Pariwisata Berbasis Budaya Timbulkan Kontroversi

Read Time:4 Minute, 26 Second
Laporan  Economic  Creative  Report  2013  Widening  Local  Development  Pathway  yang  diterbitkan  oleh  UNESCO,  tren  turis  mancanegara  mengunjungi   warisan  budaya  sedang  populer  saat  ini. Hal  tersebut  tentunya  sangat  menguntungkan  untuk  pariwisata  Indonesia  yang  memiliki  kekayaan  budaya.
Direktur  Pemasaran  Pariwisata  Kementrian  Ekonomi  Kreatif, Tazbir  membenarkan  hal  itu. Lanjutnya, tren  wisatawan  mancanegara  itu  memberikan  peluang  bagi  Indonesia  untuk  lebih  mengintegrasikan  ekonomi  kreatif  berbasis  budaya  sebagai  daya  tarik  wisata  untuk  mendorong  pertumbuhan  ekonomi  nasional. 
Tazbir  menjelaskan, sebagai  sumber  devisa, pariwisata  di  Indonesia menyimpan  potensi  yang  sangat  besar. Bahkan, pariwisata  di  Indonesia  bisa  menjadi  devisa  pemasukan  terbesar  kedua  setelah  perminyakan. Apalagi, melihat  tren  pariwisata  turis  mancanegara  saat  ini, di  tahun  2020  nanti,  diramalkan  bahwa  tiap  tahunnya  akan  mencapai  1,6  miliyar  turis  yang  bertandang  ke  Indonesia.

Ia  menambahkan,  banyak tempat  di  Indonesia  yang  sedang  ramai  dikunjungi  turis  mancanegara. Tempat  tersebut  terkenal  akan  kebudayaan  dan  keindahan  alamnya, seperti  Bali, Lombok, Toraja, Jogjakarta, Solo, Raja  Ampat, dan  Samosir. “Tempat-tempat  lain  pun  sedang   digencarkan  untuk  mengembangkan  pariwisata  kebudayaan,” papar  pria  tersebut  di  Universitas  Airlangga (UnAir),

Jika  dari  segi  ekonomi  sangat  menguntungkan, dari  segi  kebudayaan berbanding  terbalik. Budayawan  asal  Jawa  Tengah, Jlitheng  Suparman  menyatakan, kunjungan  turis  mancanegara  ke  Indonesia  menimbulkan  banyak  kontroversi. Kaum  budayawan  sebagian  besar  menentang  pariwisata  berbasis  budaya  karena  kedatangan  turis  dapat  merusak  keaslian  budaya.  

Contohnya, lanjut  Jlihteng, adalah  Tari  Kecak  dari  Bali  dan  Sendra  Tari  Ramayana  dari  Yogyakarta. Kini, Tari  Kecak  tidak  lagi  terlihat  nilai  sakralnya  karena  terpotong-potong  akibat  menyesuaikan  dengan  waktu  turis  yang  sangat  padat. Tari  tersebut  langsung  menuju  klimaks  tanpa  pembuka  maupun  penutup. Begitu  pun  dengan  Sendra  Tari  Ramayana  yang  tidak  lagi  disajikan  secara  utuh  akibat  memenuhi  kebutuhan  pengunjung  saja. 

“Kontroversi  tersebut  masih  berlanjut  hingga  sekarang. Kalangan  seniman  dan  budayawan  menyatakan, pengemasan  budaya  sebagai  objek  pariwisata  akan  menghilangkan  keaslian nilai  suatu  budaya. Sementara  kaum  wisatawan  menyatakan, keaslian  dari  budaya  tersebut  tidak  hilang, asalkan  mereka  tahu  substansi  dari  karya  seni  tersebut,” jelasnya  di  gedung  Fakultas  Ilmu  Sosial  dan  Ilmu  Politik (FISIP) UnAir, Sabtu (21/6). 

Menanggapi  hal  tersebut, Ketua  Departemen  Antropologi  UnAir, Sri  Endah  Kinasih  mengatakan, pariwisata  secara  langsung  dapat  memodifikasi  ekspresi  kebudayaan  lokal  guna  memenuhi  kebutuhan  pariwisata  para  turis. Namun, di  sisi  lain, fenomena  seperti  itu  akan  menimbulkan  cultural  involution, yaitu  elaborasi  yang  baik  antara  sosial  ekonomi  dan  usaha  konservasi  kebudayaan. 

Endah  mengatakan, kini  penerapan  kegiatan  pariwisata  berbasis  budaya  di  Indonesia  telah  berjalan  baik  di  beberapa  provinsi. Salah  satunya  adalah  Daerah  Istimewa  Yogyakarta (DIY). Pengembangan  pariwisata  di  sana  disesuaikan  dengan  potensi  yang  ada  dan  berpusat  pada  budaya  Jawa. Hal  itu  selaras  dengan  aksi  yang  telah  dicanangkan  pemerintah  dan  dijalankan  masyarakat  untuk  mendukung  pelaksanaan  program  tersebut. 

“Di  Yogyakarta, banyak  pengembangan  dan  peningkatan  kuantitas  serta  kualitas  fasilitas, event  berupa  wisata, seni, dan  budaya  yang  berbau  Jawa  untuk  optimalisasi  pemasaran  program. Hasilnya  pun  mulai  tampak, seperti  keberadaan  Rumah  Pintar  Yogyakarta  yang  tidak  hanya  memiliki  arena  permainan, tetapi  juga  mengajak  pengunjung  untuk  mengenal  sejarah  dan  kebudayaan  Yogyakarta,” tukas  wanita  asal  Banyuwangi  ini, Sabtu (21/6). 
Gita Juniarti

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Edy Fajar Prasetyo, Sulap Plastik Jadi Barang Cantik
Next post UIN Perlu Terapkan K3