Tapol: Rindu Tanah Air

Read Time:2 Minute, 27 Second

Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik bernama Prancis. Tapi menurut ayah, darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk dan keimanan. Tetapi malah menghantam warganya hanya karena perbedaan pemikiran.(Lintang Utara dalam Pulang: 139)

Petikan paragraf dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori merupakan bentuk pergolakan batin salah satu tokoh utama, Lintang Utara terhadap identitas tanah kelahirannya. Darah Indonesia mengalir dalam raganya yang berkewarganegaraan Prancis. Indonesia, negara yang memiliki sejarah kelam akibat pertentangan ideologi.
Ayahnya seorang warga asli Indonesia, sebuah tempat yang belum Lintang kenal dan belum terjamah olehnya. Ia hanya mengenal Indonesia dari cerita-cerita ayahnya, Dimas Suryo, Risjaf, Tjahjadi, dan Nugroho serta dari buku-buku dan film dokumenter.

Selama tinggal di Indonesia, hidup ayah dan ketiga sahabatnya itu penuh dengan drama politik. Berkerabat dengan Hananto, yang berafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI), membuat mereka tak bisa menginjakkan kaki lagi di tanah air. Apalagi dengan terjadinya tragedi berdarah di tahun 1965.  Sebuah peristiwa yang menjadikan ayahnya  bagian dari sejarah yang tak tertulis.

Hingga akhirnya, ia ‘terpaksa’ membuka kembali lembar hitam kelam masa lalu ayahnya. Melalui penelitiannya sebagai tugas akhir kuliah, ia pun membeberkan sebuah fakta tentang Indonesia. Fakta tentang peristiwa yang dihapus di dalam buku sejarah Indonesia.

Ia pun mendapat jawaban atas pertanyaan mengapa ayah dan sahabat-sahabatnya tidak bisa kembali ke Indonesia. Mengapa ayahnya tak memiliki identitas kewarganegaraan setelah beranjak dari Indonesia?
Bukti penelitiannya dipaparkan dengan sejumlah surat-surat yang dikirim oleh kerabat ayahnya. “Di tahanan ini, Ibu ditanya terus-menerus. Setiap hari. Sampai capek. Sampai kedua mata ibu bengkak dan wajahnya kehitaman. Sementara Ibu ditanya dari pagi sampai malam, saya mendapat tugas membersihkan beberapa ruangan setiap pagi. Mengepel bekas darah kering yang melekat di lantai. Saya yakin banyak sekali yang disiksa di sini. Saya mendengar jeritan orang-orang. Laki-laki, perempuan. Banyak sekali. Bergantian,” (Surat dari Kenanga, anak Hananto: 22)

Salah satu surat yang mengisahkan betapa berat kehidupan yang dijalani para tahanan politik di Indonesia, akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mereka yang dianggap terlibat partai komunis atau keluarga komunis kemudian diburu-buru, ditahan dan menghilang begitu saja.

Belum lagi dampak dari label yang disandang oleh para eksil tahanan politik. Seperti tidak bolehnya bekerja di perusahaan milik negara dan dikucilkan oleh masyarakat.  Pemerintah Orde Baru begitu perkasanya sebab mampu menumbuh-suburkan kebencian masyarakat terhadap komunisme dengan menciptakan imaji tentang kejahatannya.

Novel karya wartawan senior ini disajikan dengan renyah melalui tatabahasa yang lugas. Begitupun dengan deskripsi yang begitu detail tentang latar belakang tempat, maupun gambaran suasana yang terjadi. Kisah dengan alur maju dan mundur ini  menggabungkan drama persahabatan, percintaan, dan  berbagai masalah yang dihadapi dari sudut pandang para tokoh.

Judul : Pulang 

Penulis : Leila S. Chudori 

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia 

Isi : 464 Halaman 

Terbit : Desember 2012 

ISBN : 978-979-91-0515-8

(Gita Nawangsari)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Dahlan Iskan: Saatnya Generasi Muda Berbisnis
Next post Tertinggal di Nasional, Bermimpi Internasional