
Pemerintah tak kunjung memenuhi tuntutan cabut UU TNI, aksi di gedung DPR RI kembali dilakukan dengan lebih terorganisir.
Kamis (27/3) sore, kawasan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kembali dipenuhi massa aksi. Orang-orang berpakaian serba hitam tumpah ruah di depan gedung tersebut. Sejak disahkannya Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), demonstrasi masih menyala di beberapa daerah lainnya, termasuk Jakarta.
Aksi tersebut dilakukan setelah adanya konsolidasi dengan berbagai elemen masyarakat, komunitas, serta organisasi pada Selasa (25/3), di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Indonesia. Konsolidasi tersebut membahas tentang evaluasi aksi pada Kamis (20/3) lalu hingga rencana aksi selanjutnya.
Masih dengan persoalan yang sama, aksi tersebut dilancarkan usai RUU TNI disahkan. Merujuk pada beberapa pasal bermasalah, masyarakat menuntut pencabutan Undang-Undang (UU) TNI yang dinilai membangkitkan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) seperti saat orde baru dulu.
Massa aksi terlihat mulai berkumpul di depan gedung DPR RI sekitar jam 13.30 WIB. Para demonstran yang hadir didominasi oleh mahasiswa dari berbagai daerah, bahkan dari luar kota. Menurut pengamatan Institut, dari sebelum massa aksi datang ke titik lokasi, tidak banyak media arus utama—terutama media televisi—yang hadir meliput seperti demonstrasi pada umumnya.
Demonstrasi ini diwarnai oleh berbagai penampilan orasi, puisi, hingga monolog. Selain itu, para massa aksi juga kompak menyanyikan lagu “Buruh Tani (Pembebasan)” dan “Indonesia Pusaka”.
Salah seorang mahasiswa dengan jaket almamater birunya, menyuarakan orasi di hadapan kumpulan massa aksi. Ialah Abid Zahid Fadhillah, mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI (Unindra). Dalam orasinya, ia berseru dan membuktikan bahwa mahasiswa masih punya tempat untuk bersuara.
Abid juga berkata bahwa aksi saat itu merupakan hasil dari demonstran yang teratur dan terorganisir. Maka dari itu, Abid menyampaikan pesan bagi seluruh mahasiswa untuk tetap sama-sama menjaga semangat melakukan perlawanan lebih lanjut.
“Kawan-kawan, kita janji bersama agar kita menjalankan tugas kita sebagai masyarakat dan juga kita menjaga semangat demonstrasi ini,” pesannya, Kamis (27/3).
Di tengah-tengah penampilan berbagai orasi, para demonstran sempat ramai dikejutkan dengan adanya provokasi dari intel aparat yang menyamar layaknya demonstran dan menyusup di kerumunan massa aksi. Walau demikian, demonstrasi dapat berjalan dengan lancar kembali.
Nihil Kehadiran DEMA-Universitas dalam Aksi
Menurut pengamatan Institut, kehadiran mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dikepalai oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) UIN Jakarta. Tampaknya, DEMA UIN Jakarta absen lagi pada aksi kali ini. Hal ini dibuktikan dengan kosongnya kehadiran DEMA UIN Jakarta sejak konsolidasi pada Selasa lalu.
Salah satu koordinator lapangan GMNI UIN Jakarta, Sarinah Aeis mengonfirmasi hal tersebut. Aeis berpendapat, cukup memalukan melihat Senat Mahasiswa (SEMA) dan DEMA yang bungkam dan memilih diam di tengah huru-hara isu nasional akhir-akhir ini.
“Tentunya, hal-hal ini juga menjadi tanda tanya, apakah mereka memahami Tri Dharma Perguruan Tinggi? Bagaimana dengan sumpah mahasiswa? Bukankah kenikmatan menjadi kaum muda yang terpelajar adalah idealisme?,” terangnya saat dihubungi Institut melalui WhatsApp, Jumat (28/3).
Namun begitu, Aeis tetap mengawal aksi ini ke seluruh mahasiswa UIN Jakarta. Bermodal kehadiran konsolidasi dan salah satu grup WhatsApp terkait gerakan mahasiswa UIN Jakarta, Aeis bersama kawan-kawannya membagikan notula konsolidasi dan mengajak mahasiswa UIN Jakarta untuk bergerak melalui grup tersebut. Ajakan aksi juga dilakukan melalui selebaran desain poster aksi yang diunggah bersama komunitas lain di luar UIN Jakarta.
Aeis berharap agar banyak elemen masyarakat yang mulai terlibat dalam aksi ke depannya. Aksi yang telah dijalankan kolektif kemarin juga merupakan upaya melebur bersama masyarakat umum.
“Pengorganisiran masyarakat adalah tantangan yang tidak bisa diremehkan, karena menumbuhkan kesadaran tidak cukup sehari dua hari. Makanya sangat disayangkan ketika mahasiswa sendiri memilih menutup telinga dan mata.” ucapnya menutup wawancara dengan Institut.
Represifitas Aparat Masih Terus Terjadi
Usai aksi, beredar video di media sosial yang menunjukkan sikap represif aparat kepada beberapa demonstran, jurnalis, bahkan tim medis. Semua pelanggaran HAM itu terus terulang, tetapi aparat tampaknya tidak pernah belajar dari kesalahan.
Melalui unggahan akun X @grpowth, menunjukkan video situasi aparat memblokir akses ambulans yang membawa korban luka-luka di dalamnya. Tidak hanya itu, melalui unggahan akun X @kootummy, diketahui aparat juga menggeledah tas medis dan menonjok mereka.
Sementara itu, melalui cuitan akun X @albumfoto__, salah seorang jurnalis Kompas juga mendapat intimidasi dari aparat. Ia ditarik paksa oleh aparat yang kemudian menggeledah gawai pribadi dan gawai kantornya. Ini juga merupakan pelanggaran hak privasi bagi sang korban.
Institut juga mengalami hal serupa. Selepas istirahat di tengah-tengah aksi, jurnalis perempuan Institut sempat dihalangi aparat untuk meliput aksi. Pada saat itu, aparat melarangnya untuk melanjutkan perjalanan ke titik aksi dengan dalih “puasa”.
Saat jurnalis perempuan Institut merespon pernyataannya, aparat malah melontarkan pernyataan yang menyudutkan identitas gender mereka. “Cewek, mah, di rumah aja!” seru aparat.
Reporter: Inda Bahriyuhani
Editor: Rizka Id’ha Nuraini