Pada tanggal 11 November 2022 nota kesepahaman tentang Jeda Kemanusiaan Bersama (JKB) ditandatangani untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi tahapan proses perundingan damai untuk Papua. Namun saat ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sepakat tidak melanjutkan perjanjian Jeda Kemanusiaan yang ditandatangani pada periode 2017–2022.
Pada Kamis (23/3), Institut melakukan wawancara khusus dengan Hussein Ahmad terkait pembatalan nota kesepahaman Jeda Kemanusiaan di Papua. Hussein merupakan Koordinator Peneliti Security Sector Reform (SSR) di Imparsial–Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang pengawasan dan penyelidikan pelanggaran HAM.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai pembatalan Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan?
Perjanjian Jeda Kemanusiaan pertama kali dilakukan oleh Komnas HAM periode 2017–2022. Inisiatif perjanjian tersebut merupakan langkah awal dialog dengan separatis di Papua yang harus diapresiasi apapun hasilnya. Komnas HAM tidak berwenang untuk melakukan penandatanganan Jeda Kemanusiaan meskipun mendapat banyak kritik.
Dalam posisi ini Komnas HAM tidak mewakili pemerintah Indonesia, tetapi mewakili gerakan separatis dan gerakan kemerdekaan. Namun, banyak pihak mengatakan seharusnya Komnas HAM tidak boleh melakukan penandatanganan Jeda Kemanusiaan.
Selain itu, penandatanganan perjanjian Jeda Kemanusiaan dilakukan hanya beberapa saat setelah penyerahan jabatan komisioner baru. Jadi, keabsahan nota kesepahaman patut dipertanyakan oleh publik dan dapat dipertimbangkan kembali. Komnas HAM tidak harus mencabut perjanjian tersebut, keberlanjutan Jeda Kemanusiaan dapat mengawali perjanjian yang lain.
Secara hukum itu salah, tapi secara inisiatif politik, Jeda Kemanusiaan patut diapresiasi guna memulai dialog dengan pihak-pihak yang berkonflik. Sayangnya, hal tersebut tidak dilihat oleh Komisioner Komnas HAM yang baru, sehingga tidak membuat progres yang baik tapi justru memundurkan progres yang sudah baik.
Masalah apa saja yang terjadi dalam nota kesepahaman Jeda Kemanusiaan sehingga Komnas HAM tidak melanjutkannya?
Jika dilihat secara hukum dan politik, Komnas HAM tidak ada kewenangan mewakili pemerintah Indonesia untuk berdialog atau bernegosiasi dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Untuk melanjutkan Jeda Kemanusiaan harus ada mandat dari pemerintah terlebih dahulu. Misalnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak bisa melakukan perjanjian dengan Kemenkes Malaysia jika tidak ada mandat ataupun persetujuan dari pemerintah.
Begitupun dengan nota kesepahaman Jeda Kemanusiaan yang dibuat oleh ULMWP, MRP, DGP, dan Komnas HAM yang memerlukan mandat dari pemerintah untuk bisa dilanjutkan. Perlu adanya langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Komisioner Komnas HAM yang baru untuk bisa melanjutkan Jeda Kemanusiaan.
Hal apa yang perlu dievaluasi dari pihak Komnas HAM dalam permasalahan Jeda Kemanusiaan?
Saya kira tidak ada yang perlu dievaluasi. Walaupun secara hukum salah, tapi inisiatif secara politis itu bagus. Saya merasa kecewa terhadap Komisioner Komnas HAM yang lama karena tidak melihat itu sebagai satu peluang untuk menyelesaikan masalah Papua. Meskipun Komnas HAM tidak mempunyai wewenang, tapi saya kira perjanjian Jeda Kemanusiaan masih bisa diupayakan untuk memberitahu pemerintah bahwa hal tersebut dibentuk atas dasar mengawali dialog bersama Papua.
Dampak seperti apa yang terjadi jika Jeda Kemanusiaan tidak dilanjutkan?
Perjanjian Jeda Kemanusiaan yang ditandatangani oleh Komnas HAM tanpa mewakili pemerintah menyebabkan signifikansi dampaknya tidak terlalu besar. Apabila Presiden menandatangani perjanjian tersebut, maka akan terjadi dampak yang cukup besar. Sebab, Presiden menandatangani perjanjian dengan atas nama pemerintah. Sedangkan Komnas HAM menandatangani perjanjian tanpa mewakili pemerintah Indonesia, maka dampaknya hanya pada penyelesaian konflik bersenjata.
Bagaimana tindak lanjut ideal dalam membenahi nota kesepahaman yang dibatalkan oleh Komnas HAM?
Saya berharap inisiatif perjanjian Jeda Kemanusiaan di Papua bisa dilanjutkan oleh lembaga lain yang memiliki wewenang. Perjanjian yang dilakukan dengan Papua merupakan inisiatif yang baik, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi negara Papua yang berkonflik. Jeda Kemanusiaan pun akan lebih sah jika dilanjutkan oleh lembaga berwenang.
Reporter: SRS
Editor: Nurul Sayyidah Hapidoh