Masjid FISIP UIN Jakarta mendapat sorotan lantaran dinilai kurang nyaman untuk beribadah. Mahasiswa keluhkan desain masjid yang terlalu terbuka, serta kurangnya batasan antara laki-laki dan perempuan.
Beberapa mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengeluhkan kondisi masjid fakultas tersebut. Mereka menyoroti desain masjid yang terbuka, tidak ada pembatas salat, tidak ada karpet, serta penempatan tempat wudu yang dianggap kurang tepat.
Risma Artika, mahasiswi Progam Studi (Prodi) Sosiologi menganggap masjid itu kurang memberikan privasi terhadap perempuan. Menurutnya, desain masjid FISIP memang cantik, tetapi akan lebih bagus jika memperhatikan fungsinya juga. “Di sini tidak ada batasan buat perempuan sama laki-lakinya, apalagi perihal wudu,” ujar Risma saat ditemui di masjid FISIP, Selasa (5/11).
Risma sempat kebingungan lantaran tidak adanya pembatas salat. Namun akhirnya ia terbiasa karena hanya sedikit mahasiswa yang berkunjung ke sana. “Gak ada tabir pembatas karena memang pada jarang salat di masjid, tapi tetap harus ditegakkan biar ada pembatas antara laki-laki dan perempuan,” katanya.
Fatimah Azzahra, mahasiswi Prodi Sosiologi lainnya menyampaikan keluhan yang sama. Ketiadaan pembatas salat antara laki-laki dan perempuan, serta keadaan masjid yang terbuka membuatnya khawatir auratnya terlihat. Ketidaknyamanan semakin dirasakannya karena tidak ada karpet sebagai alas salat. “Jadi saya salat langsung menyentuh ubin, ibaratnya bukan kayak masjid lebih ke saung, tapi terbuat dari tembok,” ujar Fatimah, Selasa (5/11).
Fanny, bukan nama sebenarnya, mahasiswi Prodi Ilmu Politik, turut merasa kurang nyaman beribadah di masjid tersebut karena tidak adanya pembatas. Di samping itu, menurutnya akses dari tempat wudu ke tempat salat terlalu terbuka. “Jadi saya lebih sering salat di (Fakultas) Psikologi. Di FISIP, kalau saya sudah wudu di luar,” ungkapnya, Kamis (2/11).
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Azzam Alhanif menduga penempatan tempat wudu yang tidak biasa disebabkan oleh kesalahan denah awal. Saat ini, tempat wudu laki-laki berada di samping bagian salat perempuan, bersebelahan dengan tempat wudu perempuan. “Ini tentunya mengganggu, coba bayangkan kita sudah wudu lalu tersenggol sama yang bukan mahram? Batal dong,” ungkap Azzam melalui WhatsApp, Rabu (3/11).
Selanjutnya, Azzam menyampaikan, masjid merupakan fasilitas umum yang dibangun untuk kebutuhan umat muslim. Maka dari itu, seharusnya lebih memperhatikan pemisahan laki-laki dan perempuan. Menurutnya, hukum mahram dalam Islam menjadi salah satu pertimbangan mengapa ruang ibadah, termasuk area wudu, perlu dipisahkan dengan jelas. “Tapi, ya kita tunggu saja bagaimana kebijakan dari FISIP untuk mengatasinya, ” ujarnya.
Lukman al-Hakim, dosen Praktikum Ibadah dan Qira’ah UIN Jakarta dan Institut Ummul Quro Al-Islami (IUQI) Bogor turut menyatakan hal serupa. Lukman mengungkapkan, dalam ajaran agama Islam, dianjurkan agar wanita menjaga jarak dari laki-laki, termasuk di tempat-tempat ibadah. “Perlu diketahui, agama menganjurkan jauhnya wanita dari laki-laki, termasuk di tempat-tempat salat. Karena memang ujian bagi laki-laki yang paling berat adalah tentang wanita.” jelas Lukman melalui WhatsApp, Kamis (7/11).
Selain itu, Lukman menerangkan, pada zaman Nabi Muhammad SAW, para wanita memiliki adab salat berjamaah. Setelah imam mengucapkan salam, mereka segera bangkit dan pulang agar tidak berdesak-desakan dengan laki-laki di jalan. “Oleh karena itu sebaiknya dibuat pembatas,” ujarnya.
Soal penempatan tempat wudu, ia menambahkan, tidak jadi persoalan selama laki-laki dan perempuan tidak saling berdesakan saat berwudu. Lukman juga menerangkan bahwa penggunaan karpet di masjid hukumnya cuma mubah. “Tidak ada kekhususan, jadi kembali pada kebijakan DKM masing-masing masjid. Masjid Nabawi sendiri menggunakan karpet tebal, tapi ada juga masjid yang tidak menggunakannya,” jelasnya.
Ketiadaan karpet ini mendorong mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) FISIP untuk mengadakan program sumbangan alat salat. Program itu diinisiasi sebagai bentuk kepedulian mereka agar mahasiswa dapat beribadah dengan lebih nyaman. Melalui program tersebut, DKM berhasil mengumpulkan beberapa sajadah, mukena, dan sarung yang kini tersedia di masjid.
“Sumbangan alat salat yang kami peroleh berasal dari mahasiswa FISIP. Kami berharap dengan adanya program ini kebutuhan salat mahasiswa dapat terpenuhi, dan masjid bisa menjadi tempat yang nyaman untuk beribadah,” jelas Damar, salah satu anggota DKM FISIP, Rabu (6/11).
Di sisi lain, sebut saja Suparman, petugas kebersihan menjelaskan, Masjid FISIP sebenarnya memiliki karpet, namun tidak digelar karena kondisinya yang terbuka. “Saya khawatir terkena kencing atau kotoran hewan. Tapi setiap hari lantainya saya pel pakai karbol dan pewangi,” ujar Suparman, Kamis (7/11).
Begitupun mengenai tabir pembatas, Suparman mengaku belum sempat memasangnya kembali sejak COVID-19. Hal itu karena ia cuma bertugas sendirian menjaga kebersihan seluruh lobby FISIP. “Belum sempat saya pasang lagi, nanti saya carikan kainnya dulu ya,” tambahnya.
Sementara itu, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Cucu Nurhayati, menjelaskan, pembangunan masjid FISIP mengusung konsep Green Campus. Desain masjid yang terbuka bertujuan untuk meminimalisir penggunaan listrik dan mendukung sirkulasi udara. Kurangnya batasan antara laki-laki dan perempuan, menurut Cucu, lantaran FISIP bukan fakultas yang fokus pada aspek keislaman.
“FISIP kan bukan fakultas agama, suka-suka dong,” ungkap Cucu, saat diwawancarai di ruangannya, Senin (11/11).
Berdasarkan pengamatan Institut, pembatas salat telah dipasang kembali pada Rabu (13/11).
Reporter: NAP
Editor: Muhammad Arifin Ilham