Read Time:3 Minute, 3 Second
Keputusan sepihak yang dilakukan Rektor USU berimbas pada penghapusan keanggotaan Suara USU. Hal tersebut timbul lantaran cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiranku” diduga mengandung unsur LGBT.
Beberapa bulan lalu, sempat merebak isu penghapusan izin keanggotaan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU. Pemberitaan ini tidak hanya menjamur di kalangan pers mahasiswa saja. Namun sudah beranjak menjadi isu nasional yang santer digarap berbagai media. Tagar #RektorTakutCerpen pun viral.
Kejadian ini bermula saat salah seorang tim redaksi Suara USU menerbitkan cerpen di portal suarausu.com dengan judul Ketika Semua Menolak Kehadiranku. Cerpen ini, menurut pandangan Rektor USU dianggap mengandung unsur Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang dapat menciderai citra USU. Mandat diturunkan. Rektor meminta cerpen tersebut segera dihapus dari portal Suara USU.
Namun, pihak Suara USU tak mengindahkan. Mereka menganggap, tak ada yang salah dari cerpen tersebut. Cerpen yang diterbitkan hanyalah wujud dari kebebasan berpikir dan dituangkan dalam bentuk sastra. Menanggapi permasalahan ini, Reporter LPM Institut Herlin Agustini mewawancarai Ketua Bagian Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Sasmito Madrin terkait kebebasan berekspresi dalam dunia jurnalistik.
Adakahbatasanmenyuarakanpikirandalamjurnalistik?
Terkait cerpen, sebenarnya bukan produk jurnalistik namun lebih dikenal sebagai karya sastra. Dari AJI sendiri, cerpen dinilai sebagai wujud kebebasan berekspresi dari mahasiswa dalam menyampaikan gagasannya. Jadi, perlakuan Rektor USU — jika ditinjau dari penghapusan keanggotaan Suara USU—hingga pengurusnya di paksa mundur itu dianggap sebagai sesuatu yang reaksional dan berlebihan. Seharusnya, permasalahan tersebut bisa dibicarakan baik-baik dengan para aktivis pers mahasiswa sebelum melakukan pembredelan dan pembubaran pengurus.
Bagaimana pandangan Bapak tentang etikajurnalistik?
Setiap lembaga pers pasti mempunyai kode etik tersendiri. Sebut saja AJI yang menggunakan kode etik AJI. Berbeda dengan Dewan Pers yang menaungi seluruh lembaga pers. Kode etik Dewan Pers berlaku untuk ranah nasional, di samping kode etik lembaga pers yang harus ditaati setiap anggotanya. Dalam kode etik, ada perbedaan mendasar antara produk jurnalistik dan produk non-jurnalistik. Saya pikir, cerpen ini sebuah karya sastra yang sebenarnya tidak berkaitan dengan jurnalistik.
Kita mencatat ini bukan sebuah kekerasan terhadap jurnalis. Tapi,hal ini diwujudkan sebagai pembatasan kebebasan berekspresi. Selayaknya, kebebasan berekspresi para mahasiswa juga perlu dilindungi oleh Rektor USU. Selain kebebasan berekspresi, ada juga kebebasan akademik yang harus dilindungi oleh para pemimpin universitas.
Bagaimana solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut?
Sejauh ini, saat saya membaca cerpennya, tidak ada yang salah dari cerpen yang diterbitkan Suara USU. Namun, jika dikomparasikan, beberapa kampus di Indonesia, biasanya ada dosen pembimbing yang bertanggungjawab atas penerbitan pers mahasiswa. Sebaiknya seperti itu, tapi perannya memang belum maksimal.
Di lembaga pers professional, sistem penerbitan jauh lebih ketat lagi. Verifikasi bukan hanya dari satu pihak. Ada reporter, editor, dan pimpinan redaksi. Jadi pengecekan dari artikel yang akan diterbitkan memang sangat ketat dan diindikasi mampu meminimalisir permasalahan. Bukan berarti mengatakan cerpen yang telah diterbitkan salah. Alangkah lebih baik, jika peran dosen pembimbing di setiap lembaga pers mahasiswa lebih dimaksimalkan. Jika terjadi permasalahan, maka dosen pembimbing dan rektor bisa berdialog lebih dalam dan mengambil jalan tengah yang tepat.
Adakah pesan Bapak untuk seluruh pers mahasiswa di Indonesia?
Tak dipungkiri memang pers mahasiswa zaman ini banyak mengalami kasus kriminalisasi. Selain itu, Dewan Pers sebagai lembaga independen juga tidak menaungi pers mahasiswa. Jika ada masalah dengan pers mahasiswa, entah itu di penjara atau mengalami diskriminasi. Payung hukum pers mahasiswa memang masih menjadi perdebatan hingga saat ini.
Kendati demikian, pers mahasiswa memiliki peran penting sebagai media persiapan untuk menjadi jurnalis sesungguhnya. Anak pers mahasiswa harus meningkatkan kompetensi dalam bidang jurnalistik. Seperti jurnalis professional, pers mahasiswa juga tetap terikat dengan kode etik jurnalistik. Solusi yang bisa dimunculkan, anak pers mahasiswa harus lebih kuat membangun sinergi antar pers mahasiswa. Sehingga, jika ada permasalahan hukum bisa diselesaikan dengan koordinasi yang baik. Dengan langkah ini, advokasi terhadap kekerasan yang dialami pers mahasiswa juga akan meningkat.
Average Rating