Pertentangan Living Law Dan Hukum Negara Dalam Gelar Pahlawan

Pertentangan Living Law Dan Hukum Negara Dalam Gelar Pahlawan

Read Time:7 Minute, 42 Second
Pertentangan Living Law Dan Hukum Negara Dalam Gelar Pahlawan

Pada Kamis (6/11) telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang penganugerahan gelar Pahlawan Nasional. Pemberian gelar itu dinilai tidak sepenuhnya melibatkan partisipasi publik secara luas, karena proses pengusulan hanya melibatkan beberapa kelompok masyarakat atau partai politik tertentu. Meski demikian, pemerintah tetap memberikan penganugerahan gelar tersebut kepada para tokoh tanpa merinci bagaimana pertimbangan dari perspektif sosiologis dan historis yang digunakan dalam proses seleksi.

Selain itu, proses penganugerahan gelar tersebut telah mendatangkan sejumlah aksi penolakan oleh sebagian masyarakat sipil dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Penolakan terjadi karena beberapa tokoh yang diusulkan seperti Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo dinilai memiliki rekam jejak buruk dan terlibat di beberapa operasi militer yang berujung pada praktik pelanggaran HAM berat. Mereka merasa hal itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang mengatur bahwa rekam jejak calon Pahlawan Nasional harus menjadi pertimbangan utama dalam proses penetapan.

Aksi penolakan yang menuntut pencabutan gelar pahlawan bagi Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo juga ramai muncul di berbagai platform media sosial. Tak hanya di media sosial, aksi penolakan juga dilakukan secara langsung di depan Istana Negara, Jakarta Pusat. Mengutip dari tempo.co Aliansi Ciputat Melawan Impunitas (ACMI) menggelar aksi menuntut pencabutan Keppres perihal pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo pada Jumat (14/11).

Dalam perspektif sosiologi hukum, wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, mencerminkan adanya ketegangan antara hukum formal dengan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat (living law). Ketegangan itu terlihat dari bagaimana hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan, yang berbenturan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan sosial yang menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Hal itu menunjukkan bahwa legalitas formal tidak selalu sejalan dengan penerimaan dan keadilan substantif di mata publik, yang berpotensi merusak supremasi hukum dan rekonsiliasi nasional yang belum tuntas.

Pada Selasa (18/11), Institut mewawancarai Yayan Sopyan, dosen Antropologi dan Sosiologi Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Wawancara tersebut membahas perihal perspektif sosiologi hukum dalam mengkaji tuntutan pencabutan gelar pahlawan bagi Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo.

Bagaimana manifestasi living law dalam konteks tuntutan pencabutan gelar pahlawan, dan sejauh mana tekanan moralitas publik dapat mempengaruhi legitimasi hukum? 

Persoalan terkait pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo itu harus dilihat dalam konteks yang lebih komprehensif. Penolakan terhadap kedua tokoh tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah politik di Indonesia. Meskipun keduanya memiliki kesamaan dalam melakukan kejahatan HAM, tetapi salah satu di antaranya memiliki rekam jejak yang lebih kelam.

Namun, tidak ditemukan adanya tindakan pengkhianatan Sarwo Edhie terhadap negara dalam konteks yang lebih besar sebagaimana yang dilakukan oleh Soeharto. Alasan penolakan itu menjadi ramai karena ada beberapa kelompok seperti Komisi nasional (Komnas) HAM, KontraS, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan kebanyakan dari keluarga mantan Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun komunitas akademik yang merasa hal itu masih kurang adil karena tidak sepantasnya gelar kehormatan diberikan kepada tokoh yang memiliki rekam jejak buruk.

Selain itu, perlu diingat bahwa penafsiran terhadap sejarah dipengaruhi oleh siapa yang memegang kekuasaan politik. Jadi, mengenai siapa yang dianggap sebagai pahlawan atau pelaku pelanggaran itu bergantung pada siapa yang memegang kekuasaan dan dari perspektif mana peristiwa itu dilihat.

Dalam perspektif Sosiologi Hukum, bagaimana Anda menilai efektivitas hukum positif dalam mencapai keadilan substantif bagi korban pelanggaran HAM?

Selama hukum masih berada dalam tatanan das sollen (normatif) dan belum terwujud dalam das sein (empiris), maka hukum hanya berdiri pada cita-cita ideal yang seharusnya dicapai. Dalam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, kondisi ini terlihat jelas yang mana sampai sekarang banyak kasus belum terselesaikan dan hanya dilakukan rekonsiliasi, seperti kasus Penembakan Misterius (Petrus), di mana para pelaku tidak dijatuhi sanksi berupa pidana.

Situasi tersebut menunjukkan bahwa hukum positif menjadi tidak efektif karena tidak ada mekanisme reparasi nasional yang berjalan secara tuntas.  Misalnya, mereka yang menjadi korban yang tidak memperoleh kompensasi, tidak mendapatkan rehabilitasi sosial, serta tidak memperoleh jaminan untuk tidak mengulangi lagi perbuatan. Ketidakefektifan itu terjadi karena adanya structural dysfunction (kegagalan struktur) dalam bentuk pembatasan komunikasi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung.

Selain itu, terdapat masalah lain yang menghambat penyelesaian pelanggaran HAM yang menjadi, penyakit kronis di Indonesia yaitu amnesia (hilang ingatan) termasuk dalam masalah hukum dan ingatan politik terhadap kasus-kasus masa lalu. Kemudian, lemahnya empathy collective (kemampuan memahami perasaan) terhadap korban, seperti perilaku sosial terhadap keturunan mantan anggota PKI.

Kemudian, adanya hubungan struktural antara elite politik sekarang dengan aktor pelanggar HAM masa lalu. Kondisi ini membuat kepentingan politik kerap beririsan dengan relasi personal, termasuk sulitnya memisahkan posisi seorang presiden sebagai pemegang kekuasaan dengan kedekatan keluarga yang dimilikinya dengan tokoh yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM.

Bagaimana keputusan dapat mempengaruhi kohesi sosial dan struktur konflik dalam masyarakat Indonesia, dan apa peran hukum dalam memediasi konflik nilai historis ini?

Proses pengambilan keputusan idealnya mengedepankan dialog publik yang inklusif. Misalnya dalam konteks sejarah, mekanisme tersebut harus melibatkan ahli sejarah dari berbagai perspektif, korban yang masih hidup, para akademisi, dan kelompok masyarakat sipil agar keputusan yang dihasilkan dapat diterima secara luas.

Pemerintah seharusnya menghindari dalam membuat suatu keputusan yang tergesa-gesa. Diperlukan Adanya konsensus minimum agar keputusan, termasuk gelar kepahlawanan, tidak dipaksakan sebelum memori sosial masyarakat berada dalam kondisi yang stabil. Dan juga perlu memastikan bahwa tidak ada konflik kepentingan yang menunggangi isu tersebut.

Dari aspek akademik, para akademisi dituntut untuk mempertahankan posisi netral bahwa ternyata ada pihak pro dan kontra dengan rancangan yang berbeda-beda, tetapi tentu diperlukan “wasit” yang netral untuk menilai suatu masalah secara objektif.

Apa konsekuensi politik dan legitimasi publik dari dipertahankannya gelar pahlawan Soeharto dan Sarwo Edhie di tengah kontroversi moral?

Pemerintah perlu membangun dan menjaga trust (kepercayaan) kepada publik, karena pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mendapatkan legitimasi dan kepercayaan terhadap publik. Jika publik sudah tidak lagi mempercayai pemerintah maka akan terjadi delegitimasi. Ketika terjadi delegitimasi dan publik semakin kehilangan kepercayaan, maka akan terjadi tindakan pembangkangan yang pada akhirnya dapat berujung pada konflik.

Bagaimana peran aktor non-formal dalam membentuk kesadaran hukum kritis masyarakat terhadap isu gelar pahlawan, dan apakah mereka bertindak sebagai agen perubahan atau status quo?

Negara Indonesia adalah negara hukum, maka hukum harus menjadi panglima. Negara seharusnya berpegang teguh pada prinsip hukum dan menjalankannya tanpa bias, dengan menempatkan keadilan sebagai tujuan utama, bukan sebagai alat manuver politik — tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai tujuan politik — atau untuk mengakomodasi kepentingan politik tertentu.

Selama negara atau penguasa tidak menjadikan hukum sebagai panglima, serta tidak menjalankan hukum berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran, maka sulit mengharapkan negara akan berjalan dengan baik. Selain itu, karena negara adalah milik rakyat bukan milik penguasa, dan rakyat perlu mendapatkan edukasi melalui informasi yang benar. Dalam hal tersebut, media massa memiliki peran penting untuk menyampaikan informasi yang akurat dan menjaga kebenaran itu.

Oleh karena itu, para wartawan dan media massa harus tetap menyuarakan nilai-nilai kebenaran itu walaupun bertentangan dengan kehendak penguasa, untuk tetap mengatakan yang benar itu adalah benar.

Menurut Sosiologi Hukum, apa makna simbolis di balik pencabutan gelar pahlawan, dan bagaimana tindakan tersebut dapat memperkuat atau melemahkan narasi resmi negara tentang kepahlawanan dan kebangsaan?

Risiko yang terjadi ketika negara tidak membuka ruang dialog publik untuk berdiskusi atas suatu persoalan negara adalah terciptanya praktik oligarki dalam pemerintahan. Kasus tersebut tentu menjadi sangat dilematis, karena jika negara mencabut gelar tersebut maka akan dianggap sebagai negara yang tidak konsisten dalam mengambil keputusan. Kemudian, pihak yang menolak pemberian gelar itu juga tidak akan tinggal diam dan berpotensi melakukan perlawanan, baik secara langsung atau tidak terhadap suatu institusi. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas nasional.

Maka dari itu negara harus melakukan rekonstruksi untuk melihat terkait pantas atau tidaknya gelar itu diberikan dan apakah pencabutan gelar itu bermanfaat atau tidak bermanfaat, itu semua harus ada kajiannya. Namun perlu diketahui, bahwa para akademisi sama sekali tidak memiliki pretensi untuk menunjukkan sikap penolakan dan ketidaksetujuan, maka dari itu untuk menyelesaikan persoalan ini seharusnya pemerintah membentuk suatu lembaga independen yang dapat memberikan penilaian terkait isu tersebut.

Apakah kasus ini menuntut reformasi hukum fundamental, seperti memasukkan pelanggaran HAM berat terverifikasi sebagai kriteria eksplisit pencabutan gelar pahlawan?

Terdapat sebuah komisi nasional yang menilai apakah seseorang memenuhi kriteria sebagai pahlawan atau tidak. Tetapi dalam praktiknya, penetapan gelar pahlawan sering berkaitan dengan dinamika politik. Padahal, banyak pahlawan yang hebat dan pernah menduduki jabatan yang prestisius tapi tidak jadi pahlawan salah satunya adalah Mr. Assaat yang pernah menjadi presiden untuk sementara (ad interim) menggantikan Soekarno dan beliau pendiri Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, sejarah tidak berpihak padanya, dan dianggap melawan kebijakan Soekarno di masa akhir kekuasaannya dan tersingkir secara sosial atau dicegah keterlibatannya dalam urusan pemerintahan.

Artinya penganugerahan gelar pahlawan itu lebih sering berpihak kepada para pemenang. Soeharto jadi pahlawan karena dia berada dalam posisi pemenang. Karena itu, reformasi hukum menjadi penting, bagaimana menjadikan hukum yang profesional dan objektif. Dalam pandangan Radbruch hukum ideal seharusnya memenuhi tiga unsur dalam konteks kriteria, yakni hukum itu harus adil, harus memberikan kepastian hukum, dan memberikan kemanfaatan hukum.

Jika pemberian gelar pahlawan, dianggap sebagai produk hukum, maka perlu dinilai apakah ada kepastian hukum dan keadilan di dalamnya. Dalam kepastian hukum, produk hukum sebenarnya sudah cukup baik. Namun, pertanyaannya adalah apakah produk itu memberikan manfaat dan kepada siapa manfaat itu ditujukan. Dengan demikian, dari tiga unsur Radbruch, dua diantaranya telah hilang, keadilan dan kemanfaatan. Karena itu, perlu diingat bahwasannya reformasi seharusnya tetap berjalan.

Reporter: EP 
Editor: Anggita Rahma Dinasih

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
100 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Perlu Evaluasi PSGA UIN Jakarta Previous post Perlu Evaluasi PSGA UIN Jakarta
Keluh Mahasiswa Atas Layanan Pusat Perpustakaan Next post Keluh Mahasiswa Atas Layanan Pusat Perpustakaan