Sertifikasi Wartawan dan Nasib Pers Mahasiswa

Read Time:2 Minute, 27 Second


Munculnya Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang sertifikasi wartawan menimbulkan polemik baru di dunia pers, salah satunya dari kalangan Pers Mahasiswa (Persma).

Menurut Sekjen Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Defy Firman al Hakim. Hadirnya sertifikasi wartawan semakin membuat posisi Persma remeh di mata permediaan Indonesia

Adanya sertifikasi wartawan ini pun menimbulkan kekhawatiran bagi Persma. Misalnya, terbatasnya ruang gerak Persma saat melakukan peliputan di luar kampus, lantaran belum bersertifikat.

“Kemungkinan dipersulit ketika liputan di luar kampus itu pasti ada, tapi hak dasar kita sebagai warga negara adalah mendapatkan informasi tentang apapun di negeri ini,” ujar Defy, Senin (04/2).

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Eko Maryadi, mengungkapkan, Persma tidak perlu ikut melakukan sertifikasi. “Standar Kompetensi Wartawan hanya diperuntukan bagi wartawan professional. Sedangkan Persma adalah wartawan amatir,” jelasnya, Jumat (01/2) di Kantor AJI Indonesia.

Persma, menurut Eko, merupakan wartawan amatir yang tidak mencari untung dan tidak dibayar. Persma bekerja karena kecintaannya pada dunia jurnalistik.

Eko menjelaskan, Persma tak perlu khawatir jika terdapat narasumber yang enggan diwawancarai kerena status Persma belum bersertifikat. “Jangan terlalu khawatir, tunjukkan saja bahwa anda pers kampus. Mereka juga paham,” tegasnya.

Senada dengan Eko, salah satu Tim Penguji Sertifikasi Wartawan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP) Omar Abidin Gilang mengatakan, Persma masih memiliki kebebasan untuk melakukan liputan. “Jika ingin melakukan peliputan di luar, introduce your self  kalau anda dari pers kampus,” jelas Omar.

Sedangkan menurut Pemimpin Umum LPM Didaktika UNJ, Satrio Priyo Utomo, Dengan tidak adanya sertifikasi seharusnya Persma bisa memanfaatkan ruang geraknya. Karena Persma tidak dibatasi kepentingan modal, seperti industri pers.

Menurutnya, narasumber mau diwawancarai  atau tidak, bukan kerena dia Persma atau bukan. Tapi, bagaimana reporter itu mampu memberikan keyakinan kalau berita yang diangkat itu penting atas fakta yang mendesak.

Satrio menegaskan yang harus dikhawatirkan adalah bukan masalah perbedaan antara professional atau abal-abal, melainkan masalah idealismenya.

“Saya pikir bukan bicara soal profesional dengan abal-abal. Tapi pada dampaknya ketika ada gagasan ini, mungkin semua pegiat Persma akan memandang kalau Persma adalah sekolah jurnalistik. Kalau Persma begitu, hilanglah sudah idealismenya,” ujarnya, Sabtu (02/2).

Ia menambahkan, Persma dicari oleh industri pers bukan karena ia mampu menulis dan wawancara dengan baik. Tapi karena idealismenya. Satrio membagi dua dampak dari adanya sertifikasi wartawan.

Pertama, dalam skala mikro, mahasiswa tertarik masuk Persma hanya karena mencari pengalaman guna menunjang karir. Bukan bicara soal, bagaimana menganggap Persma sebagai alat perubahan.

Kedua, dalam skala makro, sertifikasi malah mengkerdilkan kerja wartawan yang dianggap sebagai sebuah profesi. Artinya, usaha mencerdaskan masyarakat (wartawan) hanya sekadar dipahami sebagai money oriented.

Untuk mengatasi hilangnya idealisme, Persma mesti mengambil sikap atas isu sertifikasi tersebut. “Bisa jadi sertifikasi dalih untuk mengontrol kerja-kerja wartawan sesuai keinginan pemilik pabrik berita (modal),” imbuhnya.

Tak jauh berbeda, Defy menyebutkan, dampak yang kurang baik sertifikasi wartawan ini adalah ketika Persma dicap sebagai tempat latihan menulis berita. Kerugian tersebut juga terjadi kerena dalam agenda perumusan hal-hal yang berkaitan permediaan, elemen Persma kurang mendapatkan tempat. (Nur Azizah)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Kilau Emas Fira Basuki di Balik Noda
Next post Perbaikan Gedung Student Center Capai Rp 2,5 Miliar