Selayar Ekspresi Pandemi

Selayar Ekspresi Pandemi

Read Time:3 Minute, 14 Second
Selayar Ekspresi Pandemi

Pandemi melumpuhkan berbagai sektor, salah satunya pariwisata—termasuk para penangan seni. Pameran dalam jaringan menjadi alternatif mereka untuk tetap menyajikan karya dalam satu genggam gawai.

Saat mengunjungi laman galnasonline.id, pengunjung akan disambut latar abstrak dan tulisan besar “Jelajahi Pameran Daring”. Tinggal menggulir ke bawah, poster pameran tersebut akan muncul beserta beberapa detail lainnya. MANIFESTO VII “PANDEMI” 8 Agustus 2020—6 Desember 2020, begitu katanya. Tombol “Kunjungi Pameran” yang menonjol cukup menjadi petunjuk untuk pengujung meneruskan penelusuran mereka.

Ketika masuk ke menu “Jelajah Karya”, laman akan menyuguhi beberapa usulan keluku dari karya yang tersedia. Pihak penyelenggara—Galeri Nasional Indonesia—tak menggunakan paginasi untuk memuat keluku-keluku tersebut, semuanya berada dalam satu halaman. Namun, satu layar gawai tentu tak bisa menampakkannya secara keseluruhan sehingga pengunjung dapat menggeser layar dan memilih karya yang ingin mereka lihat. Halaman pun dapat menampilkan usulan keluku yang berbeda jika dimuat ulang.

Medium penyajian karya berbentuk video dengan durasi 2 hingga 5 menit, tetapi dengan konten berbeda-beda. Terdapat 218 karya yang memang sinematik, ada pula yang hanya menggunakan video sebagai perantara dokumentasi. Sebanyak 204 peserta pameran harus tetap menjaga esensi seni yang ada walau karya hanya dinikmati dalam jaringan (daring).

Seperti salah seorang seniman Galangmonsart, karya berjudul “New Normal New Hope” merupakan hal yang tergolong baru baginya. Sebelumnya, ia hanya berkutat di bidang seni lukis manual maupun digital. Akan tetapi, kali ini Galangmonsart menuangkan karya dalam bentuk video selang waktu (time-lapse) dari sebuah proses membuat lukisan digital itu sendiri. Di dalamnya, juga terdapat narasi penggambaran keadaan para penangan seni yang tak bisa mempersiapkan pameran secara aktual. Ia mencurahkan rasa rindu akan pekerjaannya sebagai seorang seniman dan harapan jika pandemi telah usai.

Menurut Galangmonsart, unsur sosialisasilah yang paling membedakan antara pameran daring dan luar jaringan (luring). Pada pameran luring, antar pengunjung bisa berinteraksi dan peserta pameran pun akan mendapat apresiasi secara langsung. “Itulah yang tidak bisa dirasakan dari pameran daring, termasuk esensi dari suasana ramai pameran,” ungkap seniman asal Bekasi tersebut melalui Instagram, Kamis (24/9).

Beda halnya dengan Galangmonsart, Tytton Sishertanto tak membatasi karyanya pada satu media spesifik saja. Walau biasanya kerap melukis di atas kanvas, kali ini ia membuat karya sinematik berjudul “Sound of Pandemic”. Tampak seorang anak perempuan bermain komedi putar dengan latar suara riuh pemberitaan pandemi. Dalam kolom deskripsi, Tytton menulis bahwa pandemi mengingatkan manusia akan berharganya kehidupan. “Melalui kedekatan emosi personal, visual menyajikan ketenangan dari audio yang saya hadirkan,” ujarnya, Kamis (24/9).

Seniman asal Jakarta itu juga berpendapat, pameran daring merupakan suatu alternatif, bukan untuk menggantikan atau menjadi perbandingan dengan pameran luring. “Pameran daring akan terus berlangsung pasca pandemi dan menjadi cara berpameran baru,” kata Tytton. Ia pun menambahkan, dua teknis pameran tersebut memiliki khas, lebih, dan kurang masing-masing.

Bagaimanapun teknis pelaksanaannya, tentu terdapat para kurator yang berperan. Kurator MANIFESTO VII “PANDEMI” Bayu Genia Krishbie mengatakan, mereka sudah mempersiapkan pameran sejak Januari 2020 dengan tema seni dan lingkungan hidup—berkenaan dengan isu global kebakaran hutan di Australia. Konsep pameran pun masih dirancang secara luring karena tak mengira Covid-19 akan menjadi pandemi global. “Mulai Maret 2020, pemerintah melarang operasional objek pariwisata sehingga kami menetapkan untuk beralih ke ranah daring,” cerita Bayu kepada Institut, Sabtu (26/9).

Ini adalah pertama kalinya Bayu menguratori pameran daring. Tantangannya, para kurator harus bisa memberikan pengalaman berpameran yang unik kepada pengunjung. Bentuk tur virtual sempat menjadi diskusi, tetapi pola tersebut dinilai minim pengalaman ruang untuk pengunjung. Maka dari itu, mereka lebih memilih video untuk menyampaikan pesan dari karya para seniman. “Karya tetap dapat dinikmati jika seniman betul-betul mengeksplorasi media internet dan teknologi informasi,” pungkas Bayu.

Menurut salah seorang pengunjung, tema yang diusung sangat menarik karena para seniman berkesempatan untuk menuangkan karya mereka pada kondisi pandemi. Secara keseluruhan, tampilan laman sudah cukup informatif dan memudahkan pengunjung guna melihat konten beserta deskripsinya. “Saran saya, mungkin perlu ada kolom komentar untuk perihal apresiasi seni,” ungkap Talitha Luthfira Nuswantari, Kamis (24/9).

Muhammad Silvansyah Syahdi Muharram

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Pesona Alam Bukit Tangkeban Previous post Pesona Alam Bukit Tangkeban
Gaya Baru Gerakan Literasi Next post Gaya Baru Gerakan Literasi