Tak Seirama Penolakan Kebijakan UKT

Tak Seirama Penolakan Kebijakan UKT

Read Time:4 Minute, 47 Second
Tak Seirama Penolakan Kebijakan UKT

LPM Institut gelar diskusi sebagai respons terhadap kebijakan UKT yang memberatkan mahasiswa. Terungkap, penolakan yang dilakukan mahasiswa belum satu gerakan sehingga tak cukup efektif. 


Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar diskusi publik di Gerak Gerik Cafe and Bookstore, Jumat (5/7). Gelaran diskusi bertema “Kenaikan UKT dan Pergerakan Mahasiswa” bersamaan dengan peluncuran Tabloid Institut edisi ke-LXVIII. Di samping itu, diskusi juga sebagai respons terhadap kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang memberatkan mahasiswa.

Para pembicara terdiri dari Pemimpin Redaksi LPM Institut, Shaumi Diah Chairani, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKom), Najib Abdul Mugni Jayakarta, dan Ketua Amnesty UIN Jakarta, Patria Surya. Turut hadir secara daring Dosen Hukum Perdata UIN Jakarta, Andi Syafrani, serta mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora  yang terdampak kebijakan UKT, Satria Tamami.

Kebijakan UKT yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Rektor UIN Jakarta Nomor 512a Tahun 2024 terasa memberatkan mahasiswa. Pasalnya, terjadi lonjakan yang signifikan di beberapa Program Studi (Prodi) serta peniadaan cicilan UKT. Najib menilai SK itu sudah cacat formil secara hukum. Saat konsolidasi bersama mahasiswa lainnya, ia menemukan, penaikan UKT bukanlah wewenang Rektor, melainkan Kementerian Agama (Kemenag). 

“Terus cacat moral. Mahasiswa SNBP—Seleksi Nasional Berbasis Prestasi—dan SPAN PTKIN—Seleksi Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri—mengetahui kenaikan UKT setelah diterima,” tegas Najib, Jumat (5/7).

Najib berpendapat, kenaikan UKT itu merupakan imbas dari rencana pemindahan status UIN Jakarta menuju Perguruan Tinggi Negeri Berbasis Hukum (PTN-BH). Salah satu syaratnya, harus punya pendanaan pribadi. “Kita melihat kegilaan dalam upaya percepatan PTN-BH,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, tepat pada Hari Pendidikan Nasional, Kamis (2/5), Najib memimpin demonstrasi menuju gedung rektorat. Ia bersyukur DEMA-F ikut menghadiri konsolidasi sebelumnya, meskipun tanpa DEMA-U. Namun, ia menyayangkan ketidakhadiran seluruh peserta konsolidasi sewaktu aksi berlangsung. “Mereka (DEMA-U) justru membuat acara tandingan di Kampus Dua,” imbuhnya.

Ia turut menyoroti press release DEMA-U yang menolak Keputusan Menteri Agama (KMA) soal penetapan UKT. Dalam pernyataan itu, mereka memberikan ultimatum selama 3×24 jam. Bila Kemenag tak kunjung memberikan respon, mereka akan mengerahkan seluruh elemen mahasiswa PTKIN se-Indonesia untuk mengawal persoalan UKT. Nyatanya, pergerakan itu tak pernah terlihat. 

Menurutnya, pergerakan dalam menuntut kebijakan UKT harus melibatkan seluruh elemen mahasiswa. Walau tak sejalan dengan DEMA-U, ia selalu sedia membersamai gerakan yang akan dilakukan. “Untuk kepentingan camaba—Calon Mahasiswa Baru, saya harap kita satu suara, jangan ada gengsi, yang penting bisa menghasilkan goals. Kebijakan digagalkan, camaba terselamatkan,” katanya.

Di sisi lain, Najib menyebut pemerintahan sudah tidak punya empati. Padahal, mereka dulunya sama-sama kesusahan dalam mengakses pendidikan. Namun, sekarang malah senang menikmati jabatan. Begitu pun orang-orang kaya, mendirikan sekolah dan perguruan tinggi sebagai ladang bisnis.

“Kampus dikomersialisasi, mahasiswa mengkritik dikriminalisasi,” ujarnya.

Pada diskusi itu, Shaumi selaku Pemred LPM Institut mengaku geram dengan para pejabat kampus. Dalam proses peliputan isu UKT, pihak kampus tidak memberikan tanggapan yang solutif. Beberapa pejabat terkait, malahan tidak berbicara sedikit pun. “Mereka nggak mau dengar, tutup telinga,” ujar Shaumi, Jumat (5/7).

Shaumi turut prihatin melihat kurangnya respon mahasiswa lain menanggapi isu UKT. Ia mendapati kurangnya respon mahasiswa karena tidak terdampak langsung dari kebijakan itu. Adapun beberapa gerakan mahasiswa yang terjadi, juga tidak dalam satu komando yang sama, sehingga belum efektif menggugat kebijakan UKT. 

Menurut Patria, ketidak bersatuan gerak mahasiswa merupakan imbas dari politik kotor mahasiswa UIN Jakarta. Posisi tidak terisi sesuai kualitas, tapi karena relasi. Pada akhirnya, pemegang posisi yang seharusnya bergerak, hanya mengikuti instruksi dari relasi terkait itu. 

“Kalo Lu (Ketua DEMA-U) udah dipilih dan nyuruh orang abu-abu milih Lu, Lu hadir di sini! Supaya orang-orang tahu, Lu peduli sama camaba yang nanti bakal Lu manfaatin juga suaranya,” pesannya.

Adapun terkait kebijakan UKT itu, ujar Patria, sudah tergolong pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih lagi, pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) menyebut kuliah bukanlah kebutuhan utama. Padahal, Undang-Undang Dasar (UUD) sudah menjamin bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. 

“Katanya, ‘Pendidikan tinggi hanya kebutuhan tersier’,” ungkapnya menirukan ucapan salah satu Staf Kemendikbud-Ristek, Jumat (5/7).

UKT seharusnya menjadi solusi dari biaya kuliah yang bertumpuk. Nyatanya, sekarang UKT malah memberatkan. Kebijakan Rektor menaikkan UKT sama halnya mengembangkan bisnis. Sebab, bisnis yang tidak pernah mati ada terdapat dalam sektor pendidikan dan kesehatan.

“Seolah-olah Rektor menjadi CEO (Chief Executive Officer)”, tutur Patria. 

Pada kesempatan itu, Andi menyarankan mahasiswa untuk membangun solidaritas dalam mengawal isu UKT. Dalam pergerakan, butuh agent yang punya kepercayaan diri dan siap meluangkan waktu. Di samping itu, agent tersebut harus mampu meyakinkan mahasiswa yang kurang empati terhadap isu UKT bahwa kebijakan Rektor berdampak pada semua elemen mahasiswa. “Itu tidak saya lihat sekarang,” kata Andi (5/7).

Berdasarkan keterangan Andi, mahasiswa punya hak menggugat keputusan Rektor yang mengacu pada putusan Kemenag. Langkah pertama, mahasiswa harus menentukan objek gugatan. SK Rektor misalnya, sebagai kebijakan negara, dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bila ada yang merasa keberatan.

Menurut Andi, meskipun PTUN sebagai lembaga utama untuk mengoreksi putusan Rektor, tidak menutup kemungkinan menuntut lewat Pengadilan Negeri (PN). Namun, pelanggaran yang terjadi dalam putusan itu harus jelas, serta tidak terselesaikan oleh PTUN.

Berikutnya, tentukan pihak yang dirugikan dalam kebijakan itu sebagai penggugat. Dalam hal ini, mahasiswa dan orang tuanya. Namun, sebuah lembaga atau organisasi dapat mewakilkan pihak terdampak sebagai penggugat. Hal itu dengan catatan, termuat dalam Anggaran Dasar (AD)/ Anggaran Rumah Tangga (ART) organisasi terkait kewenangan dalam pengadvokasian pihak lain. 

“DEMA misalnya, bila fungsinya untuk mewakili kepentingan mahasiswa, maka itu pintu masuk untuk mewakili camaba,” jelasnya.

Sejatinya, Ketua DEMA UIN Jakarta, M. Ihdan Nazar Husaini turut dihubungi untuk menjadi narasumber sejak Rabu (26/5). Namun, hingga diskusi ini berlangsung, ia tak kunjung memberikan respons maupun menghadiri undangan Institut.

Reporter: MAI
Editor: Shaumi Diah Chairani

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Seni Berfilsafat Ala Kaum Rebahan Previous post Seni Berfilsafat Ala Kaum Rebahan
Terpenjara Hukum dan Batin Next post Terpenjara Hukum dan Batin