dan moral perlu adanya norma hukum yang lebih tinggi untuk menertibkannya. “Untuk itu diperlukan ketegasan hukum bagi para menteri,” ujar Eki, Rabu (6/12).

Eki menambahkan, seharusnya pemerintah bisa mengatasi korupsi melalui reshuffle—penggantian—menteri dengan  tujuan memperbaiki kinerja menteri sebelumnya. Namun, reshuffle menteri yang dilakukan Presiden Jokowi banyak berdasarkan kepentingan politik. “Seperti pengangkatan ketua relawan Pro Jokowi (Projo) menggantikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny Gerard Plate,” tuturnya.  

Defa mengatakan, ketika kekuasaan semakin luas, potensi dalam penyalahgunaan kekuasaan semakin tinggi. Sehingga diperlukan pengawasan terhadap para penguasa. Lanjut Defa, Presiden Jokowi yang punya hak dalam memilih menteri tentu juga harus bertanggung jawab dalam pengawasannya. “Jika terdapat korupsi, berarti ada yang salah dalam sistem pemilihan dan pengawasan menteri oleh Presiden Jokowi,” lanjutnya. 

Lanjut, Defa mengungkapkan,  penyebab lain maraknya menteri yang korupsi karena ada pergeseran makna dari partai politik. Defa menambahkan, ketika partai politik punya kendali banyak dalam pencalonan presiden maka akan terjadi politik balas budi. Akhirnya, lanjut Defa, pemilihan menteri yang dilakukan presiden bukan lagi berdasarkan kompetensi mereka, melainkan negosiasi presiden dengan partai politik pendukungnya.

Kurnia mengungkapkan, salah satu masalah penyebab maraknya menteri korupsi adalah ketika presiden tidak cermat dalam memilih menteri-menterinya. Sekalipun hal tersebut  tidak menunjukkan adanya potensi menteri melakukan korupsi. Namun, memperlihatkan rendahnya indikator integritas presiden dalam menentukan menterinya.

Kurnia melanjutkan, masalah lain karena kurangnya pengawasan terhadap para menteri. Menurutnya, inspektorat kementerian harus lebih mengawasi permasalahan kementeriannya. “Baik promosi, mutasi ataupun  rotasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kementerian terkait,” tuturnya.

Zaki menilai, upaya pemberantasan korupsi sudah tidak efektif. KPK sebagai lembaga yang membersihkan negara dari  korupsi juga bermasalah. “Kemarin, Ketua KPK Firli Bahuri menjadi tersangka kasus gratifikasi. Ini ironis dan menunjukkan rendahnya integritas KPK,” ucapnya. 

Pengaruh Politik

Defa mengatakan, fenomena maraknya menteri korupsi memiliki hubungan yang kental dengan persaingan politik. Lanjut Defa, hal itu karena adanya indikasi korupsi yang dilakukan menteri untuk kepentingan partai. “Anehkan, partai mencalonkan menteri, namun juga dengan instruksi untuk melakukan korupsi demi pendanaan partainya,” ujarnya.

Kurnia menyatakan, penegak hukum harus independen dalam mengusut kasus korupsi di Indonesia. Jangan sampai penegak hukum diintervensi dan digunakan sebagai alat pukul kekuasaan terhadap pihak yang berseberangan. “Keterkaitan persaingan politik harus dijawab penegak hukum hari ini apalagi menjelang Pemilu sekarang,” ujarnya.

Zaki memaparkan, pemberantasan korupsi masih tebang pilih, keras dan tegas terhadap lawan politik tapi lemah terhadap rekannya. Akhirnya penegakan hukum menjadi alat politik saja. “Misalnya KPK yang dekat dengan menteri pendukung istana, sehingga beberapa kasus korupsi mereka dibuat kabur dan hilang begitu saja,” ujarnya.

Solusi untuk Pemerintah

Eki menuturkan, efektifitas penegakan hukum tergantung pada tiga unsur, yaitu substansi, struktur, dan budaya hukum. Oleh karena itu, diperlukan substansi  hukum yang mampu memberi efek jera disertai pengawasan dan pembudayaan hukum dalam kehidupan masyarakat. “Hukum akan efektif  dalam pemberantasan korupsi ketika unsur tersebut terpenuhi,” ucapnya.

Defa menyatakan, Partai Politik (Parpol) merupakan salah satu organisasi yang penting dalam menyempurnakan demokrasi Indonesia. Menurutnya, pendanaan terhadap Parpol dapat meminimalisir menteri yang korupsi untuk partainya. Namun, lanjut Defa,  pendanaan tersebut  harus rasional. “Pernah ada gagasan untuk mendanai Parpol dari APBN senilai satu triliun rupiah, kalau itu kan tidak masuk akal juga,”ucapnya.

Defa menambahkan, prinsip keadilan adalah keadilan mayoritas. Lanjut Defa, hukuman mati terhadap koruptor memang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap satu orang. Namun, ia melakukan kejahatan yang menimbulkan hilangnya hak banyak orang, sebetulnya layak menerima hukuman mati sebagai bentuk keadilan. “Contohnya Juliari Batubara yang memotong bantuan sosial untuk masyarakat terdampak Covid-19,” tuturnya.

Defa melanjutkan, wibawa hukum terletak pada sanksinya dalam memberi efek jera. Ketika hukum tidak lagi memberi efek jera maka gagal disebut hukum. “Di Cina contohnya, sanksi bagi pelaku koruptor adalah hukuman mati. Kemudian satu generasi di atas dan di bawahnya, yaitu ibu dan anaknya dihukum penjara,” sambungnya.

Kurnia mengungkapkan,  pemberian sanksi yang membuat jera koruptor merupakan salah satu solusi dari maraknya kasus korupsi. Namun, efek jera yang diberikan harus didukung dengan lembaga penegak hukum yang independen. Lanjut, menurut Kurnia hal itulah yang sudah langka.  “KPK saja saat ini sudah tidak menjadi lembaga negara yang independen,” sambungnya.

Kemudian, Kurnia mengatakan, UU yang memuat pemidanaan maksimal bisa menjadi pendukung efek jera terhadap koruptor. Menurutnya, UU tindak pidana korupsi masih lemah. “UU masih memberikan celah para koruptor untuk  divonis ringan,” ucapnya.

Zaki mengatakan, perlu tindakan revolusioner untuk memunculkan efek jera. Pejabat pemerintah harus diberi sanksi yang lebih berat dan tegas. “Saat ini hukuman penjara bagi koruptor masih ringan dan sering bisa dinegosiasikan,” ujarnya.

Zaki melanjutkan, jika hukuman mati tidak memungkinkan lantaran melanggar HAM, maka jatuhkan hukuman seumur hidup. Ia juga menyarankan pemerintah menyita semua kekayaan koruptor yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.

Perlunya Keterlibatan Masyarakat

Eki mengungkapkan, masyarakat juga harus paham terhadap hukum negara. Masyarakat perlu memberikan masukan dan saran untuk penegakan hukum. “Sehingga permasalahan hukum melibatkan masyarakat dan tidak hanya pemerintah yang menyelesaikan,” tuturnya.

Lanjut, Eki mengatakan, masyarakat sebagai pemegang tongkat estafet pemerintahan berikutnya, tentu perlu memiliki dan menerapkan etika serta moral sedari dini. “Selain pengetahuan hukum, etika dan moral ini penting diketahui masyarakat,” ucapnya.

Defa menyatakan, masyarakat harus selalu mempertanyakan dibalik kebijakan pemerintah. Ia menegaskan, masyarakat berhak untuk mengawasi pemerintahan dengan selalu meminta transparansi. Namun juga aktif memberikan solusi untuk penyelenggaraan Negara. “Dalam UU dikatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat,” tuturnya.

Kurnia menyatakan, masyarakat harus mendukung penegakan hukum yang dilakukan KPK, kejaksaan ataupun kepolisian sembari mengkritisi kinerja lembaga tersebut. “Dalam artian kalau baik harus  kita dukung, kalau keliru kita kritisi,” pungkasnya.

Reporter: MAI

Editor: Muhammad Naufal Waliyyuddin

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Terbelenggu Patriarki Melawan Tradisi Previous post Terbelenggu Patriarki Melawan Tradisi
39 Tahun Berdiri, LPM Institut Selalu Berdedikasi Next post 39 Tahun Berdiri, LPM Institut Selalu Berdedikasi