Read Time:2 Minute, 15 Second
“Kalau merujuk pada dasar kehidupan, perempuan dan laki-laki itu manusia, tidak ada bedanya. Laki-laki tidak lebih tinggi dibanding perempuan, maupun sebaliknya.” Begitulah Neng Dara Affiah memandang status pria dan wanita dalam kehidupan. Ia adalah seorang pejuang hak-hak perempuan yang kini aktif di Komisi Nasional (Komnas) Perempuan.
Keprihatinan Neng terhadap perempuan sudah tertanam sejak masih berstatus sebagai mahasiswa. Saat itu, ia aktif di beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perempuan, seperti Kalyanamitra dan Solidaritas Perempuan. Selepas kuliah, ia juga sempat menjadi ketua Fatayat Nahdlatul Ulama (NU). Kini, Neng aktif di Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI)–sebuah komunitas yang mewacanakan konsep pembaharuan Islam di Indonesia.
Tak pernah terbayangkan dalam benak Neng sebelumnya untuk menjadi seorang aktivis feminis. Apa yang ia lakukan kini, tak lebih hanya sesuai panggilan hatinya. Ia mengaku, sejak kuliah cita-citanya hanya ingin menjadi seorang intelektual.
Selama 24 tahun berkarir, tak mudah bagi kakak Nong Darol Mahmada ini menjadi pejuang hak-hak perempuan. Buah pikirannya terkait isu-isu wanita kerap menimbulkan kontroversi lantaran dinilai selaras dengan KEMI yang berhaluan Islam liberal. Penolakan itu terutama datang dari golongan Islam konservatif. Meski begitu, ia tetap yakin dengan apa yang ia perjuangkan. “Hidup itu harus memperjuangkan keyakinan,” ujar mahasiswa lulusan Perbandingan Agama (PA) IAIN Jakarta ini.
Telah banyak gagasan mengenai pe-rempuan yang ia tuangkan lewat beberapa buku. Muslimah Feminis salah satunya. Dalam bukunya yang terbaru itu, ia mencoba mengharmoniskan persoalan agama dan feminisme. Padahal, tak sedikit yang menilai isu feminisme dan agama adalah dua hal yang sama sekali berbeda dan mustahil untuk diharmoniskan.
Bagi Neng, Islam muncul untuk memanusiakan perempuan. Lewat bukunya itu, Neng ingin mematahkan stigma masyarakat yang menganggap konsep feminisme berasal dari Barat, sedangkan Islam dari Timur. Namun sebaliknya, Islam hadir dengan semangat untuk memperlakukan laki-laki dan wanita setara, berdasarkan keimanan dan ketakwaan.
Lebih lanjut, menurut Neng, sejak dulu hingga kini, wanita adalah sosok yang rentan dizalimi, terdiskriminasi, ditinggalkan, dan kerap memperoleh kekerasan. Neng juga melihat masih ada stigma masyarakat yang menilai sosok perempuan lebih rendah dibanding kaum laki-laki. Hal itu yang membuat mantan aktivis Formaci ini tetap berdiri di barisan depan dalam membela hak-hak pe-rempuan.
Latar belakang keluarga telah menginspirasi wanita kelahiran Banten, 10 November 1969 ini untuk menjadi aktivis feminis. Neneknya tokoh pendiri beberapa sekolah di Banten. Kakak ibunya seorang ulama perempuan terkenal di daerah yang sama. “Saya memperoleh tauladan dari mereka agar menjadi perempuan berdaya, mandiri, dan tidak pasrah pada kehidupan,” katanya.
Tak hanya keluarga, beberapa tokoh cendekiawan seperti Gusdur, Nur Kholis Majid, Dawam Raharjo, dan Johan Efendi juga telah menginspira-sinya. Semasa kuliah dulu, ia pernah menjadi pengelola warta NU karena hanya ingin dekat dengan mendiang Gusdur. Kedekatannya dengan beberapa tokoh itulah yang membawanya aktif di KEMI.
(Thohirin)
Average Rating