Toxic Relationship Jerat Anak Muda

Toxic Relationship Jerat Anak Muda

Read Time:4 Minute, 7 Second
Toxic Relationship Jerat Anak Muda

Fenomena toxic relationship—hubungan tidak sehat yang dapat merusak kesejahteraan emosional, mental, bahkan fisikdi kalangan anak muda perlu menjadi perhatian serius. Dampaknya tidak hanya memengaruhi emosional, tetapi juga aktivitas sosial. Menurut World Health Organization (WHO), anak muda adalah individu berusia 15-24 tahun yang sedang berada pada fase membentuk identitas, kemandirian, dan pola relasi sosial.

Laporan riset Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan Universitas Sebelas Maret (UNS)  pada 2021 menunjukkan, 75,4 persen mahasiswa pernah mengalami bentuk hubungan pacaran yang tidak sehat, terutama berupa tekanan emosional dan pembatasan aktivitas. Meski menghadapi tekanan dan kontrol dari pasangan, sebagian korban tetap bertahan. Sebanyak 52,8 persen meminta pasangannya tidak mengulang, 34 persen memaafkan, dan 28,3 persen mempertahankan hubungan.

Penelitian berjudul Hubungan Kekerasan dalam Pacaran dengan Self-esteem pada Korban Wanita Dewasa Awal oleh Devia Putri Ramadhani dan Ike Herdiana juga mengungkap adanya dampak psikologis dari toxic relationship. Artikel yang diterbitkan Buletin Riset Psikologi dan Kesehatan Mental tahun 2022 itu menunjukkan relasi antar pasangan dengan kontrol emosional dapat menimbulkan gangguan psikis yang serius. Dampak tersebut membuat korban memiliki harga diri rendah yang bertahan dalam jangka waktu lama.

Hubungan yang tidak sehat dapat berkembang dari hal-hal yang tampak sepele, seperti pertengkaran berulang, kontrol berlebihan, atau ketidakstabilan emosi. Jika berlangsung lama, pola ini bisa meningkat menjadi masalah yang lebih serius dalam hubungan.

Salah satu contoh nyata terjadi di Bantul pada Maret 2025. Melansir Kompas.com, Enggal Dika Puspita (23) dan Rafy Ramadhan (24) menjalani hubungan lima tahun dengan penuh pertengkaran berulang, kontrol emosional, dan kekerasan fisik dua arah. Kasus ini menunjukkan bagaimana kontrol emosional, pertengkaran berulang, dan kekerasan fisik dapat berkembang dalam hubungan toxic. Situasi ini menunjukkan bahwa relasi pacaran belum tentu menjadi ruang aman bagi perempuan maupun laki-laki muda.

Pada Selasa (4/11), Institut mewawancarai Ida Rasyidah, dosen Sosiologi Gender UIN Jakarta. Wawancara membahas bagaimana toxic relationship muncul dan bertahan di kalangan mahasiswa, terutama terkait ketimpangan relasi dan dinamika kuasa. Ida juga menjadi editor buku Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim, yang menyoroti kekerasan sebagai faktor keretakan hubungan.

Apa saja ciri-ciri toxic relationship?

Toxic relationship biasanya terlihat dari enam tanda utama. Pertama, adanya dominasi atau kontrol dari satu pihak, misalnya menentukan aktivitas atau membatasi apa saja yang boleh dilakukan pasangan. Kedua, pembatasan interaksi sosial yang membuat korban perlahan terpisah dari teman dan keluarga.

Ketiga, korban kehilangan identitas diri. Individu yang awalnya percaya diri menjadi ragu, pasif, dan mudah takut. Keempat, muncul ketergantungan emosional atau ekonomi yang membuat korban sulit keluar dari hubungan meski terus disakiti.

Kelima, pelaku menggunakan ancaman untuk mempertahankan kuasa, termasuk intimidasi atau penyebaran konten pribadi. Keenam, minimnya ruang negosiasi dalam hubungan karena keputusan hubungan sepenuhnya dipegang oleh satu pihak.

Apa dampak jangka panjang dari toxic relationship?

Dampak jangka panjang toxic relationship terlihat dari isolasi sosial yang semakin kuat. Kontrol pelaku membuat hubungan korban dengan teman, lingkungan, dan keluarga terputus sehingga jaringan dukungan sosial yang semestinya melindungi justru hilang.

Selain itu, identitas diri korban perlahan runtuh. Perubahan dari pribadi yang ceria dan mandiri, menjadi pasif dan mudah takut muncul sebagai konsekuensi dari relasi kuasa yang menekan. Jika tidak dihentikan, kondisi ini dapat memperkuat siklus kekerasan yang semakin intens dan sulit diputus.

Apa faktor munculnya toxic relationship?

Hubungan toxic biasanya terbentuk dari tiga faktor utama. Pertama, ketimpangan status sosial atau ekonomi yang memberi salah satu pihak posisi lebih dominan. Kedua, pola kekerasan yang diwariskan dari keluarga, ketika pelaku meniru cara berelasi yang ia saksikan di masa kecil. Ketiga, kebutuhan kontrol yang muncul dari pengalaman sosial atau cara berinteraksi, mendorong pelaku membatasi pasangan agar tetap berada dalam jangkauannya.

Mengapa masih banyak yang bertahan di hubungan toxic?

Pelaku cenderung mempertahankan hubungan karena merasa memiliki kuasa, baik melalui status sosial, ekonomi, maupun kebiasaan pola kontrol yang sudah dianggap normal sejak masa kecil. Keinginan untuk terus mengatur pasangan membuat pola dominasi berlanjut.

Sementara korban bertahan karena ketergantungan pada pasangan, baik dari sisi ekonomi maupun dukungan sosial. Beberapa individu yang tumbuh tanpa figur ayah mencari pasangan sebagai sumber perlindungan, meski akhirnya terjebak dalam relasi pengendalian. Kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender dan norma relasi yang sehat membuat tindakan dominasi pelaku terlihat wajar, terutama jika disertai manipulasi atau ancaman.

Bagaimana langkah-langkah mencegah dan solusi untuk toxic relationship?

Pencegahan dimulai dari individu. Setiap orang perlu memahami batasan diri, memiliki kemampuan negosiasi, dan menjaga kemandirian sosial maupun ekonomi agar tidak bergantung sepenuhnya pada pasangan. Hubungan sebaiknya seimbang antara waktu bersama pasangan dan kegiatan di luar, sehingga tanda-tanda kekerasan dapat dikenali sejak awal.

Keluarga berperan menanamkan pola relasi sehat sejak dini, dengan prinsip saling menghargai dan pengambilan keputusan yang adil. Lembaga pendidikan juga perlu menanamkan pendidikan karakter dan kesadaran kesetaraan gender untuk semua siswa, bukan hanya fokus pada akademik.

Solusi muncul melalui dukungan sosial. Masyarakat, komunitas, dan media harus peka terhadap tanda kekerasan, serta membantu korban melapor tanpa memandang gender. Informasi tentang hubungan sehat dan mekanisme pengaduan perlu disebarkan secara luas agar semua individu mendapat perlindungan dan dukungan untuk keluar dari hubungan berisiko.

Reporter: SFA
Editor: Rifki Kurniawan

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Dedikasi Pengemudi Ojol di Jalanan Perkotaan Previous post Dedikasi Pengemudi Ojol di Jalanan Perkotaan
Dari Media Hingga ke Ruang Kelas Next post Dari Media Hingga ke Ruang Kelas