Read Time:3 Minute, 27 Second
Tak kurang dua minggu UIN Jakarta bakal punya rektor baru. Seabrek persoalan–baik intern maupun ekstern–sudah menunggu calon orang nomor satu di kampus peradaban ini. Terlebih, UIN Jakarta kini tengah berbenah menuju kampus bertaraf internasional (WCU).
Kepada reporter INSTITUT, Thohirin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Azyumardi Azra, me-ngatakan persoalan utama bagi rektor baru nanti yakni harus mampu me-ningkatkan kualitas akademik. “UIN Jakarta harus mampu meningkatkan jumlah profesor, Dr. ataupun Ph.D.,” katanya, Kamis (2/10).
Tak hanya itu, rektor UIN Jakarta periode 1998-2006 ini juga menyampaikan pandangannya soal kebijakan Kemendikbud tentang masa percepatan studi mahasiswa S1. Menurutnya, Kemendikbud semestinya tidak mendikolonisasi perguruan tinggi. Namun sebaliknya, Kemendikbud harus mengembalikan otonomi perguruan tinggi.
Bagaimana Anda melihat kondisi UIN Jakarta saat ini?
Kondisi UIN Jakarta, menurut saya, cukup berkembang. Jumlah mahasiswa dan lulusan juga terus meningkat. Situasi kemahasiswaan juga cukup kondusif dalam menunjang proses pembelajaran.
Lantas, apa tantangan terbesar bagi rektor baru UIN Jakarta nanti?
Tantangan utama bagi rektor baru nanti adalah meningkatkan kualitas akademik. Menambah jumlah profesor dan Dr./Ph.D., meningkatkan kerapian dan kebersihan kampus. Dan memperkuat jaringan kerjasama de-ngan pihak dalam dan luar negeri.
Oleh karena itu, UIN kini perlu sosok akademisi terkemuka. Bukan hanya dikenal lingkungan perguruan tinggi Indonesia, namun juga di luar negeri. Sekaligus juga bisa menjadi semacam CEO (Chief Operating Officer) untuk mengelola UIN. Rektor baru nanti juga harus memiliki jaringan dengan berbagai pihak baik di dalam maupun luar negeri.
Salah satu syarat utama menjadi WCU, UIN Jakarta harus meningkatkan publikasi ilmiah. Namun, kondisi yang terjadi malah sebaliknya. Menurut anda, langkah apa yang harus diambil rektor UIN Jakarta nanti?
Soal penelitian, UIN seharusnya bisa membentuk kelompok peneliti handal yang dapat melakukan riset serius dalam menghasilkan artikel ilmiah untuk diterbitkan pada jurnal dalam dan luar negeri. Karena itu, perlu pendanaan lebih besar dan penerbitan jurnal di lingkungan UIN secara lebih teratur.
UIN Jakarta kerap dikaitkan dengan isu-isu radikalisme agama. Apa tanggapan Anda?
Isu ini tidak perlu dibesar-besarkan. Jika ada yang terlibat radikalisme, itu hanya satu dua orang yang sudah tidak ada kaitan langsung dengan UIN. Pimpinan UIN mendatang harus lebih waspada mengawasi berbagai lembaga. Khususnya masjid dan fasilitas lain yang kerap dimanfaatkan pihak luar–kelompok radikal.
Menurut saya, UIN Jakarta tetap merupakan PTAIN progresif yang memadukan keislaman, keindonesiaan dan kemodernan serta menjadi benteng akademis Islam wasatiyah.
Sebagian kalangan menilai kebijakan Kemendikbud soal masa percepatan studi S1 bakal berimbas pada menurunnya kualitas lulusan S1. Tak terkecuali UIN Jakarta?
Banyak kebijakan Kemendikbud yang menciptakan masalah, termasuk percepatan masa studi yang tidak jelas, kewajiban menulis di jurnal, dan sebagainya. Seharusnya percepatan studi itu harus dilakukan dengan penyederhanaan kurikulum dan pemberian fasilitas Proses Belajar Mengajar (PBM) yang lebih lengkap.
Karena itu, pemerintah mendatang sepatutnya melakukan reformasi pada pendidikan tinggi, pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan tinggi di Indonesia harus kembali mendapat otonominya. Tidak dikolonisasi Kemendikbud. Jadi, harus ada dekolonisasi perguruan tinggi.
Sebenarnya, ‘percepatan studi’ juga tidak jelas. Karena itu, sebaiknya penerapan kebiijakan itu ditunda dulu sampai terbentuknya kabinet baru yang sedikit banyak mengambil kebijakan baru. Termasuk dalam bidang pendidikan—dasar, menengah dan tinggi.
Pasca konversi IAIN menjadi UIN, fakultas-fakultas agama kurang diminati mahasiswa baru. Seperti Dirasat dan Ushuluddin. Terbukti, dua fakultas itu membuka jalur khusus untuk menarik mahasiswa baru?
Saya kira, hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena itu terkait dengan persepsi masyarakat pada lapangan kerja. Namun, yang perlu dilakukan Kemenag dan pesantren adalah kembali mendirikan dan memperbanyak Madrasah Aliyah Program Khusus Keagamaan (MA PK) yang menjadi sumber asupan bagi jurusan, prodi, dan fakultas semacam itu. Sangat disesalkan penutupan MA PK oleh Kementerian Agama beberapa tahun lalu.
Kenapa Anda tidak kembali mencalonkan diri menjadi rektor?
Sejak selesai periode kedua sebagai rektor (2006), saya sudah memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi. Meski pada pilrek tahun tersebut, ada petisi dari sejumlah anggota senat yang meminta saya maju lagi karena mereka berpendapat saya baru sekali menjadi rektor UIN (2002-2006). Sebelumnya kan saya hanya jadi rektor IAIN (1998-2002).
Saya juga pernah diminta mencalonkan diri pada 2010, tapi saya menolak dan menyatakan, “I am already history (saya sudah menjadi sejarah).” Bagi rektor mendatang, lebih baik generasi muda yang mendapat kesempatan dan tanggung jawab untuk memajukan UIN.
Average Rating