Kemunculan ragam diksi bagi koruptor memicu ajang tarik tambang guna memperebutkan juara eksistensi sebuah panggilan untuk mereka. Mulai dari pencuri, maling hingga penyintas korupsi. Perang bahasa pun menjadi tak terelakkan.
Pria berkacamata dan berbusana muslim putih lengkap dengan kopiah hitamnya, sedang duduk dan berbincang asyik di sofa bersama putri kesayangannya. Topik perbincangannya sangat menarik: tentang diksi koruptor. Bagi pria berumur lewat setengah abad itu, dirinya tidak suka dengan sebutan koruptor lantaran terlalu halus. Dengan raut wajah penasaran, putrinya pun menanyakan kata lain yang tepat untuk sebutan itu.
Dengan tegasnya, jawaban kata dan suara lantang yang terlontar dari mulut pria tersebut adalah “Pencuri”. Bagaikan hutan berpohon, panas berasal. Pria berdarah Arab tersebut, mempunyai sebab tersendiri mengapa koruptor pantas dipanggil pencuri: mereka tidak punya malu atas perbuatan yang telah dilakukan sehingga masyarakat perlu untuk lebih mempermalukan mereka. Koruptor itu, ucapnya, harus disadarkan pula bahwa perbuatan korupsi yang mereka lakukan bakal berimpak kepada anak cucu mereka sendiri.
Kurang lebih seperti itulah cuplikan percakapan Muhammad Quraish Shihab dengan Najwa Shihab pada tayangan “Shihab Bersama Shihab” pada 2017 silam. Tayangan dan kata “Pencuri” tersebut ditengarai kembali menjadi buah bibir di khalayak luas, usai Najwa Shihab memposting ke akun Instagram miliknya, 27 Agustus 2021 lalu.
Berselang dua hari kemudian, tepatnya 29 Agusutus 2021, Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) lewat kanal Instagram-nya @pikiranrakyat juga turut bersuara. Adapun bunyinya: sebanyak 170 media yang berkolega dengan PRMN secara resmi mengganti diksi koruptor dengan maling, rampok atau garong uang rakyat. Mereka menilai bahwasanya diksi korupsi tidak memberikan impak untuk koruptor merasa malu.
Menuai Beragam Respons
Seorang Aktivis Media Fauzan Al-Rasyid mengamini diksi maling tersebut. Dia berpendapat, diksi maling sebenarnya tak ada bedanya dengan koruptor–––sama-sama mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Namun, diksi maling didapati punya persepsi yang lebih hina. Menurut Fauzan, tatkala seorang koruptor yang dipanggil maling, dapat dipastikan dia akan terselimuti oleh rasa tidak nyaman. Sekalipun bila Ia dipanggil koruptor, rerata cenderung merasa lumrah dan tidak masalah. “Rasanya lebih rendah (bila menggunakan diksi maling),” ujarnya pada Kamis malam (30/9).
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Agus Sunaryanto juga berpendapat hal yang serupa. Apapun diksinya–––sekalipun itu buruk, hal itu menjadi bagian dari sanksi sosial oleh masyarakat guna menyentil para koruptor. Agus juga menjelaskan jika hukuman bagi para koruptor bukan hanya berkutat pada sanksi pidana belaka, tetapi juga sanksi pencopotan hak politik dan sosial yang kerap terbengkalai. “Para koruptor itu, harus benar-benar dipermalukan agar perbuatannya tidak ditiru,” ucapnya, Kamis (23/9).
Bekas Wakil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015-2019, Laode Muhammad Syarif berpendapat lain. Menurutnya, efek jera kepada koruptor hanya bereaksi bila penindakan pembantaian korupsi dilaksanakan dengan tegas, konsisten dan komprehensif. Penyematan diksi maling untuk mereka, ujar Laode, dinilai tidak begitu mujarab untuk membuat kapok.
Tak hanya itu, Laode juga beranggapan bila diksi pencuri tidak serasi untuk koruptor. Musababnya, Laode memandang koruptor sudah hina ketimbang sekedar pencuri. Hal ini dimaksudkan: tidak semua pencuri dapat dijebloskan ke jalur hukum. Misalnya seseorang mencuri makanan karena kelaparan.“Koruptor pasti jahat, dan oleh karenanya lebih hina dari pencuri,” tutur Laode, Senin (4/10).
Sementara itu Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri berujar, jika diksi maling yang tengah riuh di khalayak ramai itu merupakan terminologi dari segi sosiologi. Dirinya tak ambil pusing soal diksi itu lantaran Ia teguh pendirian pada diksi koruptor dari kacamata hukum. Pelaku yang melakukan korupsi, kata Ali, baru bisa disebut koruptor jika sudah terbukti bersalah dalam penuntutan dan persidangan alias terdakwa. “ KPK sebagai penegak hukum, tentunya memakai aturan hukum dan terminologi dari perspektif hukum,” ucapnya, Sabtu (2/10).
Bukan Tanpa Sebab
Pada 31 Maret 2021 lalu, Deputi Pendidikan dan Peran serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana melontarkan sebutan narapidana korupsi, menjadi penyintas korupsi. Bagi Wawan, para narapidana korupsi yang sedikit lagi usai menjalani proses hukumnya, dapat membagikan pelajaran–––berupa tidak mengulangi perbuatan korupsi–––yang dialaminya kepada masyarakat. Sehingga mereka bakal menjadi pengisi pada program penyuluhan antikorupsi. Atas hal itu, gerabak-gerubuk terjadi di tengah masyarakat.
Menanggapi hal ini, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Nuryani berpandangan jika diksi penyintas itu punya makna yang positif. Lalu makna positif itu, tidak cocok jika disandingkan dengan diksi maling–––yang bermakna negatif. Padahal, diksi penyintas itu dipergunakan untuk orang-orang yang bertahan atas rasa sakit yang tengah diderita. “Masa, iya, koruptor (bila memakai diksi penyintas korupsi) jadi bertahan atas perbuatan korupsi-nya?” heran Nuryani pada Kamis (14/10).
Tak berbeda jauh dari pandangan Nuryani, dalam pendapat Agus, penyintas korupsi jika diperuntukkan untuk koruptor, itu tidaklah tepat. Menurutnya, penyintas korupsi lebih layak untuk mereka yang berimbas dari perbuatan korupsi. Permainan kata seperti ini, tutur Agus, bakal berbahaya bila penggunaanya tidak tepat. “Nantinya seolah-olah koruptor itu jadi korban, padahal dia pelakunya,” ucapnya, Kamis (23/9).
Kepada Institut, Ali membenarkan jika KPK pernah mengusung diksi penyintas korupsi yang nantinya menyumbang program penyuluhan antikorupsi. Ali lantas berucap, adapun iktikad dari KPK: merespons nilai-nilai kemanusiaan dengan merekrut koruptor yang betul-betul bertobat. Nantinya, dalam penyeleksian para koruptor tersebut bakal mengundang pelbagai ahli sehingga pemilihannya ketat. Tetapi karena terlanjur menjadi hiruk-piruk di masyarakat, akhirnya program ini tengah ditinjau kembali. “Hal ini menjadi salah satu upaya KPK memberantas korupsi lewat pendidikan,” ujar Ali.
Salah seorang Pegawai Biro Hubungan Masyarakat KPK yang tersingkirkan, Tata Khoiriyah amat geram dengan rencana KPK yang bakal merekrut para koruptor untuk turut andil dalam program penyuluhan antikorupsi. Menurut Tata, hal ini membuat 58 bekas pegawai KPK merasa terhina lantaran cap merah yang ditempelkan pada mereka pasca hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). “Koruptor masih bisa diterima dan dibina, sedangkan kami (58 bekas pegawai KPK) seolah-olah dianggap lebih berbahaya dari koruptor. Itu merusak akal sehat kita semua,” tegas Tata, Jumat (15/10).
Bahasa Kiwari
Nuryani lantas memberikan sudut pandangnya seputar bahasa kepada Institut. Bahasa atau bahkan istilah, tuturnya, bersifat luwes, sesuai kebutuhan masyarakat dan arbiter–––disepakati oleh pihak-pihak tertentu. Dari sifatnya itulah, pelbagai bahasa baru terus bermunculan.
Dosen yang berfokus pada pengajaran linguistik itu juga menilai bila sejatinya bahasa adalah netral. Namun, para pendengar alias lawan bicara kadangkala merasa tersinggung dengan apa yang orang lain ucapkan kepadanya. “Bagaimana seseorang merasakan dan mendengarkan (suatu bahasa), itulah yang membuat bahasa tidak netral,” imbuh Nuryani.
Di samping hal tersebut, Fauzan menjelaskan bila bahasa memang dimaksudkan untuk tujuan tertentu. Selain itu, bahasa juga mampu membawa seseorang untuk meneropong pandangannya tentang fakta sosial di sekitarnya. Menurut pengamatan Fauzan, khalayak luas saat ini condong untuk berusaha benar secara politis. Hal ini terpampang jelas dalam kehidupan sehari-hari: jika berkata sesuatu hal tetapi seakan-akan membuat lawan bicara tersinggung. “Standar mereka (masyarakat) yang membuat bahasa-bahasa tertentu dianggap tidak pantas,” pungkas Fauzan.
Syifa Nur Layla
Average Rating