Read Time:3 Minute, 4 Second
Oleh Dewi Sholeha Maisaroh*
Nani Agustin, gadis kecil berusia 9 tahun yang setiap hari harus mengamen di daerah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, disebabkan ketidakmampuan ibunya dalam menghidupi dirinya. Setelah ditelisik ternyata ia adalah korban perceraian orangtuanya. Ayahnya tak memberi nafkah sedangkan ibunya bukan dari wanita karir yang mapan. Oleh karenanya, ibu dari Nani memaksanya untuk mengamen demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Hal ini juga mengingatkan kembali terhadap kisah Angeline, seorang anak kecil yang harus meninggal dunia di tangan ibu tirinya. Ia juga korban perceraian dari kedua orangtuanya, dikarenakan himpitan ekonomi, sang ibu kandung harus memberikan hak asuh kepada ibu tirinya. Siksaan demi siksaan diberikan oleh Ibu Tiri Angeline, sehingga ia tertekan dan akhirnya harus meninggal dunia dengan keadaan yang mengenaskan.
Itulah beberapa kasus dampak perceraian yang kini kian marak bahkan menjadi tren di Indonesia. Anak-anak adalah korban utama dari sebuah perceraian. Berpisahnya ibu dan ayah akibat perceraian akan mengganggu pola asuh anak-anak.
Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mencatat, sepanjang Januari hingga September 2016, kasus perceraian di Indonesia mencapai 46.920 kasus. Itu baru kasus perceraian yang tercatat di pengadilan agama, boleh jadi di lapangan jumlah kasus perceraian bisa lebih tinggi. Tentu saja, fenomena tren perceraian ini sangat memprihatinkan.
Ada beragam faktor yang melatarbelakangi kasus perceraian. Penyebab utama perceraian didominasi oleh faktor tak bisa akur mencapai 22.590 kasus atau 48,1%. Angka perceraian akibat ditinggalkan pasangan mencapai 10.412 kasus atau 22,2%. Kondisi ekonomi keluarga yang buruk juga menyumbang 15% bagi kasus perceraian pada tahun ini, yakni 7.204 kasus. Sedangkan, perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mencapai 2.240 kasus atau 4,8%.
Data dari Badilag tersebut mengatakan bahwa faktor ketidakharmonisan dan ditinggalkan pasangan mencapai angka tertinggi. Sedangkan faktor ekonomi pun tak kalah sensitif. Tidak menutup kemungkinan faktor ekonomi yang buruklah pemicu konflik ketidakharmonisan dan membuat pasangan ditinggalkan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat kasus terkait anak korban perceraian menduduki peringkat kedua dari total pengaduan kasus-kasus perlindungan anak yang masuk ke komisi tersebut. KPAI bahkan menyebut anak-anak korban perceraian rawan mengalami lima bentuk kekerasan, yakni perebutan hak asuh, pelanggaran akses bertemu orangtua, penelantaran hak diberi nafkah, anak hilang, serta menjadi korban penculikan keluarga.
Ahli sosiologi mengatakan, meningkatnya angka perceraian dapat menurunkan kualitas anak Indonesia. Sebab, generasi muda yang semestinya dapat tumbuh maksimal, berpotensi menjadi generasi yang tidak sehat secara psikologis ataupun fisik. Keadaan psikologi anak akan sangat terguncang karena adanya perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat terpukul, kehilangan harapan, dan cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada keluarganya.
Sejatinya keluarga adalah penyangga utama kekuatan sebuah bangsa. Bila setiap tahun jumlah keluarga yang bercerai terus melonjak, tiang-tiang penopang kekuatan bangsa ini pun bisa semakin terkikis. Betapa tidak, kian maraknya kasus perceraian dapat membuat kualitas kehidupan anak bangsa kian buruk.
Dalam hal ini pemerintah dan kementerian serta lembaga yang terkait, harus segera bergerak untuk mencari solusi agar kasus perceraian ini tak terus melonjak setiap tahunnya. Sosialisasi pra menikah pun sangat dianjurkan agar tidak terjadi perselisihan yang mengakibatkan perceraian setelah kedua pasangan menikah.
Selain itu, pemerintah harus memberikan sosialisasi terhadap orang yang sudah bercerai. Orangtua yang sudah bercerai harus memberikan pengertian secara perlahan tentang perceraian mereka. Orangtuanya harus menjelaskan bahwa mereka tidak dapat lagi tinggal bersama namun tetap menyayangi sang anak. Sehingga, anak tidak merasa bersalah dengan perpisahan orangtuanya.
Lingkungan hidup pun memengaruhi perkembangan anak. Maka dari itu, bagi orangtua yang sudah bercerai tetaplah saling memerhatikan dan mengarahkan anaknya pada lingkungan yang baik. Selain itu, selalu libatkan anak saat mengambil keputusan, termasuk saat orangtua hendak menikah lagi dengan orang lain. Mendengarkan pendapat sang anak dan diskusikanlah sehingga anak tetap merasa dianggap ada.
*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab, FITK, UIN Jakarta
Average Rating