Tahun ini merupakan masa akhir jabatan Komaruddin Hidayat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak terpilih 2006 silam, di bawah kepemimpinannya UIN sudah banyak mengalami transformasi di pelbagai sektor. Kini, di pengujung masa jabatannya, Prof. Komar—sapaan akrabnya—berbagi kisah ihwal perjalanannya selama dua periode memimpin kampus ini.
Read Time:4 Minute, 21 Second
Dalam perjalanannya sebagai rektor, Prof. Komar mengatakan, ia dan kawan-kawan di pimpinan kampus tidak hanya memikirkan UIN Jakarta, tapi juga memikirkan IAIN, UIN, dan STAIN di kota lain. “Apa yang dianggap baik di sini (UIN), kami ingin bagi dengan kampus lain,” katanya kepada reporter LPM INSTITUT, Muawwan Daelami, Rabu (21/5).
Kepada INSTITUT, Prof. Komar juga menyampaikan pandangannya terkait kondisi UIN Jakarta di masa kepemimpinannya. Berikut petikan wawancara lengkap reporter LPM INSTITUT dengan pria kelahiran Magelang 18 Oktober 1953 ini.
Bagaimana Anda melihat kondisi UIN saat ini?
Saya melihat dan merasakan, saat ini UIN sudah menginjak tahap ekstensi dan konsolidasi. Ekstensi dalam artian sebuah perluasan program-program keilmuan yang ditandai dengan munculnya fakultas-fakultas baru. Juga ekstensi dari pesan ajaran Al-Quran yang mengintegrasikan antara ilmu agama dan umum.
Lebih dari itu, UIN juga sudah berada pada tahap konsolidasi atau pembenahan di sektor administrasi kefakultasan, layanan, dan budaya. UIN juga sudah merambah ke tahap inovasi. Sebab, saya melihat dunia keilmuan dan dunia kampus mengalami persaingan yang begitu ketat.
Meski begitu, UIN tetap memperhatikan, mengakomodasi, menjaga, dan mengakar pada tradisi-tradisi masyarakat bawah dan tradisi pesantren. Di sisi lain, kita (UIN) juga harus mengikuti standar-standar pemerintah. Karena itu, UIN menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi luar. Posisi luar inilah yang sedang saya amati sekarang.
Apakah kondisi UIN saat ini sesuai dengan visi misi Anda?
Sebenarnya, visi misi itu milik bersama. Baik partai, agama, ataupun perguruan tinggi, semua visi misinya berada jauh di depan. Untuk mencapai ke arah sana, UIN tidak bisa hanya mengandalkan rektor yang menjabat satu sampai dua periode saja. Namun yang terpenting, siapapun pimpinannya, dia harus bekerja mengikuti visi misi, motivasi, aturan-aturan pemerintah, dan tradisi keilmuan yang ada.
Sebenarnya, apa tujuan utama yang ingin dicapai UIN di era kepemimpinan Anda?
Sebagai rektor, tentu, tujuan utama saya memajukan UIN. Saya juga harus setia dan taat kepada visi-misi lembaga. Makanya, saya menjaga independensi kampus dengan cara tidak ikut partai apa pun.
Selama Anda menjabat sebagai rektor, adakah capaian-capaian yang belum terwujud?
Kalau berbicara capaian, biarlah orang lain yang menilai.
Lantas, bagaimana dengan proyek Master Plan, apakah akan tetap berlanjut?
Master Plan itu perencanaan besar untuk memajukan UIN. Tapi sayangnya, kampus ini terlalu sempit untuk ukuran mimpi kita sebagai the best university. Coba saja bayangkan, Indonesia negara dengan penduduk muslim terbesar, tapi tidak punya universitas Islam yang bertaraf internasional. Kanmemalukan.
Mestinya, kita dan pemerintah bersama-sama mendukung Indonesia agar memiliki universitas Islam yang bertaraf internasional. Terserah universitasnya mau ada di Jogja, Jakarta, atau Malang, mana saja. Semakin banyak universitas Islam bertaraf internasional, semakin baik. Kampus kita (UIN) masih jauh dari standar.
Menurut Anda, seperti apa langkah konkret yang dibutuhkan UIN untuk mencapai level universitas Islam bertaraf internasional?
Kalau langkah konkret, bagi saya bertahap. UIN butuh waktu untuk mewujudkan itu. Karena yang terpenting, selama ada planning, ada komitmen moral intelektual, integritas, dan komitmen kebangsaan, cita-cita UIN bisa terwujud.
UIN Jangan terjebak pada tarik-menarik golongan dan politik. Kampus ini merupakan lembaga keilmuan dan lembaga moral, jangan sampai terbawa oleh kepentingan kelompok tertentu. Saya ingin, ke depannya UIN lebih profesional atas dasar integritas dan keilmuan bukan lagi atas dasar warna partai.
Kalau mereka (para pejabat kampus) aktif di organisasi masyarakat, silakan saja. Tapi, sebagai lembaga keilmuan, yang perlu ditonjolkan adalah integritas dan keilmuan, profesionalisme dan pengembangan ilmu, serta menjadikan UIN sebagai pusat peradaban dan pusat ilmu.
Menurut Anda, sosok rektor seperti apa yang dibutuhkan UIN ke depan?
UIN membutuhkan sosok yang bisa memahami dan memperjuangkan cita-cita awal mengapa UIN ini didirikan, yaitu mendorong agar orang-orang yang memiliki basis keagamaan juga memiliki penguasaan ilmu pe-ngetahuan umum dan kemampuan teknokratik, yakni santri ilmuan dan santri teknokrat. Ke depannya, baik dekan maupun rektor harus bisa menjaga komunikasi dan hubungan baik dengan masyarakat dan umat Islam. Dia juga harus memiliki kemampuan dalam mengembangkan kerjasama dengan universitas lain baik yang ada di dalam maupun luar negeri.
Di pengujung masa jabatan sebagai rektor, apa pesan Anda untuk rektor UIN yang terpilih nanti?
Saya ingin, siapapun pimpinannya, dia bisa tetap menjaga independensi kampus, harga diri kampus, dan bisa membawa kampus ini pada pergaulan internasional dan nasional, sehingga orang-orang respect pada UIN. Karena yang terpenting, bagaimana UIN Jakarta bisa disegani keilmuannya dan independensinya. Saya juga ingin, pimpinan UIN ke depan bisa menjaga apa yang telah terjalin selama ini. Entah hubungan dengan barat ataupun timur, itu harus dijaga.
Sejauh ini sudah beredar nama-nama bakal calon rektor, apakah Anda punya calon favorit?
Kalau saya sih enggak ada, siapa saja terserah. Biarkan komunitas kampus, guru-guru besar kampus yang menentukan siapa yang akan menggantikan saya. Saya yakin, mereka punya pemahaman tersendiri. Apalagi, di sini banyak orang pintar yang bisa memimpin kampus ini.
Setelah masa jabatan sebagai rektor berakhir, apa yang akan Anda lakukan?
Habitat asli saya itu guru, dosen, dan aktivis sosial. Rektor itu hanya selingan. Jadi, kalau masa jabatan rektor sudah habis, yah, saya akan tetap bergerak di bidang pendidikan dan keilmuan.
Average Rating