Seni Bahasa Tubuh

Read Time:2 Minute, 55 Second

Suasana gelap menyambut penonton yang kian memadati ruangan. Kursi ditata mengelilingi panggung ceper di tengahnya. Terlihat beberapa baju oblong bertuliskan penggalan puisi Ana Bunga karya Sutardji Calzoum Bachri tergantung di langit-langit ruangan. Di tengah remangnya pencahayaan, terus diputar suara aneh hasil manipulasi elektronik yang menambah kesan tegang.

Lima belas menit penonton menunggu, tiga pemain mulai masuk ke area panggung. Mereka duduk di kursi dan seakan membaca partitur ada terpampang. Tak bernyanyi, mereka malah mengeluhkan soal tubuh mereka. Mulai dari bentuknya, hingga bulu di tubuh mereka yang ‘seakan tak ingin dicukur’. Para pemain terus mengeluh dengan tempo yang tidak beraturan sehingga penonton harus berkonsentrasi untuk menangkap maknanya.

Bersamaan dengan mulai redupnya pencahayaan, ketiga pemain tersebut turun dari panggung dan berganti sang Komposer Tubuh, Bunyi dan Kata (TUBUKA) Gema Swaratyagita. Gema lantas membacakan puisi yang tertulis pada baju oblong, sembari menjepitkan beberapa catatan dengan tagar #TellSomethingtoYourBodyyang ditulis penonton sebelum memasuki ruangan.

Para pemain kembali masuk dan berkumpul di tengah panggung. Mereka mulai menggosok serta menepuk kedua tangan mereka. Seiring meredupnya lampu, suara tubuh mereka juga berhenti. Saat lampu kembali hidup, suara tamparan sekujur tubuh mereka, kecupan, serdawa, nafas tersengal-sengal dan suara aneh lainnya semakin gaduh. Dengan kata lain, pencahayaan mengatur dinamika para pemain.

Pada babak inti, para pemain mulai bernyanyi dengan suara sopran sembari seorang pemain lainnya melakukan perkusi tubuh di tengah panggung. Lirik yang mereka nyanyikan berasal dari penggalan puisi Anu Bunga dan keluhan-keluhan mengenai tubuh. Begitu nyanyian selesai, mereka semua berkumpul kembali dan terkapar di tengah panggung.

Penampilan TUBUKA menjadi suatu hal yang baru bagi Gema. Ia menggunakan medium dan konsep dasar dari tubuh, bunyi dan kata untuk dasar proses karya hasil kolaborasi Laring Project dengan Rumah Millenials ini. Gema berpikir untuk membuat musik tanpa menggunakan instrumen musik pada umumnya. Unuk itu, ia pun bertemu dengan banyak orang puisi, teater, tari maupun penampilan seni lainnya. “Saya juga melakukan banyak brainstorming untuk menghasilkan karya TUBUKA ini,” ujar Gema, Jumat (26/10).

Karya yang menggunakan tubuh ini menjadi salah satu ‘inventaris’ ide Gema. Refleksi awal Gema menggarap pertunjukkan TUBUKA tidak lain adalah seberapa jauh dirinya berkomunikasi dengan tubuhnya sendiri. Ia juga mengajak siapa pun yang ingin berpartisipasi dalam pembuatan karya ini untuk mengirim audio bunyi-bunyi tubuh mereka. Audio tersebutlah suara-suara aneh yang disetel di awal pertunjukkan. Selain itu, mereka juga mengirim kisah-kisah berkomunikasi dengan tubuh mereka.

Gema juga mengolah bunyi dan kata tersebut menjadi sebuah ‘tubuh’ tersendiri. Jika biasanya seorang komposer hanya membuat sebuah partitur yang akan dimainkan, TUBUKA berbeda. Gema tidak hanya menggunakan unsur musikal, tetapi juga unsur teatrikal dan puitis. “Saya merasa bahwa harus ada unsur-unsur pendukung selain musik pada pertunjukkan TUBUKA ini,” ungkap Gema.

Di balik pertunjukkan ini, terdapat fakta bahwa para pemain, komposer dan semua orang yang terlibat pada karya ini tidak ada yang berasal dari latar teatrikal. Contohnya Thressia, salah satu pemain yang merupakan seorang pemain alat musik perkusi. Pada TUBUKA, ia dituntut untuk melakukan perkusi tubuh tanpa instrumen musik apa pun. “Tanpa ada kemampuan teater dan tari, TUBUKA menjadi tantangan tersendiri bagi saya,” ujar Thressia, Jumat (26/10).

Kesan pun disampaikan oleh pemain lainnya, Tessa Priyanka. Ia mengatakan, proses persiapan TUBUKA sangat dinamis. Gema harus mempelajari setiap karakter suara dan tubuh para pemain. Di samping itu, target Gema untuk mengajak kita untuk lebih mengenali apa yang ada pada diri kita harus tersampaikan. Kita sibuk mendengar ‘kata’ dan ‘bunyi’ orang lain, tetapi lupa akan ‘kata’ dan ‘bunyi’ milik sendiri. “Kenali dan hargai tubuh kita masing-masing, itulah fakta yang jujur,” pungkas Tessa, Jumat (26/10).

MSSM

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Bekerja Untuk Belajar
Next post Kikis Dampak Globalisasi Dengan Bahasa Indonesia