Perempuan Dalam Bayang-Bayang Seksisme

Perempuan Dalam Bayang-Bayang Seksisme

Read Time:5 Minute, 43 Second
Perempuan Dalam Bayang-Bayang Seksisme

Pelecehan seksual pada perempuan di Indonesia masih menjadi masalah yang serius dan kerap dinormalisasikan oleh masyarakat. Dari data real time Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) per 8 April 2025, menunjukan sebanyak 5.099 korbannya adalah perempuan. Pelecehan seksual seringkali dapat berakar dari seksisme. Sebab, seksisme menciptakan perilaku buruk kepada seseorang dan dapat menjadi jalan bagi pelaku untuk berperilaku yang tidak hormat, termasuk pelecehan seksual. Melansir dari Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), seksisme adalah diskriminasi berdasarkan gender atau pemikiran yang percaya bahwa laki-laki itu lebih superior dibandingkan perempuan.  

Mengutip jurnal Pendidikan, Bahasa dan Sastra, berjudul Bahasa Seksis dan Sikap Seksisme dalam Bahasa Indonesia oleh Nur Indah Sholikhati, Lely Tri Wijayanti, dan Exwan Andriyan Verrysaputro, bahasa seksis biasanya menyajikan stereotipe yang merugikan perempuan. Seksis bisa berbentuk bahasa yang merendahkan yang dapat mewujudkan berbagai anggapan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin, serta adanya pandangan bahwa perempuanlah yang memiliki kewajiban mengerjakan tugas-tugas domestik.                                                                                                                                                               

Beberapa waktu lalu, viral di media sosial Indonesia salah seorang tokoh publik mengeluarkan narasi yang berbau seksisme. Pernyataan seksis itu dilontarkan oleh salah satu anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang juga selebritas, Ahmad Dhani, dalam rapat kerja dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada Rabu (5/3). Ia mengeluarkan pernyataan yang mencerminkan objektifikasi terhadap perempuan, di mana perempuan hanya menjadi sarana reproduksi untuk mencapai tujuan.

“Pemain bola di atas 40 tahun yang mau dinaturalisasi, dan mungkin yang duda, kita carikan jodoh di Indonesia. Apalagi muslim bisa empat istrinya. Kemungkinan ada pemain Arab, Algeria, Maroko, pemain jago-jago yang sudah tua, kita naturalisasi, carikan istri disini lalu anaknya kita bina, hasilnya akan lebih baik, karena Indonesia born,” kata Ahmad Dhani. 

Pernyataan Ahmad Dhani tersebut, menomorduakan hak perempuan sebagai individu yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Hal itu bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk kesetaraan dan keadilan gender yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang penetapan ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tujuan 5. 

CEDAW mengamanatkan pada tokoh publik, untuk tidak mendiskriminasi perempuan dan menghapuskan segala tindakan diskriminatif. Kemudian, menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menentukan pilihan hidup, termasuk dalam urusan pernikahan dan reproduksi.          

Tidak hanya itu, kasus lain dapat dilihat saat kampanye pasangan calon (paslon) Harda-Danang pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sleman 2024. Mereka menampilkan baliho bertuliskan, “Milih imam (pemimpin) kok wedok, jangan ya dik ya! Imam kudu lanang”. Sontak, hal itu menimbulkan kontroversi karena menampilkan pesan dengan menegaskan stereotipe gender serta terselip ujaran seksisme.

Dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 9 tahun 2000, tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, berisi peraturan dan amanat kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga nonKementerian, Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia yang bertujuan untuk mengatasi ketidaksetaraan gender. Salah satunya menginstruksikan untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional sebagaimana terlampir dalam Instruksi Presiden sebagai acuan dalam melaksanakan pengarusutamaan gender. Namun, dalam praktiknya, baliho tersebut mengandung pesan yang memperkuat diskriminasi gender dan unsur seksisme yang bertentangan dengan inpres itu.

Dalam sudut pandang patriarki di ruang publik dan rendahnya kesadaran mengenai pendidikan gender di ranah politik, perempuan kerap menjadi korban utama seksisme. Ujaran seksisme yang berkembang dalam masyarakat tidak hanya mencerminkan ketidaksetaraan gender, melainkan juga memperkuat stereotip bahwa perempuan berada di posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Sehingga, perempuan sering kali diremehkan dalam berbagai aspek, yang dapat memperkuat sistem patriarki yang ada. 

Pada Sabtu (22/3) Institut telah melakukan wawancara khusus dengan pendiri Lingkar Studi Feminis (LSF), Eva Nurcahyani. Ia juga merupakan seorang aktivis dalam isu keperempuanan. Wawancara tersebut membahas mengenai ujaran seksis yang dilontarkan tokoh publik, terutama di ranah politik yang kerap kali terjadi. 

Mengapa narasi seksis sering muncul pada tokoh publik?

Narasi seksis tidak hanya terjadi pada tokoh publik, tetapi juga terjadi pada masyarakat umum. Namun, yang menjadi perhatian utama adalah ketika tokoh publik yang dikenal masyarakat luas memiliki pola pikir sempit, karena tidak membekali dirinya secara substansi terkait isu perempuan seperti seksisme, feminisme, dan kesetaraan gender. 

Padahal, jika mereka memiliki pengetahuan akan hal tersebut, mereka akan lebih memahami bagaimana peran tokoh publik dalam merumuskan kebijakan yang adil. Namun, terkadang walaupun sudah membekali diri secara substansi, mereka mungkin saja tetap menutup diri dan berpandangan bahwa perempuan memang wajar jika dilabeli secara seksis. Berpikiran bahwa perempuan hanya pabrik anak yang berperan di ranah domestik, dan sebagainya.

Pada akhirnya, setiap manusia terutama di Indonesia yang lahir dalam sistem patriarki, berpotensi memiliki pandangan seksis, baik mereka yang menjadi tokoh publik maupun masyarakat umum. Oleh karena itu, semuanya kembali pada perspektif dan kesadaran masing-masing tokoh publik.

Dampak pernyataan seksis terhadap citra perempuan?

Pernyataan seksis yang kerap tersebar akan berpotensi melanggengkan kembali seksisme. Saat ini masyarakat Indonesia secara perspektif, masih sangat minim terkait isu-isu perempuan. Dengan adanya tokoh publik yang dianggap sebagai pihak yang berpengaruh melontarkan narasi seksis, dikhawatirkan akan menimbulkan anggapan dalam masyarakat bahwa perbuatan tersebut adalah hal yang biasa. Tentu hal ini akan merugikan perempuan.

Dalam konteks pernyataan Ahmad Dhani, ia mendiskreditkan bahwa perempuan hanya sebatas membutuhkan pasangan, lalu menikah, dan melahirkan. Hal yang sama juga terjadi dalam berbagai narasi politik, seperti kampanye paslon Harda-Danang pada Pilkada Sleman 2024 yang seolah-olah menjadikan seksisme sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan benar.

Bagaimana jika hal ini terus terjadi kembali pada tokoh publik?

Saat ini, sistem di pemerintahan Indonesia belum banyak menekankan soal kebijakan-kebijakan yang responsif gender. Padahal, Indonesia telah meratifikasi CEDAW dan memiliki kebijakan Pengarusutamaan Gender yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000. Maka dari itu, seharusnya calon-calon kepala daerah, dibekali dengan pemahaman isu-isu perempuan. 

Misalnya, tokoh legislatif, paling tidak di partainya menyediakan proses pengkaderan yang di mana materi-materinya terkait gender. Namun, hal ini masih belum ada dan jarang sekali untuk dibicarakan. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka ketimpangan gender dalam kebijakan publik akan terus dilanggengkan.

Sejauh mana pendidikan gender untuk mengurangi ujaran seksis?

Ketika sebuah partai politik berperan dalam mengkader seseorang yang nantinya berpotensi akan menjadi wakil rakyat, penting untuk menyediakan pelatihan serta memberi pemahaman kepada anggotanya mengenai aturan yang menekankan pentingnya bertutur dengan baik dan benar. Selain itu, mereka juga perlu dibekali dengan perspektif yang lebih luas mengenai isu feminisme. Dengan itu, diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang mampu mencerminkan komitmen terhadap keadilan gender dalam aspek pemerintahan.

Solusi yang harus dilakukan jika ada tokoh publik yang melontarkan ujaran seksis?

Kita harus mendorong kebijakan terkait isu perempuan dan memastikan implementasinya berjalan dengan baik. Namun, jika kebijakan dan implementasinya masih bermasalah, masyarakat bisa melakukan cancel culture atau melakukan boikot. Setidaknya, supaya masyarakat sadar bahwa narasi seksis yang disampaikan tokoh publik adalah salah. 

Apalagi, di era digital saat ini, kekuatan media sosial sangat berpengaruh. Bahkan sampai membuat pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk membayar buzzer demi mengontrol opini publik dan lain sebagainya. 

Reporter: ARD
Editor: Rizka Id’ha Nuraini

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Membaca Kritis Menurun, Krisis Membaca Meningkat Previous post Membaca Kritis Menurun, Krisis Membaca Meningkat