Pemerintah menghapus pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam UU ITE. Meski begitu, kedua pasal tersebut kini pindah ke dalam KUHP pasal 433 dan 434.
Selasa (6/12) lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalamnya terdapat Pasal tentang pencemaran kehormatan dan fitnah yang tercantum pada Pasal 433 hingga 434, yang sebelumnya merupakan Pasal 27 dan 28 mengenai pencemaran nama baik dan penghinaan dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dilansir dari Kompas.id, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan, pasal 27 dan 28 UU ITE dipindahkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dengan penyesuaian-penyesuaian.
Menurut keterangan Mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Politik Arrifqi Maulana, penghapusan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE membawa kabar suka dan duka.
Ia pun setuju dengan penghapusan pasal tersebut. Sebab, lanjutnya, sudah banyak tokoh masyarakat yang terseret ke penjara saat menyampaikan pendapatnya di depan umum.
Berbagai lapisan masyarakat, lanjutnya, juga sudah mengkritik pasal tersebut secara masif. “Pemerintah akhirnya sadar dengan kekeliruan mereka dalam pembuatan pasal yang mencederai demokrasi. Namun, negara terlambat dalam mengatasi kebodohannya sendiri,” tutur Arrifqi, Jumat (9/12).
Mahasiswa Prodi Jurnalistik Aji Juasal Mahendra menjelaskan, pasal pencemaran nama baik tidak benar-benar dihapus, melainkan hanya dipindahkan ke dalam KUHP. Meski begitu, Aji mengaku setuju dengan dipindahkannya pasal tersebut ke dalam KUHP. “Perlu ada pembaharuan dalam KUHP dengan dasar penggantiannya berasal dari buatan anak bangsa,” ujarnya, Minggu (11/12).
Menurut keterangan Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Muhammad Kholid, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE saat ini belum semuanya tercantum dalam KUHP lama. Oleh sebab itu, kata dia, perlu adanya aturan hukum yang mengikuti perkembangan zaman.
Selain itu, lanjut Kholid, perlu adanya kepastian hukum dalam penerapan pasal pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media elektronik. Untuk memberikan suatu kepastian hukum, kata dia, maka mesti disertai dengan konsistensi dalam menegakkan norma hukum perundang-undangan.
Salah satu bentuk konsistensinya, lanjutnya, yaitu dengan tidak adanya benturan pengaturan di antara peraturan perundang-undangan yang menentukan berfungsinya norma-norma hukum yang telah berlaku di Indonesia.
Kholid menambahkan, dalam menentukan suatu peraturan perundang-undangan setingkat KUHP, pemerintah mesti mengakomodasi masukan dari berbagai lapisan masyarakat. “Saya setuju dengan kebijakan tersebut demi suatu kepastian hukum,” pungkasnya, Kamis (8/12).
Reporter: SA
Editor: Haya Nadhira