Read Time:2 Minute, 24 Second
Suasana panggung di gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki berubah menjadi pelataran lapangan yang digunakan untuk menyabung ayam. Terdengar riuh para pemuda tengah bersorak mendukung jagoannya masing-masing. “Ayoooo.. Wiraguna serang serang,” teriak salah satu pendukung Wiraguna. Sabung ayam ini berbeda dari sabung ayam biasanya, ayam yang diadukan adalah ayam jadi-jadian milik Wiroguna dan Pronocitro.
Akhirnya Wiroguna keluar sebagai pemenang sabung ayam mengalahkan Pronocitro. Pronocitro adalah kekasih Roro Mendut. Berdasarkan sayembara, pemenang akan dijodohkan dengan Roro Mendut gadis cantik nan rupawan, ia putri semata wayang Raja Adipati Pragola. Dengan berat hati Pronocitro harus mengikhlaskan Roro Mendut jatuh ke tangan Wiroguna.
Roro Mendutpun menolak hasil putusan sayembara. Ia tetap memilih lelaki idamannya yaitu Pronocitro. Akhirnya Roro memutuskan melarikan diri dari istana. Suatu malam, Roro bertekad untuk menemui Pronocitro di sebuah taman. Hingga akhirnya pertemuan yang dilakukan secara diam-diam itupun berlangsung.
Sembari bernyanyi lagu jawa karawitan. Raut muka mereka berbinar menggambarkan kebahagian. Melepas rasa rindu yang telah lama mereka pendam. Tiba-tiba kebahagiaan itupun berubah menjadi malapetaka. Tak disangka pertemuan mereka diketahui Wiraguna. Wiragunapun murka, dengan paksa ia merampas Roro Mendut dari tangan Pronocitro.
Tak kalah murka, lalu Pronocitropun merebut kembali gadis yang ia cintai. Kemudian perang antara Pronocitro dan Wiroguna tak terelakkan. Akhirnya tanpa pikir panjang Wiraguna mengeluarkan sebilah pisau lalu menancapkan di perut Pronocitro. Tak lama kemudian Pronocitro tumbang dihadapan Wiroguna dan Roro Mendut.
Tak kuasa melihat sang kekasih tak berdaya di hadapannya. Roro Mendutpun langsung mengambil pisau yang tertancap di bagian perut kekasihnya. Roro yang diperankan Ruri Nostalgia murka dan bertekad membalaskan apa yang telah Wiroguna lakukan terhadap kekasihnya. Perebutan pisau antara Roro dengan Wiroguna berlangsung beberapa detik. Sudah jatuh tertimpa tangga, pribahasa itulah yang menggambarkan kondisi Roro Mendut saat itu. Berniat untuk balas dendam, ternyata justru Rorolah yang menjadi korban. Ia pun mati bersama sang kekasih Pronocitro.
Lampu-lampu panggung mulai redup dibarengi dengan tepuk tangan para penonton yang menggema di gedung Teater Jakarta. Hal itu menandai berakhirnya pertunjukan teater yang berjudul Roro Mendut. Pentas yang berlangsung pada Selasa (4/11), bercerita tentang seorang gadis dari bangsa keraton yang ingin dijodohkan dengan seorang bangsawan, namun gadis tersebut menolak dan lebih memilih sang kekasih.
Sal Margianto selaku Kritikus Tari mengatakan, pertunjukan ini merupakan gabungan antar seni teater dengan seni tari. Menurutnya, kreatifitas dan wacana memang perlu diadakan dalam salah satu pertunjukan. “Dengan memelihara warisan terlebih tradisi tari merupakan hal yang perlu dikembangkan oleh remaja Indonesia ,” tuturnya, Selasa (4/11).
Selain itu Margianto menambahkan, acara ini merupakan salah satu pertunjukan untuk mengawali Indonesia Dance Festival (IDF). Sebuah festival tahunan yang diselenggarakan di beberapa tempat salah satunya di, Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Sama halnya Margianto, penonton yang berasal dari Kota Bandung, Taksin Kurniawan tertarik dengan pentas Roro Mendut. Ia mengungkapkan pertunjukan ini sangatlah bagus, sebuah narasi diungkapkan dalam bentuk tembang (puisi yang dinyanyikan). “Sangatlah keren perpaduan visual dan art,” ujarnya, Selasa (4/11).
TS
Average Rating