
Berawal dari kegemaran menulis sejak sekolah, Farabi meniti karier di media sebelum akhirnya melanjutkan studi di Inggris dengan beasiswa. Kini, kebiasaan menulis menjadi jalan hidup yang mengantarkan Farabi jadi inspirasi banyak mahasiswanya.
Nama Farabi Ferdiansyah mungkin tak asing di kalangan mahasiswa Program Studi (Prodi) Jurnalistik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen tersebut dikenal aktif seputar dunia media, bidang yang telah lama ia tekuni sebelum kembali ke kampus. Pengalamannya di dunia kerja profesional membuat gaya mengajarnya relevan dengan praktik nyata, sehingga mahasiswa tidak hanya memahami teori, tetapi juga cara penerapannya di lapangan.
Farabi lahir di Jakarta pada 26 November 1990. Ia merupakan alumni UIN Jakarta dari Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKom), Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Sejak duduk di bangku sekolah, ia sudah gemar menulis. Kegemaran itu berlanjut sampai kuliah, hingga membawa Farabi memiliki tulisan yang tersebar di surat kabar, beberapa diantaranya berjudul Wabah Kleptokrasi, Krisis Moral, dan Etika Politik.
Kecintaannya pada dunia tulis-menulis menumbuhkan minat besar untuk berkarier di media. Baginya menulis bukan sekadar keterampilan, tetapi cara berkontribusi bagi masyarakat. Berkarier di media bukan hanya sebagai penyampai informasi, tapi posisi strategis yang dapat mengedukasi masyarakat lewat kontrol sosial. Ia juga menambahkan, bekerja di bidang media merupakan sesuatu yang membanggakan.
Farabi mulai meniti karier di media saat masih berstatus sebagai mahasiswa. Saat itu, ia aktif dalam berbagai organisasi yang membuka kesempatan untuk mengasah keterampilan dan memperluas jaringan. Ia pernah ikut dalam organisasi seperti Dakwah dan Komunikasi (DNK) TV, Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat, Komunitas Djuanda, dan lain-lain. Dari pengalaman organisasi tersebut, Farabi menemukan tujuan yang ia minati dalam kariernya.
“Ya sejak kuliah pun saya juga aktif berorganisasi dan berjejaring. Khususnya di bidang media, entah kepenulisan, fotografi, maupun di bidang audio-visual,” ucap Farabi, Rabu (5/10).
Selepas lulus dari kampus, Farabi memulai karier sebagai jurnalis di News and Entertainment Television (NET TV) selama tujuh tahun. Sebelum akhirnya ia melanjutkan studi pascasarjana di Inggris, University of Sussex, melalui program Beasiswa Chevening. Pada saat itu ia juga menjadi bagian dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Bagi Farabi, menjadi jurnalis bukan sekadar profesi, melainkan bentuk amal jariyah karena dapat mengedukasi dan menginspirasi masyarakat melalui karya-karyanya. Perjalanan panjang di lapangan membuat Farabi memahami bahwa jurnalisme memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran publik. Terlibat dalam liputan menjadikan ia peka terhadap isu-isu sosial dan melihat berbagai persoalan secara lebih dekat.
Selama bertahun-tahun bekerja di media, berbagai tantangan dihadapinya. Baginya, tantangan jurnalis saat ini justru terletak pada cara beradaptasi dengan perkembangan teknologi. “Ya, tantangan pekerja media khususnya jurnalis yang ada di lapangan, terkait keamanan dan keselamatan,” tuturnya.
Sebagai jurnalis sekaligus akademisi, Farabi memberikan pesan bagi mahasiswa yang ingin berkarier dalam bidang media untuk memiliki rekam jejak dan portofolio yang kuat. Katanya, mahasiswa yang sudah memiliki portofolio yang kuat, tidak lagi ibarat memakai sepatu, tetapi sudah siap untuk sprint. “Yang perlu kalian ketahui dalam industri kreatif adalah bagaimana memiliki rekam jejak atau portofolio terkait industri tersebut,” katanya.
Setelah perjalanan panjang di dunia media, tahun 2025 Farabi memutuskan kembali ke almamaternya untuk mengajar. Menurutnya, perjalanan menulis bukan sekadar tentang karier, tetapi tentang menyampaikan kebenaran. “Kembali ke kampus merupakan sebuah kehormatan untuk saya. Ketika ada undangan dari pihak kampus, saya senang untuk berbagi maupun mengajar,” jelas Farabi.
Selain mengajar, Farabi juga mendirikan Digital Resilience Indonesia, sebuah yayasan yang berfokus di bidang sosial dan kemanusiaan. Yayasan itu menitikberatkan pengembangan Edukasi Literasi Digital, Digital Media Research and Consulting, dan Digital Campaign for Social Campaign. Tujuan utama yayasan rintisan Farabi adalah meningkatkan literasi digital, keamanan siber, serta penanggulangan terorisme, radikalisme, misinformasi dan disinformasi.
Ide pendirian yayasan tersebut bermula ketika ia studi di Inggris. Selama belajar di sana ia banyak mendalami terkait Media Development, Digital Activism, dan Digital Campaign. Menurutnya media di Indonesia belum ada yang berfokus pada isu-isu sosial.
Sepulang dari Inggris, Farabi bertemu dengan kerabatnya, Hasrul Eka Putra, yang pernah bersamanya mengikuti program pertukaran pelajar di Amerika. Pertemuan itu menjadi awal kerja sama mereka untuk membangun sebuah yayasan yang berfokus pada penguatan ketahanan digital serta meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap berbagai isu sosial.
Pengalaman akademik Farabi di Inggris menguatkan tekadnya untuk menghadirkan yayasan tersebut. Ia juga belum menemukan platform yang mengolah isu sensitif secara mendalam di Indonesia. Kini, Digital Resilience Indonesia yang didirikan Farabi dan kerabatnya sudah berjejaring dengan berbagai komunitas dan mengadakan kegiatan di berbagai wilayah, bahkan sampai Papua.
Reporter: OS
Editor: Anggita Rahma Dinasih
