Bahasa Arab: Tuntutan Semu Tak Berwujud

Bahasa Arab: Tuntutan Semu Tak Berwujud

Read Time:4 Minute, 25 Second
Bahasa Arab: Tuntutan Semu Tak Berwujud


Sesuai dengan Standar Keagamaan PTKI, kompetensi baca tulis Alquran dan bahasa Arab

harus dikuasai mahasiswa. Namun sayang, hal tersebut hanya sebuah harapan yang minim

usaha realisasinya.


Danandra tengah membolak-balik kertas tugasnya ketika Institut temui di musala Gedung Eks Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Dahinya mengerut ketika ditanya mengenai kualifikasi berbahasa Arab yang ia miliki. Seorang Mahasiswi Jurusan Agribisnis semester 4 tersebut hanya dapat menghela nafas panjang setelahnya. Dengan raut kecewa, ia bercerita bahwa dirinya tak terlalu menguasai bahasa Arab.

Alasan yang Danandra tuturkan adalah karena pembelajaran pada Mata Kuliah Bahasa Arab hanya sekadarnya ia dapatkan. Dirinya yang lulusan sekolah umum pun turut menjadi alasan Danandra merasa kurang menguasai bahasa Arab. “Pihak universitas belum memfasilitasi mahasiswa dengan baik untuk bisa berbahasa arab dengan lancar,” keluh Danandra, Rabu (15/5).
Persoalan serupa juga menimpa Elia Febi, Mahasiswi Ilmu Hukum yang sedang menempuh jenjang akhir. Saat ditemui di Lobi Fakultas Syariah dan Hukum, Elia bersama temannya—Thalia Rahma—tengah mempersiapkan syarat kelulusannya. Akan tetapi, mereka mengakui belum juga menguasai bahasa Arab. Terlebih lagi, teringat jika dirinya harus lulus Test of Arabic Foreign Language (TOAFL) yang menjadi salah satu persyaratan penghujung masa studinya.
Elia menambahkan, bahasa asing yang dulu ia dapatkan di sekolah umum bukan bahasa Arab, melainkan bahasa Jepang. Elia sejujurnya keberatan jika ia harus mempelajari bahasa Arab dengan waktu yang ia rasa singkat. Ia mendapat Mata Kuliah Bahasa Arab sejumlah 2 Sistem Kredit Semester (SKS) pada semester 1 dan Mata Kuliah Bahasa Arab Hukum sejumlah 2 SKS pada semester 2. “Tidak mudah mempelajari bahasa Arab, apa lagi jika pertemuan dengan dosennya kurang intens,” ungkapnya, Kamis (16/5).
Pada dasarnya, bahasa Arab termasuk salah satu mata kuliah wajib yang ada di Universitas
Islam Negeri Syarif (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Danandra dan Elia hanyalah contoh kecil dari beberapa mahasiswa di UIN Jakarta yang merasa kurang menguasai kualifikasi bahasa Arab. Menurut data jajak pendapat Institut Mei 2019, kurangnya kompetensi pengajar, kurangnya fasilitas, hingga kurangnya pelatihan menjadi sebagian alasan para mahasiswa.
Integrasi keilmuan menjadikan UIN Jakarta diminati banyak calon mahasiswa yang tak hanya berasal dari madrasah dan pesantren, tetapi banyak pula dari sekolah umum seperti halnya Danandra dan Elia. Walaupun demikian, sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia, UIN Jakarta harus mengikuti aturan yang ada. Tak terkecuali peraturan standar keagamaan yang
baru ditetapkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag.
Pada Januari silam, Dirjen Pendis telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 102 Tahun 2019 Tentang Standar Keagamaan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (SKPTKI). Tertera dalam Bab II mengenai Standar Keagamaan pada Pendidikan, disebutkan bahwa lulusan PTKI harus memiliki kualifikasi baca tulis Alquran serta berbahasa Arab. SKPTKI secara tak langsung juga memperkuat alasan TOAFL sebagai salah satu syarat kelulusan mahasiswa di UIN Jakarta.
Ketika ditemui di Kantor Kemenag, Kepala Subdirektur Pengembangan Akademik Pendidikan Tinggi Islam Mamat Salamet Burhanuddin menjelaskan latar belakang Dirjen Pendis mengeluarkan SKPTKI. Tujuan standardisasi tersebut tidak lain adalah untuk
menguatkan kompetensi mahasiswa PTKI di bidang keagamaan.
Mamat menambahkan, SKPTKI menjadi sebuah payung hukum dari ide-ide yang telah dijalankan oleh masing-masing PTKI. Peraturan tersebut juga menjadi landasan PTKI untuk melakukan improvisasi di dalam kampus. “Maka seluruh mahasiswa PTKI harus bisa bahasa Arab, bagaimana pun strategi masing-masing kampus,” ujar Mamat, Rabu (8/5).
Hadirnya SKPTKI turut menuai pendapat di mata mahasiswa. Salah satunya datang dari Salsabila Azhar, Mahasiswi Jurnalistik yang tengah menjalani semester ke-8. Dirinya dengan yakin memberikan tanggapan yang mewajarkan jika Kemenag mengeluarkan SKPTKI. Namun tak beda halnya dengan Danandra dan Elia, ia juga tak menampik bahwa standardisasi itu terlalu dipaksakan jika dalam praktiknya semena-mena tanpa ada pengajaran yang serius. “Sistem kurikulumnya harus diperbaharui,” pungkas Salsabila, Rabu (15/5).
Menanggapi persoalan ini, Wakil Rektor Bidang Akademik Zulkifli turut memberikan pernyataan. Menurutnya, pembelajaran bahasa Arab di UIN Jakarta memang belum diperhatikan secara benar. Zulkifli juga ragu jika mahasiswa dapat lancar berbahasa Arab. Terlebih lagi, perkembangan ilmu di UIN Jakarta juga semakin besar, tidak hanya fokus di bidang keagamaan. “Saya kira, menuntut mahasiswa agar bisa berbahasa Arab secara fasih itu lebih banyak klisenya,” ungkap Zulkifli, Jumat (17/5).
Zulkifli menambahkan, pihak Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) UIN Jakarta yang
mengelola kemampuan bahasa Arab mahasiswa juga belum bisa memenuhi standar tersebut. Dari data yang ia sampaikan, hanya sekitar 10 persen dari 6500 mahasiswa yang dapat memenuhi standar berbahasa Arab. Zulkifli mencanangkan, UIN Jakarta harus siap menganggarkan dana untuk menyokong mahasiswa agar dapat mencapai standar demikian. “Kalau tidak ada dananya, lebih baik turunkan saja standarnya,” tegasnya, Jumat (17/5).
Selaku Rektor UIN Jakarta, Amany Burhanuddin Umar Lubis turut menanggapi keluhan mahasiswa terkait kurangnya kualifikasi bahasa Arab yang mereka miliki. Menurutnya, pihak universitas juga sudah banyak memberikan fasilitas-fasilitas kepada mahasiswa untuk mendalami baca tulis Alquran maupun bahasa Arab. Seperti adanya Masjid Fatullah, Masjid Al-Jamiah, dan PPB.
Amany juga menambahkan, mahasiswa tidak bisa menyalahkan institusi jika memang belum menguasai kualifikasi bahasa Arab. “Intinya mahasiswa harus mengembangkan kemampuan sendiri dengan aktif seperti mengikuti pelatihan dan kursus,” tegasnya saat Institut mendatangi ruangannya di Gedung Rektorat, Kamis (16/5).
Lebih lanjut, Rektor yang baru menjabat selama lima bulan tersebut mengatakan bahwa pembenahan akademik formal pada Mata Kuliah Bahasa Arab atau Praktikum Qiroah bukan menjadi solusinya. Ia menekankan kembali bahwa mahasiswa lah yang harus memiliki tekad kuat untuk bisa lancar berbahasa Arab. “Tidak ada intervensi dengan kurikulum di setiap fakultas,” bantah Amany, Kamis (16/5).

Sefi Rafiani dan Muhammad Silvansyah S. M

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Warisan Keislaman Kesultanan Banten Previous post Warisan Keislaman Kesultanan Banten
Anggaran Berbelit, UKM Menjerit Next post Anggaran Berbelit, UKM Menjerit