Fakta Kekerasan Perempuan dalam Kerusuhan 98’

Read Time:3 Minute, 9 Second
Sumber: Internet
Apa sebenarnya yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998? Apakah peristiwa ini terjadi secara spontan? Lalu, bagaimana kondisi rakyat kala itu terutama perempuan dan kaum minoritas di Indonesia?

Sepintas itulah pertanyaan yang tersimpan rapi dalam benak sebagian rakyat Indonesia. Tujuh belas tahun sudah tragedi kerusuhan Mei 1998 berlalu, ribuan rakyat pribumi maupun keturunan Tionghoa menjadi korban. Dan hingga kini tak ada kejelasan siapa pihak yang bertanggung jawab dalam kerusuhan tersebut.

Juli 1997 kritis moneter melanda Asia, bersamaan  dengan itu ekonomi Indonesia anjlok dan mengalami fase terburuknya. Rakyat kian resah, panik serta mengingikan Presiden Soeharto lengser dari jabatannya.

Menanggapi respon tersebut pemerintah bersifat represif dengan menculik tokoh-tokoh yang dianggap provokator. Kejadian tersebut semakin memanaskan situasi, rakyat pun kian aktif menggelar demonstrasi. Bukan hanya Jakarta demonstrasi juga terjadi di kota lainnya, seperti di Medan, Solo, Palembang, Lampung, dan Surabaya.

Puncaknya 12 Mei 1998 terjadi ledakan demonstrasi di Jakarta, yang mengakibatkan empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak aparat keamanan. Keesokkan harinya, beberapa kawasan bisnis dan pemukiman warga etnis Tionghoa di Indonesia menjadi sasaran pembakaran, penjarahan, penganiayaan, bahkan pemerkosaan. Apalagi, banyak korban diperkosa secara masal di tempat umum.

Tapi anehnya pemerintah melalui Jenderal (Purn) ABRI Wiranto menyangkal adanya kejahatan seksual pemerkosaan. Sebab setelah ditelusuri anggota ABRI, dengan mendatangi tiap rumah sakit di Indonesia sampai ke Singapura, mereka tak mendapati adanya korban pemerkosaan. Lebih lagi  Wiranto menyatakan semua laporan kejahatan seksual dalam kerusuhan 1998 hanyalah dugaan semata karena tak ada bukti kejadian, korban, dan saksi.

Mendengar itu, Saparinah Sadli relawan dari Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan geram. Ia pun langsung menghubungi rekan sejawatnya Smitha Notosusanto, keduanya didukung Convention Watch, Progam Studi Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), dan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi sepakat untuk membuat surat terbuka yang ditujukan kepada presiden baru Indonesia B.J Habibie.

Surat tersebut berisi kekecewaan rakyat atas kebenaran yang diberikan pemerintah terhadap kerusuhan Mei 1998. Terlebih, hingga Soeharto lengser dari kursi presiden masih saja ditemukan penyerangan fisik dan kejahatan seksual terhadap perempuan muda Tionghoa. Sementara ancaman penyerangan masih saja muncul dan meneror sebagian besar warga Indonesia.        

Tampaknya keadaan tersebut  tidak menyurutkan niat Martadinata Haryono, seorang wanita muda yang menjadi salah satu korban kejahatan seksual. Ia bersaksi kepada rakyat Indonesia bahkan dunia dengan menggelar konferensi pers pada Selasa 6 Oktober 1998. Martadinata lantang mengecam kejahatan seksual perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998.

Kegigihan wanita yang akrab disapa Ita dalam memperjuangkan keadilan di hadapan hukum harus dibayar mahal. Tiga hari berselang tepatnya Jumat 9 Oktober 1998, ia ditemukan tewas dengan sepuluh luka bekas tikaman di perut, dada, dan lengan kanannya. Parahnya lagi menurut dokter sayatan benda tajam di leher ita hampir memutus kepalanya. Hingga kini, pemerintah masih saja bungkam ketika ditanya siapa pelaku sebenarnya pembunuhan tersebut.

Akhirnya Presiden B.J Habibie membuat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang terdiri dari pemerintah,  Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Berdasarkan temuan TGPF, kerusuhan 1998 memakan 1.217 korban. Antara lain 1.190 korban terbakar, 91 luka-luka, dan 27 tewas akibat senjata.

Sedangkan Polda merilis 451 korban meninggal, Komando Daerah Militer (Kodam) pun mencatat 69 luka-luka dan 463 korban tewas termasuk aparat keamanan. Selain itu, di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta didapati 288 korban jiwa dan 101 korban luka-luka. Ditambah data dari kota-kota besar terdapat 188 korban di Indonesia ; 30 korban tewas, 131 korban luka-luka, dan 27 korban luka bakar.

Buku Tragedi 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan ini, banyak menceritakan fakta sesungguhnya dari kerusuhan Mei 1998, terutama dari korban perkosaan maupun LSM peduli perempuan.  Ancama dan trauma mendalam seringkali dirasakan para korban hingga merasa terasingkan. Dengan perjuangan yang tak kenal henti, akhirnya para relawan berhasil membujuk Presiden BJ. Habibie membentuk Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Perempuan. 


Yasir Arafat

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post TABLOID EDISI 40
Next post Kejar Akreditasi, Basement Alih Fungsi