Saat Media Massa Jadi Fokus Utama Parpol

Read Time:3 Minute, 27 Second

Foto Ilustrasi: Media vs Kepentingan Pemilik (Sumber www.analisadaily.com)
Saat ini, media jadi alat utama sejumlah partai politik (Parpol) untuk mendongkrak popularitas. Tidak adanya regulasi pembatasan dana belanja kampanye di Indonesia membuat Parpol tidak segan menggelotorkan dana kampanye lewat media massa, khususnya televisi (TV). Afiliasi pemilik media dengan politik juga membuat TV semakin diberdayakan untuk mensosialisasikan Parpol atau calon yang diusungnya pada masyarakat.
Hal tersebut dipaparkan Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik. Menurutnya, hampir 80% anggaran dana kampanye Parpol dialokasikan untuk membiayai kampanye lewat media massa. Bagi Parpol,  cara ini lebih efisien. Namun, ini membahayakan demokrasi di Indonesia. Masyarakat harus cerdas, lantaran politisasi informasi dalam bentuk iklan atau pemberitaan berpeluang menciptakan asumsi yang kabur di masyarakat.
Menurut Burhanuddin, strategi politik bersifat selektif. Hal positif ditonjolkan, sementara hal negatif disembunyikan. Ini pengaturan agenda di media massa, membesarkan citra positif partai atau memberitakan hal negatif partai lain. Ketika dimiliki pengusaha berafiliasi politik,  TV akan dengan sengaja digunakan sebagai alat propaganda.  
TV, lewat frekuensi yang dimiliki publik memiliki daya sosialisasi kuat untuk membentuk opini masyarakat. Burhanuddin menuturkan, sejak tahun 2004 masyarakat Indonesia terserang gejala telepolitics, gejala di mana TV sangat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memilih Parpol atau calon yang diusungnya.
Meski demikian, Burhanuddin optimis sejumlah masyarakat mampu menyaring kecenderungan politis dalam pemberitaan. Namun, masyarakat golongan ini tidak banyak. Menurut survei Badan Pengawas Penduduk (BPS), 57% penduduk Indonesia cenderung menerima begitu saja info politik yang mereka terima.
Untuk menanggulanginya, KPI bertanggung jawab penuh mencerdaskan masyarakat dalam menyaring info politik yang diberitakan media. Burhanuddin menambahkan, DPR juga harus membuat Undang-Undang (UU) Pemilu Legislatif yang membatasi iklan kampanye. “Upaya pemilik media untuk memasukan kepentingan politiknya juga harus diawasi,” ujarnya.
Burhanuddin mengatakan, seharusnya pemerintah juga mengatur UU untuk membatasi dana kampanye yang dikeluarkan Parpol. Dengan begitu kompetisi politik lebih adil. Jadi, mereka dipaksa untuk adu gagasan, bukan adu finansial. 
Namun nyatanya peraturan pembatasan iklan muncul setelah penetapan sepuluh Parpol peserta pemilu diumumkan. Sedangkan menurut Burhanuddin, sejak 2009 sudah banyak Parpol mencuri waktu kampanye.
Senada dengan Burhanuddin, Rachmat Baihaky, Dosen Sosiologi Komunikasi UIN Jakarta mengatakan, KPI harus melakukan reformasi UU penyiaran. Menurutnya, media massa itu harus dimiliki publik, bukan perorangan. Ini penting untuk kehidupan demokrasi di Indonesia, karena media berpeluang besar untuk dipolitisasi ketika pemiliknya masuk dalam ranah politik.
Dibanding negara lain, seperti Australia, politisasi media di Indonesia menurut Baihaky lebih parah. Pemilik terang-terangan masuk dalam politik. KPI tidak punya ketegasan menegakkan UU.
Baihaky menambahkan, KPI saat ini terlalu banyak habiskan tenaga urus program populer, seperti infotaiment. Tetapi untuk masalah pemilik media yang jelas berafiliasi tidak digubris.
Ketua Lembaga Studi Pers dan Penerbitan (LSPP) Ignatius Haryanto pun angkat bicara. Menurutnya, ketika frekuensi TV dipergunakan untuk kepentingan politik, media telah menyalahgunakan fungsi media massa dan menyalahi UU.
Bagi Ignatius, media seharusnya bersifat independen. Jika media massa berpihak pada pemilik yang berafiliasi politik, dapat dipastikan publik akan mendapatkan gambaran yang keliru terhadap fenomena yang terjadi.
Dampak lain politisasi media adalah peningkatan popularitas kelompok tertentu yang belum memiliki rekam jejak mumpuni secara berlebihan. Kondisi ini justru memantik persaingan Parpol dalam  kepemilikan media. Padahal Parpol bukan bersaing untuk membeli media. Parpol seharusnya bertindak cerdas untuk menyerang lawan dengan program-programnya.
Ignatius menjelaskan, saat ini UU hanya menyebutkan soal pembatasan kepemilikan silang media massa. Pengusaha atau perusahaan tidak boleh memiliki lebih dari satu stasiun dari satu jenis media massa di dalam satu satu kota yang sama. “Misalnya, seorang pengusaha boleh memiliki satu stasiun TV, satu stasiun radio, satu perusahaan koran di dalam satu kota. Namun, pengusaha tersebut tidak boleh lagi memiliki stasiun TV di kota tersebut,” tuturnya.   
Pakar Komunikasi ini optimis bila regulasi ditegakkan, maka paling tidak politisasi media di Indonesia tidak akan semarak sekarang. Namun, peraturan tinggalah peraturan. Menurutnya, lembaga pengawas media saat ini lemah dalam menegakkan hukum.  
Untuk itu, masyarakat harus cerdas dalam memilah pemberitaan dengan tidak mengandalkan informasi yang datang dari satu media massa saja. Selain itu, masyarakat juga harus mencari info lain, selain dari media massa. Diskusi dengan sejumlah orang juga dapat membuka arus informasi kita mengenai dunia politik. “Saya rasa kalau masyarakat ingin lebih cerdas,  rasanya saat ini kita lebih baik matikan TV,” kelakarnya. (Adea Fitriana)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Sempat Ditolak, Kini UIN Bisa Ikut PKM
Next post Mungkin