Sade: Menulis Adalah Nafas Kehidupan

Read Time:2 Minute, 21 Second

Judul Film   : Quills

Sutradara    : Philip Khaufman

Genre         : Classics

Hidup dalam kesunyian di dalam ruangan sebuah rumah sakit jiwa yang bernama Charenton, Marquis de Sade semakin bebas jiwanya. Pikiran-pikiran liarnya tak bisa begitu saja dikungkung dalam penjara kehidupan.
 
Dalam hidupnya yang berada di tengah budaya aristokrat di Prancis, ia dianggap sinting dan amoral. Sade menuangkan pikiran-pikiran yang dianggap tak bermoral itu ke dalam sebuah tulisan. Pikiran yang berbau seksualitas.
 
Ia dimasukkan ke dalam Charenton—rumah sakit jiwa yang juga digunakan sebagai penjara—akibat ulahnya menuliskan buku-buku yang bernuansa seksual. Di dalam Charenton, meskipun ia masih dibolehkan menulis, namun ia dilarang menerbitkan karya-karyanya.
 
Berbekal pena bulu, tinta, dan kertas ia menuangkan segala inspirasi yang ada di kepalanya. Dibantu pelayan Charenton, ia berhasil menyebarluaskan karyanya. Seluruh Prancis heboh karenanya.
 
Napoleon Bonaporte yang berkuasa kala itu menganggap tulisan-tulisan Sade sebagai hinaan kepada orang-orang beradab. Ia memperketat pengawasan terhadap Sade, agar pria ‘sinting’ itu tak menulis lagi. Seluruh pena bulu, tinta, dan kertas disita dari kamar Sade.
 
Keadaan semakin sulit, namun jiwanya semakin bergairah untuk menulis. Segala cara ia lakukan demi menuliskan buah pikirannya. Alhasil, seprai putih dan minuman anggurnya pun ia gunakan untuk mengabadikan tulisannya. Tulisan liarnya.
 
Sade bersikeras menuangkan nuansa seksualitas karena ia merasa manusia-manusia pada zaman itu terpenjara dalam doktrin-doktrin agama dan budaya. Budaya yang menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu dan tak layak dituliskan. Baginya, ia menulis kebenaran sejati yang mengikat semua manusia, dunia manusia adalah makan, minum, tidur, senggama, dan mati.
 
Semakin sering Sade dilarang, semakin gila ia memberontak. Seluruh barang-barang di kamarnya disita tak satupun tersisa. Saat itu, ia mulai menulis dengan darahnya dan dituangkan dalam setiap sudut kain di bajunya. Pun akhirnya bajunya dilucuti.
 
Film yang disutradarai oleh Philip Khaufman ini memaparkan kisah perjuangan seorang penulis dengan begitu detail. Namun dalam film ini, penekanan pokok masalah dirasa masih kurang. Juga, penceritaan mengenai doktrin satu agama terlalu menyudutkan.
 
Secara keseluruhan, film yang menceritakan penulis ‘jorok’ ini mampu menyampaikan pesan bahwa  menulis adalah untuk mengabadikan keindahan sastra dan untuk mengekspresikan kemampuan diri. Semua itu dilakukan bukan untuk mendapatkan royalti belaka, namun lebih mengedepankan hasrat untuk menulis yang begitu besar, menyampaikan kebenaran dan menghasilkan buah pikiran yang dapat dibaca ribuan orang.
 
Sade tak bisa jika dirinya dilarang menulis. Bagaimanapun caranya, ia akan terus menulis. Menulis untuk diri sendiri dan orang lain. Hingga pada suatu waktu, ketika seluruh kamarnya kosong, dan tak lagi ada pakaian, ia menuliskan segala buah pikirannya di tembok. Tembok yang dijadikan sebagai kertas, dan kotorannya sebagai tinta.
 

Menulis akan selalu menjadi hidupnya, menulis adalah bagian dari dirinya. Hingga akhir hayatnya Sade tetap menulis. Karya-karyanya dibukukan, disebarluaskan, dan dijual ke seluruh penjuru dunia ketika ia tak lagi hidup. (Gita Nawangsari)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Undang-Undang Ormas Prodemokrasi
Next post Sema Belum Menemukan “Goal”