Warisan Keislaman Kesultanan Banten

Warisan Keislaman Kesultanan Banten

Read Time:2 Minute, 20 Second

Warisan Keislaman Kesultanan Banten
Tak hanya fungsi ibadat yang dimiliki, para pengunjung juga datang ke Masjid Agung Banten untuk berwisata dan berziarah. Jumlah pengunjung biasa memuncak ketika menyambut Ramadan datang.

Sejak Sultan Maulana Hasanuddin mendirikan Kesultanan Banten, ia mulai menyebarkan agama Islam di barat Pulau Jawa. Masjid Agung Banten merupakan salah satu bukti peninggalannya, menjadi salah satu masjid yang cukup tua di nusantara. Menurut Takrim Masjid Agung Banten Edi Suaedi, masjid ini berdiri sejak 1556 di Kota Serang, Banten.

Arsitektur masjid yang tepatnya terletak di Barat Laut Kota Serang ini dirancang oleh Lucas Cardeel dari Mongolia dan Tjek Ban Tjut dari Cina. Mereka kemudian diabadikan sebagai Pangeran Wiraguna dan Pangeran Wiradiguna sebagai nama Islamnya. Selain bangunan masjid, menara dan Gedung Tiyamah sebagai bangunan untuk melaksanakan pertemuan-pertemuan, juga dirancang oleh arsitek yang sama.

Menara masjid menjulang tinggi seperti mercusuar, hal ini menjadi lambang Masjid Agung Banten. Sebelumnya, pengunjung dapat memasuki menara dan naik hingga puncak untuk melihat pemandangan jauh dari atas. Namun sayang, akses untuk mencapai puncak menara ditutup sejak pascarenovasi, sekitar Januari 2019. Berdiri sejak 1559, menara yang sebelumnya digunakan untuk mengumandangkan azan tersebut sudah terlalu tua untuk dinaiki. “Untuk ketertiban pengunjung juga,” ujar Edi Suaedi, Minggu (8/5).

Masjid Agung Banten menjadi salah satu tujuan wisata religi khususnya bagi masyarakat Banten. Sejak pertengahan tahun 2018, kondisi Masjid Agung Banten telah banyak mengalami renovasi. Terdapat beberapa payung raksasa seperti di Masjid Nabawi, Madinah yang melindungi pengunjung dari teriknya matahari. Lapangan tanah yang mengelilingi masjid pun dipugar dengan pemasangan keramik agar pengunjung lebih nyaman.

Tak hanya sebagai tempat ibadah dan wisata, pengunjung juga kerap kali datang untuk berziarah. Ziarah pertama diawali dengan kunjungan makam pendiri Kesultanan Banten, Maulana Hasanuddin. Setelah itu, ziarah kedua dilanjutkan ke makam Sultan Banten ke-13, Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin. Maqbaroh tak pernah sepi oleh peziarah, yang mana biasanya akan lebih ramai lagi pada Minggu dan malam Jumat. Kondisi tersebut membuat para pengunjung sampai mengantre untuk masuk ke maqbaroh.

Seperti halnya yang dilakukan oleh Maslan, salah seorang pengunjung dari Kramatwatu, Serang. Setiap malam Jumat, Ia rutin melakukan ziarah berjemaah. Selain itu, Maslan juga biasa mengunjungi Masjid Agung Banten bersama keluarganya untuk berwisata. “Hanya satu jam dari rumah menggunakan motor,” katanya, Minggu (8/5).

Untuk sampai ke Masjid Agung Banten, pengunjung dapat memilih kereta sebagai alternatif transportasi. Perjalanan kurang lebih ditempuh selama empat jam dari Stasiun Tanah Abang. Pengunjung menaiki Kereta Rel Listrik Komuter tujuan Rangkasbitung, kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan Kereta Api Lokal dengan relasi perjalanan Rangkasbitung—Merak.

Setelah melewati enam stasiun dari Rangkasbitung, pengunjung turun di Stasiun Karangantu. Pengunjung akan disambut dengan gapura besar bertuliskan “Masjid Agung Banten” setelah berjalan sejauh satu kilometer dari stasiun akhir. Menara masjid juga terlihat menjulang tinggi dihiasi dengan payung-payung raksasa di sekitarnya. Dengan menenteng alas kaki masing-masing dari pintu masuk, pengunjung dapat memulai wisata religi mereka.

Muhammad Silvansyah S. M

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Angkara Pembawa Malapetaka Previous post Angkara Pembawa Malapetaka
Bahasa Arab: Tuntutan Semu Tak Berwujud Next post Bahasa Arab: Tuntutan Semu Tak Berwujud