Read Time:4 Minute, 47 Second
Surat tentang penundaan eksekusi pembebasan lahan telah dilayangkan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) kepada pihak Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, Kuasa Hukum UIN Jakarta menyatakan tidak ada surat resmi dari Komnas HAM.
Wajah perempuan paruh baya itu tampak muram memandangi rumahnya yang hampir rata dengan tanah. Bersama anak lelakinya, ia memegang kertas berukuran 30x40cm bertuliskan “Saya menolak eksekusi sampai adanya solusi bersama sesuai rekomendasi Komnas HAM”.
Selasa, 28 November lalu, pemandangan di Jalan Kertamukti, Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan tampak ramai. Bagaimana tidak? Eksekusi yang berlangsung pukul 10.00-13.00 WIB menampilkan kelihaian dua alat berat bermerk Komat’su merubuhkan rumah beton bercat kuning—tepat di depan Gedung Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Rumah tersebut diklaim milik Masniar Tanjung, mantan Staf Bagian Akademik Fakultas Ushuluddin. Terlihat 400 aparat keamanan dikerahkan demi melancarkan eksekusi tersebut.
“Menteri agama dan rektor sangat tega pada saya. Padahal sudah ada teguran dari Komnas HAM, tapi tidak diindahkan.” Kalimat tersebut terlontar dari mulut Masniar Tanjung saat pihak UIN Jakarta melancarkan eksekusi pembebasan lahan yang kelak akan digunakan untuk Gedung Pascasarjana. Dengan keadaan linglung, Masniar beberapa kali lari ke tempat eksekusi. Pemandangan tersebut mengundang simpati aparat keamanan dan warga setempat. “Minum dulu, Bu,” seorang warga menyuguhkan gelas berisi air pada Masniar demi melerai emosinya.
Konflik kepemilikan tanah ini dimulai ketika Masniar mendapat tanah tersebut berkat hibah Yayasan Pembangunan Madrasah Islam Ikhsan (YPMII)—sebuah lembaga di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Surat hibah atas tanah diberikan oleh Wakil Ketua YPMII Syarief Sugirwo kepada Masniar pada tahun 1981 atas sumbangsihnya bekerja di UIN Jakarta selama 28 tahun. Menurut adat pada masa itu, pejabat UIN Jakarta biasanya diberi hak atas tanah di Kompleks Dosen UIN Jakarta.
Lahan Kompleks Dosen yang penuh menjadi musabab. Alhasil Masniar menyetujui diberi tanah di daerah Kertamukti dengan memberikan sumbangan pendidikan senilai 1,5 juta ke UIN Jakarta. Ia mengeluhkan, jika tanah itu bukan miliknya, mengapa harus bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap tahunnya. “Pajaknya sekitar 700ribu per tahun,” keluhnya, Kamis (30/11).
Di atas bidang tanah seluas 300 meter persegi, dibangun 4 rumah milik Masniar bersama adiknya Masnidar, Masnurdin, Masni, kontrakan lima pintu dan satu ruko letter L. Ruko tersebut dibangun dengan modal pinjaman bank. Hingga kini masih ada 90juta uang pinjaman yang belum tertutup. Penderitaannya bertambah kala dua orang penghuni kontrakan meminta ganti rugi karena belum penuh satu tahun. “Yang satu baru masuk kontrakan bulan lalu, satunya habis bulan Maret,” kata Masniar.
Himbauan untuk menyerahkan tanah ke UIN Jakarta sebenarnya telah dilayangkan pada tahun 90-an. Kala itu, Masniar ditawari ganti rugi sebesar 500ribu per meter. Namun ia menolaknya. “Kami kurang siap. Uang 150 juta jika dibagi 5 orang hanya 30 juta, sedangkan pendapatan untuk kontrak rumah saja 26 juta per tahun,” ucapnya.
Pada tahun 2000-an silam, Masniar dan orangtuanya pernah dipanggil ke Kejaksaan Kota Tangerang. Dalam sidang tersebut diklarifikasi mengenai hak kepemilikan yang sah atas tanah. Ketika diklarifikasi kembali oleh Institut, Masniar mengaku tidak tahu menahu mengenai keputusan finalnya. “Bapak saya yang dikasih tahu,” tuturnya.
Setelah 36 tahun tinggal di rumah tersebut, Masniar dipanggil kembali oleh Kejaksaan Kota Tangerang pada 30 Oktober 2017. Pihak kejaksaan menyatakan, sejak 1994 tanah tersebut telah diserahkan kembali ke Kemenag. Pada 7 November 2017, panggilan kedua dihadiri kembali oleh Masniar. Ia dimintai tanda tangan sebagai bukti kehadirannya pada 30 Oktober lalu.
Masniar menyatakan, dalam surat itu terdapat beberapa kejanggalan. Dalam surat hitam di atas putih menyatakan bahwa Masniar bertemu dengan 4 jaksa, padahal hanya 2 jaksa. Pada poin-poin itu tertulis, Masniar menolak eksekusi dan mendapat tanah dari YPMII dengan syarat membayar 1,5juta. Ia menyanggah, dirinya tidak menyatakan menolak ataupun menerima eksekusi. Bagi Masniar, tanah tersebut tidak berbayar, hanya memberi sumbangan pendidikan.
Pulang dari kejaksaan, Masniar berniat bertegur sapa dengan Kepala Bagian Umum UIN Jakarta Encep Dimyati. Encep belum bisa ditemui hari itu. Selang dua hari, Masniar berniat menemui Encep tanpa membuat janji. Hari itu, Masniar dipertemukan dengan Kuasa Hukum UIN Jakarta Hilman Fidyansyah. “Tidak ada uang ganti rugi,” tegas Hilman kepada Masniar.
Mendengar pernyataan Hilman, Masniar dengan putus asa meminta bantuan ke Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Melalui LBH, ia disarankan untuk berafiliasi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut pernyataan Masniar, Komnas HAM mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Rektor UIN Jakarta. Surat tersebut berisi himbauan penundaan eksekusi pembebasan lahan hingga adanya solusi bersama. “Namun UIN Jakarta tidak mengindahkannya,” lirihnya.
Selaku Kuasa Hukum UIN Jakarta, Hilman pun angkat bicara. Ditemui Institutdi Kantor Bagian Umum, Hilman mengklarifikasi mengenai kasus sengketa tersebut. Pada 1977, UIN Jakarta membeli tanah di Kertamukti seluas 42 Hektar. Namun, salah satu aparat pengelola tanah terjerat kasus korupsi. Ia adalah Wakil Ketua YPMII Syarief Sugirwo—yang memberikan hibah kepada Masniar Tanjung. Ia melakoni praktik korupsi dengan menjual aset tanah ataupun melalui hibah kepada warga setempat.
Hilman menegaskan, himbauan penundaan eksekusi dari Komnas HAM yang selama ini digaungkan oleh Masniar ialah fake. Pihak UIN Jakarta tidak pernah menerima surat secara resmi dari Komnas HAM. Pasalnya, jika surat itu resmi dari Komnas HAM, maka seharusnya pihak UIN diundang, bukan diberi surat. Tembusan pada poin sembilan ditujukan kepada Damaria Listyarti. Hilman menyanggah, nama tersebut tidak ada hubungannya dengan duduk perkara kasus ini. “Surat ini ibarat surat yang mati suri,” tandasnya.
Pelbagai bentuk peringatan telah dilayangkan Kemenag kepada Syarief. Namun peringatan tersebut tetap tidak dihiraukan. Alhasil, pada tahun 1994 dikeluarkan putusan penarikan hak atas tanah di daerah Kertamukti oleh Kemenag. Selanjutnya, tanah tersebut diserahkan kepada UIN Jakarta demi kepentingan pendidikan.
Pihak UIN Jakarta tidak memberikan ganti rugi kepada warga yang digusur rumahnya. Menurut duduk perkaranya, tidak mungkin jika tanah milik negara diganti dengan uang negara. “Kami sudah tidak punya uang, dulu mau dikasih ganti rugi mintanya mahal,” sambung Hilman.
Siti Heni Rohamna, Ayu Naina Fatikha, dan Nur Fadhilah
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Tabloid Institut Edisi November 2017
Average Rating