Read Time:2 Minute, 45 Second
Minggu, tepat pukul 10.00 pagi suasana Taman Suropati, Jakarta terlihat berbeda. Tampak sekelompok orang duduk setengah melingkar memegang sebuah alat musik yang diletakkan di antara bahu dan dagu. Alat musik dawai yang tengahnya berlekuk itu dilengkapi dengan empat senar dan terbuat dari kayu. Biasanya mereka mengesekkan bow pada senar, hingga mengeluarkan lengkingan suara indah nan harmonis.
Dengan dipimpin sang dirigen, mereka begitu serasi memadukan irama hasil gesekan alat musik yang familier disebut biola. Bahkan, alunan gesekan bow pada biola dapat menghipnotis bagi siapapun yang mendengarnya. Pada sisi lain dari para pemain biola, terlihat pula pria paruh baya dengan rambut dikucir sedang khusyuk memberikan arahan terhadap pemusik yang memiliki kebutuhan khusus.
Ya, ialah pencetus komunitas musik Taman Suropati Chambers (TSC), Agustinus Dwi Harso namanya. Lelaki yang akrab disapa Ages ini mulai bercerita, ide pendirian TSC berawal dari perjalanannya menghadiri seminar musik keroncong di Belanda pada 2006 silam. Kala itu ia melihat sekumpulan orang begitu asyik bermain musik di taman kota Deen Hag. Sejak saat itulah terlintas dipikirannya untuk menerapkan rutinitas tersebut di Indonesia.
Walhasil, setahun kemudian ide tersebut terealisasi. Ages bersama kedua rekannya berhasil mendirikan TSC di taman Suropati Jakarta. Lebih lanjut, ia mengungkapkan, pendirian TSC didorong pula dengan kegelisahannya tatkala menyadari mayoritas warga ibu kota lebih memilih menghabiskan akhir pekan dengan mengunjungi pusat perbelanjaan daripada bertamasya ke taman kota.
Ages pun prihatin, kini taman kota hanya dijadikan hiasan dalam kota dan tempat berolahraga saja. Padahal menurutnya taman kota sangat bisa dimanfaatkan sebagai wadah yang edukatif dan rekreatif. Selain itu, perilaku masyarakat yang mulai melupakan lagu asli Indonesia juga melatarbelakangi berdirinya komunitas ini. “Kalau sudah ada yang mengklaim, masyarakat baru pada ngomel, namun minim aksi,” cetusnya, Minggu (25/9).
Berangkat dari itu, lanjut Ages, TSC pun memiliki tiga fungsi utama yakni rekreatif, konseratif, dan edukatif. Ia menjelaskan, rekreatif artinya memberikan hiburan untuk masyarakat. Kalau konservatif, sambung ia, bertujuan melindungi lagu daerah Indonesia agar tidak punah. Lalu edukatif, sebagai wadah pembelajaran bagi para pegiat musik, khususnya violinis –sebutan bagi pemain biola.
Untuk itu, demi menarik minat masyarakat terhadap lagu daerah, dalam tiap latihannya TSC seringkali memainkan lagu-lagu daerah di Indonesia semisal Terima Kasih Guru, Burung Kutilang, dan Hymne Guru. Saban minggu pagi sampai sore menjadi jadwal latihan rutin TSC di Taman Suropati.
Hanya saja, metode pengajaran yang diterapkan berkiblat ke Barat, “Karena mereka (Barat) sudah memiliki sistem yang jelas,” terang Ages sesaat setelah menyereput kopi hitamnya. Selain latihan, berbagai kegiatan juga sudah dilakoni TSC. Berupa konser raya di gedung Kesenian Jakarta dan konser hari besar nasional.
Sampai saat ini, tercatat sudah ada 90 anggota yang berasal dari berbagai kalangan seperti karyawan, mahasiswa, anak sekolah, serta anak jalanan. Begitu pun dengan rentan usianya mulai dari 12 hingga 40 tahun. Bila hendak bergabung, cukup mendaftarkan diri dan mengikuti kegiatan rutin TSC sedikitnya 3 kali dalam sebulan.
Menurut salah satu anggota TSC, Winsa Daffa Daniswara mengaku bahagia bisa menjadi bagian dari TSC. Baginya, dapat bermain musik bersama merupakan kebahagiaan yang tak tergantikan. Terlebih lagi, selama di TSC ia banyak mendapat ilmu mengenai musik, khususnya biola.
“Pertama kali masuk enggak mengerti musik apalagi main biola. Di sini semua belajar dari nol, terdengar satu main sumbang kita ulang dari awal,” imbuhnya, Minggu (25/9). Siswa yang berasal dari Global Primary School ini juga berharap agar komunitas serupa TSC dapat bermunculan di seluruh Indonesia.
MU
Average Rating