Teater Syahid bersama Sanggar Kummis dan Teater Guriang menggelar Parade Monolog. Mereka menghadirkan lima pertunjukan yang mengangkat isu sosial, HAM, hingga keresahan eksistensial
generasi muda.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Syahid menggelar Parade Monolog yang berkolaborasi bersama Sanggar Kummis dan Teater Guriang. Parade Monolog terdiri dari lima pertunjukan yang berlangsung selama tiga hari, menghadirkan beragam kisah dan keresahan yang diangkat melalui seni monolog. Rangkaian pertama berlangsung pada 12 Desember di Aula Syafrudin, Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Ciputat. Selanjutnya, pada 19–20 Desember di Aula Student Center Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Parade Monolog dibuka oleh Teater Guriang dengan judul Regent, naskah ini ditulis dan disutradarai Dede Abdul Majid. Melalui naskah ini, ia mengajak penonton untuk membaca kembali sejarah Max Havelaar dan pergulatan tokoh lokal di bawah kolonialisme. Pertunjukan ini mengangkat kisah Adipati Kartanata Negara, Bupati Lebak yang menjadi figur sentral dan sering disebut “Musuh besar kolonialisme”, serta mengaitkannya dengan isu-isu masa kini.
“Saya mengajak kawan-kawan hari ini, buat membaca ulang sejarah dalam konteks yang berbeda, yaitu lewat teater,” ujar Dede, Kamis (12/12).
Selanjutnya, pementasan kedua berjudul Aeng/Alimin karya Putu Wijaya dipilih sebagai Parade Monolog dari Teater Syahid, disutradarai Ananda Dwi Pangestu. Naskah ini diangkat karena relevansinya dengan situasi saat ini. Pementasan ini menekankan pesan tentang keadilan yang seharusnya merata bagi semua lapisan masyarakat. “Keadilan itu harus ada di semua ranah, gitu. Enggak cuman keadilan bagi yang punya uang aja. Tapi juga keadilan tuh rakyat-rakyat kecil harus punya keadilan,” tutur Ananda, Kamis (19/12).
Penampilan ketiga, menampilkan karya monolog Ridho Hafiedz sebagai penulis sekaligus sutradara yang berjudul Millenials 20+. Pertunjukan ini, mengangkat tema utama yang terinspirasi dari keresahan penulis terkait krisis eksistensial dan pencarian jati diri di usia 20-an. Selain itu, sutradara juga menyoroti pentingnya keseimbangan antara kenangan masa kecil dan tanggung jawab dewasa.
“Kita harus seimbang, kita boleh mengingat hal-hal kecil ketika kita masih kecil. Tapi jangan lupa bahwa kita harus memenuhi tanggung jawab lainnya,” ungkap Ridho, Kamis (19/12).
Monolog keempat berjudul 20 Menit Saja karya Indra Sugara disutradarai Akmal Fernandez sebagai persembahan dari Sanggar Kummis. Diadaptasi dari kasus Fina, naskah ini menjadi kritik Akmal atas penanganan kasus-kasus Hak Asasi Manusia (HAM) pemerintah yang belum tuntas. “Pesan yang ingin saya ceritakan ini mengkritik sebuah pemerintahan yang tidak becus untuk menangani kasus HAM,” ungkap Akmal, Jumat (20/12).
Parade Monolog diakhiri penampilan Luqman Kancil Dardari mengadaptasi karya Franz Kafka berjudul, A Report to an Academy. Menurut Kancil, Franz Kafka dalam naskah ini merefleksikan tentang kehidupan manusia Eropa di masa imperialisme dan tekanan sosial. Franz menyampaikan pesan tentang penerimaan dan tindakan untuk mengisi kekosongan yang ada.
“Hidup itu sebenarnya kalau kita bisa mengamati segala sesuatu dengan penuh ketenangan, Kita pasti akan mendapatkan jalan keluarnya,” ucap Kancil, Jumat (20/12).
Ketua pelaksana Parade Monolog, Syifa Aulia mengungkapkan, tujuan awal program tersebut memberikan wadah bagi para senior Teater Syahid yang masih aktif di dunia kesenian untuk tampil. Akan tetapi, karena adanya tawaran kolaborasi dengan Sanggar Kummis dan Teater Guriang, Parade Monolog diperluas cakupannya. “Jadi kita sekalian itu gak hanya untuk senior, jadi untuk teman-teman teater lain gitu untuk ikut acara ini,” tutur Syifa, Jumat (20/12).
Syifa berharap kedepannya lebih banyak lagi yang tertarik dan antusias dengan adanya Parade Monolog ini. Selain itu, ia juga menyampaikan harapannya agar Parade Monolog dapat kembali diselenggarakan di tahun-tahun mendatang. “Dan bisa apa ya, menjadi bentuk apresiasi untuk orang-orang yang masih bergelut di dunia kesenian gitu,” ungkap Syifa.
Sebagai penonton, Darin dari SMA Muhammadiyah IV Jakarta menyampaikan apresiasinya terhadap penampilan monolog hari pertama. Menurutnya, penampilan para tokoh sangat memukau dan mampu menghadirkan suasana emosional yang campur aduk, dari sedih hingga marah. “Tadi sih dari pembawaannya ya dari para tokohnya itu sangat amat terbawa suasana ya. Kayak dari sedih, kesal, semuanya campur aduk,” ucap Nahla, Kamis (12/12).
Muhammad Naufal Waliyuddin selaku penonton turut mengapresiasi kegiatan Parade Monolog yang menampilkan pementasan berkualitas dan relevan dengan isu terkini. Selain itu, Naufal menilai Teater Syahid kerap menyajikan karya-karya yang bagus dan sesuai dengan minat mahasiswa. “Ya, kita apresiasi dengan menonton dan mengambil pesan-pesan yang bisa diambil di pementasan itu,” pungkasnya, Kamis (19/12).
Reporter: RAF
Editor: Shaumi Diah Chairani