Tuntut Krisis Iklim Berujung Pembubaran Represif

Tuntut Krisis Iklim Berujung Pembubaran Represif

Read Time:3 Minute, 15 Second
Tuntut Krisis Iklim Berujung Pembubaran Represif

Masyarakat bergabung menyuarakan keresahan atas krisis iklim dan krisis demokrasi pada aksi Global Climate Strike. Sekelompok orang tak dikenal berusaha membubarkan aksi dengan cara represif.


Global Climate Strike (GCS) 2024 merupakan aksi untuk merespons situasi darurat terhadap dua krisis besar, yakni krisis iklim dan krisis demokrasi. Aksi tersebut berlangsung pada 20–27 September 2024 tersebar di 21 kota di Indonesia. 

GCS 2024 di Jakarta bertajuk “Bersama Melawan Darurat Iklim dan Darurat Demokrasi” berlangsung dengan konsep pawai dari Taman Menteng sampai Dukuh Atas, Jumat (24/9). Sepanjang perjalanan aksi, terdapat sekelompok orang tidak dikenal melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap massa aksi.

Dalam orasinya, Fathan sebagai anggota Climate Rangers berpendapat, pemerintah tidak bisa mengerti aspirasi masyarakat kecil dan masyarakat marjinal. Para masyarakat tersebut harus gantung diri untuk menyelamatkan sanak keluarganya. “Di tengah-tengah kemalangan itu, selalu ada kata gemilang para oligarki yang tidak peduli kepada masyarakatnya,” seru Fathan, Jumat (27/9).

Fathan mengungkapkan, pemerintah sudah melakukan banyak tindakan rakus dan mengambil hak masyarakat. Selain itu, pemerintah tidak serius terhadap komitmen global dan keselamatan pekerja.  “Mereka tamak dan tidak puas sudah eksploitasi dan monopoli,” tuturnya.

Sebagai anggota Sanggar Seroja, Yara Shahrazad mengungkapkan, krisis iklim juga berdampak pada kelompok transgender, terutama kelompok yang sehari-hari bekerja di jalanan kota. “Di jalan itu mereka terdampak cuaca panas dan hujan yang bisa membuat mereka tidak bisa mencari uang karena sakit,” keluh Yara, Jumat (27/9). 

Yara lanjut menuturkan, pemerintah perlu melakukan transisi energi menggunakan energi fosil supaya Indonesia memiliki cuaca yang stabil. “Pemerintah memang sulit dijangkau ketika mereka perlu mengeluarkan banyak biaya yang menjadi beban finansial,” lanjutnya.

Selaras dengan Yara, anggota Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia, Icanna percaya bahwa krisis iklim tidak hanya terjadi begitu saja, banyak aktor yang terlibat khususnya di sektor industri. Sebagai anggota yang fokus di bidang keuangan berkelanjutan (suistainable finance), ia melihat adanya lembaga keuangan yang turut memperparah krisis iklim saat ini. 

“Misalnya di dalam proyek sawit, kami melihat bahwa banyak bank yang memberikan pembiayaan kepada industri yg jelas-jelas melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan memperparah kondisi krisis iklim,” jelas Icanna, Jumat (27/9).

Icanna mengatakan, peserta dari TUK Indonesia membawa properti yang bertuliskan “My Chocolate is Killing People”. Properti tersebut bermakna cokelat terbuat dari sawit yang sebenarnya proses produksinya juga berkontribusi atas kerusakan keanekaragaman hayati di Indonesia. “Bank ini memberikan pendanaan kepada perusahaan sawit yang bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan bersifat greenwashing,” ucapnya. 

Pada praktiknya, lanjut Icanna, ada masalah perampasan lahan dan kriminalisasi warga. “Bahkan dua teman kami tewas tertembak oleh aparat satu tahun lalu ketika sedang mempertahankan ruang hidupnya di Seruyan, Kalimantan Tengah. Komitmen negara yang selama ini dibahas itu jadi tagline belaka,” ungkap Icanna.

Menurut Icanna, ketika pemerintah berpihak ke masyarakat, harusnya pemerintah dapat mengambil sikap tegas. “Kita juga harus terus mendesak negara untuk berhenti mencari solusi palsu. Kita juga harus sadar bahwa sesuatu yang kita konsumsi sebenarnya berkontribusi juga terhadap krisis iklim,” tegasnya.

Terkait tindakan represif saat aksi, menurut pengamatan Institut, terjadi saat massa aksi menyiapkan sejumlah perangkat di Taman Menteng. Tiba-tiba sekelompok preman merampas barang-barang peserta aksi, diantaranya 2 buah megafon, 40 lembar poster, 5 buah spanduk; 1 buah manekin; 2 buah bendera; 4 properti tanda bahaya, 1 payung, 1 set pengeras suara dan power station panel surya, 2 properti krisis lingkungan, dan properti replika cokelat. 

Belum sampai ke titik akhir, Dukuh Atas Skatepark, preman tersebut datang kembali dan berteriak “Bubar! Bubar sekarang!” secara berulang yang menyebabkan situasi aksi tidak kondusif. Koordinator GCS mencoba mediasi dengan salah satu preman tersebut, akan tetapi mereka tidak terima karena banyak yang mencoba merekam kejadian tersebut.

Akibatnya, kelompok preman semakin agresif kepada massa aksi. Mereka merebut properti, merobek spanduk, dan melakukan kekerasan. Alih-alih menindaklanjuti preman itu, aparat kepolisian tetap diam dan menyaksikan kejadian tersebut tanpa mengambil tindakan tegas. Massa aksi memilih untuk kembali agar kelompok preman tidak semakin menyerang massa. 

Reporter: Rizka Id’ha Nuraini
Editor: Shaumi Diah Chairani

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
100 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
September Hitam: Pelanggaran HAM Tak Berujung Previous post September Hitam: Pelanggaran HAM Tak Berujung
Di Bawah Bayang Kuasa Next post Di Bawah Bayang Kuasa