Menanti Sang Juru Selamat

Read Time:2 Minute, 45 Second
Seminar Internasional yang bertema Mahdiisme dalam Krisis Multidimensi Global di Auditorium Harun Nasution, Senin (24/6)


UIN Jakarta, INSTITUT, Mahdiisme merupakan konsep tentang kerinduan manusia akan terciptanya keadilan pada sistem dan struktur sosial masyarakat. Konsep ini bukan hanya dipercaya oleh kaum muslimin saja, tapi juga diakui oleh tradisi agama lainnya, seperti Hindu, Buddha, Kristen, dan Katolik.
Konsep mahdiisme adalah simbolisasi dari harapan, begitulah yang dikatakan oleh Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Masdar Farid Mas’udi. Konsep mahdiisme sebagai juru selamat tumbuh subur di kalangan kaum tertindas. Ia mencontohkan, masyarakat Jawa percaya dengan adanya Ratu Adil. Hal itu sebagai bentuk ekspresi rasa penderitaan mereka akibat penjajahan. 

Dalam konteks Islam, mahdiisme lebih populer dan kental dalam tradisi Syiah. Syiah mempunyai sejarah ketertindasan atas hegemoni politik Sunni. “Dalam tradisi Sunni, mahdiisme tidak dijadikan konsep resmi yang dijadikan doktrin,” ujarnya dalam acara Seminar Internasional yang bertema Mahdiisme dalam Krisis Multidimensi Global di Auditorium Harun Nasution, Senin (24/6).

Mengenai bentuk mahdiisme, Masdar memahaminya sebagai suatu sistem. Menurutnya, jika Mahdi dipahami sebagai sosok, maka akan terjebak dengan mitos. Karena sebagai sosok, berarti Mahdi harus bisa diterima oleh semua agama dan bangsa. “Dan juga masa kepemimpinan Mahdi yang hanya 8 tahun, bagaimana bisa mengubah dunia dalam waktu yang singkat,” tuturnya.

Masdar menjelaskan, mahdiisme harus ditransformasikan menjadi sebuah sistem. Sistem ini diharapkan mampu untuk menyelesaikan konflik global. Semua pihak bisa berpartisipasi dalam menghadirkan mahdiisme pada sistem dan struktur sosial.

Sementara itu, Tokoh Ahlul Bait Indonesia, Muhsin Labib mengatakan, sebelum meyakini mahdiisme sebagai sosok atau sistem, seharusnya lebih penting untuk memperjelas apakah mahdiisme itu mitos atau logos. Jika mahdiisme hanya sebagai mitos, itu tidak akan menjadi penggerak masyarakat untuk berubah. Namun, jika dipahami sebagai logos, artinya terdapat alasan yang masuk akal, sehingga bisa menggerakan masyarakat untuk berubah.

Muhsin pun menjelaskan, jika agama dipandang sebagai das sein (agama yang terjadi), orang akan pesimis dan cenderung meninggalkan agama, ketika melihat kenyataan banyak konflik yang mengatasnamakan agama, seperti teroris, konflik Sunni-Syiah, dan lainnya. “Semakin gemar orang memakai simbol agama, semakin sadis juga orang tersebut,” ujarnya.

Ia mencontohkan, sekarang, orang lebih antusias mendengar motivasi dari para motivator, karena mereka lebih puas dengan jawaban para motivator terkait permasalahan hidup, dibanding mendengarkan khotbah di masjid. Muhsin juga mengatakan, sekarang, orang cenderung lebih menyukai hal-hal yang jauh dari agama. Agama hanya dijadikan sebagai aksesoris saat acara pernikahan, kematian, dan lainnya.
Namun, menurut Muhsin, jika agama dipandang sebagai das solen (agama yang seharusnya), orang akan optimis terhadap agama. Konsep mahdiisme menjadi sebuah harapan di tengah keadaan dunia yang seolah rusak dan penuh konflik. Orang akan terus mendambakan nilai-nilai ideal dari agama.

Konsep mahdiisme bukan hanya ada dalam Islam, Tokoh Agamawan Katolik, Romo Benny Susetyo mengatakan, konsep juru selamat juga disebutkan dalam perjanjian lama dan baru, yaitu Mesias. Dalam perjanjian lama dijelaskan, Mesias akan menjalankan tiga misi, yaitu sebagai raja, nabi, dan imam. Mesias akan menghadirkan kerajaan Allah dengan membangun sebuah sistem yang adil. Lalu, melalui perjanjian baru, ia akan menghapus dosa manusia.

Selain Katolik, konsep mahdiisme juga ada dalam agama Buddha, Agamawan Buddha, Cornelis Wowor mengatakan, dalam kitab Tripitaka disebutkan, seorang Buddha akan muncul saat agama telah lenyap dan akan mengajarkan agama seperti pada zaman Siddhartha Gautama. Menurutnya, sang Buddha sebagai juru selamat mempunyai misi untuk melenyapkan kebodohan dan nafsu pribadi. “Juru selamat ini adalah hal yang paling dirindukan oleh kaum Buddha,” tandasnya. (Anastasia Tovita)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post TABLOID EDISI 26
Next post Memaknakan Makna Bahasa