UU Cipta Kerja bukan hanya berdampak pada sektor ketenagakerjaan, namun juga pendidikan. Mahasiswa dari beberapa kampus turun ke jalan suarakan biaya kuliah yang mahal dan pembungkaman kebebasan akademik.
Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dan Aliansi Sejuta Buruh menyelenggarakan aksi tuntut pencabutan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Aksi berlokasi di Jalan MH Thamrin hingga Kawasan Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat pada Kamis (10/8). Para buruh, mahasiswa, masyarakat adat, dan berbagai organisasi masyarakat sipil turut bergabung dalam aksi tersebut.
Sebelumnya, UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Maret lalu. Aksi bertujuan untuk menyinggung bahwa UU tersebut memiliki dampak luas di berbagai sektor, terutama di sektor pendidikan. Misalnya, pasal 65 UU Cipta Kerja yang menyamakan proses perizinan pada sektor pendidikan dengan perizinan usaha, padahal secara operasional keduanya berbeda.
Ketua Sekolah Mahasiswa Progresif (Sempro), Ihsan Kamil menyatakan, regulasi tersebut mengubah orientasi lembaga pendidikan menjadi lahan untuk bisnis dan investasi. Ciri-ciri yang paling tampak, menurutnya, ketika perguruan tinggi mempercepat perubahan sistemnya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH).
“Ketika menjadi PTN-BH, negara sudah tidak lagi terlibat dalam regulasi keuangan di kampus. Akibatnya, kampus hanya mendapatkan dana operasional dari mahasiswa dan kerja sama dengan pihak swasta,” tutur Ihsan, Kamis (10/8).
Lanjut, Ihsan mengatakan, kerja sama dengan pihak-pihak swasta menghasilkan berbagai program magang yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). “Pertanyaannya, apakah para mahasiswa magang dijamin kepastian upah, keselamatan, dan kesehatannya selama mengikuti program tersebut?” ujarnya, Kamis (10/8).
Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia, Ahmad Nurhadi turut mempertanyakan tujuan dari program magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Sebab, menurutnya, program tersebut justru menurunkan daya kritis mahasiswa terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat.
“Sebenarnya ruh mahasiswa bergerak di bidang intelektual. Oleh karena itu, sejak dulu mahasiswa selalu menjadi garda terdepan untuk mengkritik kebijakan publik. Namun saat ini pemerintah malah menyibukkan mahasiswa dengan program-program semacam itu,” jelas Ahmad, Kamis (10/8).
Presiden Mahasiswa BEM Universitas Esa Unggul, Redja Djata Saputra menyetujui bahwa saat ini banyak kampus yang mengomersialkan pendidikan. Lalu, Ia juga mengaku tidak sepakat dengan beberapa kampus yang menaruh harga tinggi di jalur penerimaan mandiri.
“Jika melihat kondisi perekonomian masyarakat Indonesia, belum tentu semua yang berkuliah adalah orang berada. Bahkan, pendapatan per kapita kita juga tidak begitu tinggi,” kata Redja, Kamis (10/8).
Menteri Sosial Politik BEM Universitas Pembangunan Negeri Veteran Jakarta (UPN-VJ), Fadli Yudhistira menyatakan, ada kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang signifikan di beberapa kampus negeri. Menurut Fadli, kenaikan UKT tersebut disebabkan oleh sistem yang dirancang dalam UU Cipta Kerja.
“Kita perlu mengetahui lebih dalam terkait sejauh mana peningkatan UKT serta dampaknya pada mahasiswa. Apakah kenaikan UKT juga selaras dengan peningkatan mutu pendidikan dan fasilitas di kampus?” lanjut Fadli, Kamis (10/8).
Terkait kelanjutan aksi, Koordinator Lapangan Gebrak, Sunarno mengatakan, pihaknya akan menunggu hasil judicial review—peninjauan kembali—UU Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut diperkirakan keluar pada akhir September atau awal Oktober. “Nanti akan ada aksi lagi,” pungkasnya, Kamis (10/8).
Reporter: Shaumi Diah Chairani
Editor: Febria Adha Larasati