
Teater Syahid menggelar garapan besar bertema Makan!. Pementasan menyoroti fenomena kelangkaan makanan dan kesenjangan sosial imbas dari krisis iklim.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater melangsungkan pementasan Garapan Besar “Makan!” yang merupakan ide karya Ridho Hafiedz dan sutradara Abdul Sahri Wiji Asmoko. Pementasan berlangsung Jumat (4/10) hingga Minggu (6/10) di Hall Student Center (SC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pertunjukan “Makan!” berfokus pada fenomena krisis pangan yang diakibatkan oleh perubahan iklim ekstrem. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah menginisiasi program seperti Food Estate untuk mengatasi kelangkaan makanan. Seorang aktivis bernama Mukhsin mendapatkan undangan untuk menghadiri jamuan makan terakhir. Namun, ia beranggapan program tersebut hanya menguntungkan pihak elit. Benar saja, muncul konflik atas hal tersebut.
Sutradara Abdul Sahri Wiji Asmoko menjelaskan, ide dari tema Makan! berawal dari isu yang sangat dekat dengan kehidupan, yakni kesenjangan sosial. Meskipun kesenjangan sosial sudah sering diangkat, lanjut Sahri, Teater Syahid mengemas melalui sudut pandang makanan.
“Karena saya melihat dari makanan ini bisa muncul banyak hal, termasuk egosentrisme. Ketika seseorang merasa berhak atas lebih banyak atau makanan yang lebih baik, itu bisa menjadi awal dari konflik, bahkan kematian,” katanya, Jumat (4/10).
Judul pertunjukan Makan!, ungkap Sahri, bukanlah ajakan untuk makan, tapi sebuah peringatan. Peringatan ini bisa bermakna kelangkaan makanan atau keadaan yang mengharuskan makan apa adanya. “Bagi saya, yang menarik adalah perbedaan persepsi penonton yang mungkin muncul dari judul itu. Saya ingin memberi kebebasan bagi mereka untuk menafsirkan sendiri makna dari apa yang mereka tonton,” lanjut Sahri.
Menurut Sahri, makanan itu lebih dari sekadar sesuatu yang kita makan untuk bertahan hidup. Dari proses pembuatannya, banyak hal yang bersinggungan dengan masalah sosial dan lingkungan. Misalnya, produksi pangan industri besar bisa memicu gas rumah kaca dan pembusukan bahan pangan yang merugikan. Akibatnya, muncul krisis iklim dan kelangkaan makanan.
Panggung pertunjukkan juga dihiasi dengan alat yang atraktif seperti pencahayaan, musik, dan properti pendukung. Penonton berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga masyarakat umum.
Sebagai penonton, Muhammad Ridho mengungkapkan, pertunjukan ini sangat berkesan. Menurutnya, tema ini cukup lekat dengan krisis pangan di Indonesia dan berhasil menangkap keresahan masyarakat mengenai krisis yang semakin terasa di Indonesia.
Sementara itu, Zara, penonton lainnya, menyoroti pesan kuat yang disampaikan oleh pertunjukan tersebut. Menurutnya, teater ini mampu merefleksikan keadaan sosial yang terjadi di sekitar dan memberikan dorongan untuk lebih peka terhadap isu-isu sosial.
“Keren sih, terus pesannya mendalam juga tentang orang-orang besar yang serakah. Apalagi sekarang itu lagi banyak rakyat menengah yang dimiskinkan, terus yang miskin malah makin dimiskinkan,” tutur Zara, Jumat (4/10).
Reporter: Rizka Id’ha Nuraini
Editor: Shaumi Diah Chairani