Read Time:2 Minute, 32 Second
Ruangan itu terlihat gelap, hanya lampu semu kuning yang menerangi sebagian pernak-pernik di panggung. Tiba-tiba muncul sosok pria dengan blangkon di kepala serta pakaian khas Jawa yang dipakainya. Pria tersebut melenggak-lenggokkan tubuhnya sembari melantunkan lagu Stasiun Balapan dan membuat seisi ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan penonton.
“Alkisah, ada tiga orang saudara yang berbeda watak, ambisius, pintar, dan selalu ingin menang, tiba-tiba bersatu untuk membantu orang tua mereka yang sedang sakit.” Pria yang menjadi dalang itu mulai membaca alur cerita. Sambil membaca narasi drama, sang dalang menggoyangkan pinggulnya ketika berjalan bolak-balik di atas panggung.
Usai membacakan narasi, lampu seketika mati dan dalang pun menghilang dalam kegelapan. Saat lampu mulai menyala, penonton dikagetkan dengan tepukan hadroh yang dibawakan oleh sekelompok orang dengan pakaian serba putih.
Ketika suara hadroh berhenti, terlihat orang tua berbaring dengan ditemani sang istri yang terisak menangisinya. “Bapak, cepat sembuh Pak, kita sudah kehabisan makanan, siapa lagi yang mencarikan nafkah buat keluarga ini?” ucapnya.
Tak sengaja percakapan tersebut terdengar oleh ketiga anaknya yang kebetulan ada di luar. Akhirnya, ketika anak tersebut berunding untuk menghilangkan kesedihan ibu mereka karena ayah sedang sakit. Ketiga anak ini sepakat pergi ke hutan tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Mereka berencana untuk berburu dan mengumpulkan kayu bakar supaya orang tua mereka tidak kelaparan.
Setelah berburu dan mengumpulkan kayu bakar, mereka berencana pulang. Namun, mereka lupa arah mana yang telah dilaluinya. Kemudian muncul orang-orang dengan mengenakan gamis warna putih ala Timur Tengah. Wanita berhiaskan replika bunga melingkar di atas kepala dan pria menutup kepalanya dengan peci putih. Dengan paduan suara dan ayunan tangan mereka melantunkan shalawat Nabi.
Tiba-tiba tiga orang tadi bertemu dengan orang yang baru melantunkan shalawat tersebut.“Siapa kalian?” tanya salah seorang pelantun shalawat. “Kami hendak pulang, tapi lupa jalan,” jawab tiga bersaudara itu dengan sedikit ketakutan. Tiba-tiba orang dengan gamis putih itu mengambil sesuatu yang dibungkus kantong merah dan sebuah buku bertuliskan Hiqma.
“Kalau kalian ingin pulang bawalah buku ini sebagai petunjuk jalan. Bingkisan ini jangan dibuka sebelum sampai di rumah,” ucap pria tersebut. Kemudian tiga pemuda itu melanjutkan perjalanannya dengan penasaran apa sebenarnya buku dan bingkisan yang mereka terima.
Rasa penasaran mereka terjawab ketika mereka membaca isi buku yang merupakan petunjuk untuk pulang. Namun dalam buku tersebut terdapat teka-teki yang harus mereka pecahkan. Hingga akhirnya mereka bertemu dengan Suku Marawis, yang berpakaian seperti orang pedalaman.
Setelah itu, mereka bertemu dengan Suku Qasidah yang memecahkan teka teki isi buku dan menyerahkan sebotol air. Namun dengan syarat mereka harus menyerahkan kayu bakar yang didapat sebagai alat tukar. Sesampainya di rumah, bingkisan merah berisi bongkahan emas yang membuat keluarga berkecukupan.
Begitulah penggalan cerita dalam acara Gempita Apresiasi Seni Islam 2016 (GASI) yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Himpunan Qori dan Qoriah Mahasiswa di Hall Student Center, Jumat (10/9). Menurut Ketua Hiqma Kurnia Yuha Izvana, rangkaian cerita drama tersebut menggambarkan seni islami yang ada di Hiqma saat ini. Mulai dari seni membaca Alquran atau tilawah, hadroh, marawis, dan qasidah. “Kolaborasi drama islami ini bertujuan mengubah anggapan orang yang mengatakan seni Islam ketinggalan zaman,” ungkapnya.
MU
Average Rating