Nasib Kami, Tembakau dan Petani

Read Time:5 Minute, 36 Second
(Sumber: images.solopos.com)


Oleh: Putra Gangga*


Kau menyebut dirimu petani. Kulitmu legam. Wajahmu kusam. Kau hidup dari kasih sayang Tuhan lewat alam. Keluargamu tumbuh besar dalam derai cinta yang alam berikan lewat kesuburannya. Kau bergantung pada irama musim. Salah satu musim yang membuatmu tersenyum lebih dari sekedar biasanya adalah musim yang menunjang tumbuh besarnya kami: anak-anak tembakau.

Sejak dulu kau dan kami memang punya hubungan istimewa. Kau rawat kami dengan segenap rasa cinta. Kita seperti sepasang anak dan orang tua.

Memang tak pernah kau menyebut kami anak-anakmu. Sekali pun! Tapi dari caramu merawat dan membesarkan kami dengan kerja kerasmu tiap hari, bermandi keringat, air mata harapan dan kesedihan, rasanya tak perlu kami mempertanyakan kepastian status itu. Kami tak perlu merepotkanmu dengan pertanyaan itu. Kau anggap kami sebagai anak-anakmu atau bukan, itu tak penting. Kerja kerasmu telah cukup menjawab segala teka-teki sunyi itu.

Kami tak perlu berebut status sebagai anak-anakmu. Kami tak perlu merepotkan istrimu untuk membagi status cintanya kepada kami dan anakmu. Cukup kami adalah anak-anakmu yang rajin kau rawat dan tak perlu kau beri kami pengakuan yang sah.

Kami masih ingat, di ladang ini kami tumbuh besar dalam perawatanmu. Sewaktu kami masih bibit muda, melalui serangkaian kasih sayangmu, yang katamu beginilah tradisi yang berlaku di kampung sini cara membesarkan kami semua, tiap hari kau biarkan kami disinari terik matahari agar kami tumbuh bagus. Sembari itu, kau beri kami siraman air secukupnya tiap hari agar kami tak kering.

Kau begitu peduli terhadap kondisi kami. Matamu tak pernah sangsi untuk mengawasi perkembangan kami tiap hari. Kau pupuk kami secukupnya agar pertumbuhan kami bagus.

Manakala ada di antara kami yang tumbuh kurang sehat atau terserang penyakit, kau segera mencari bantuan untuk memperoleh pengobatan. Jika kau temui seseorang hendak mengganggu kami atau tak sengaja mengakibatkan kami terganggu, kau pasti marah besar. Bahkan kau tak segan-segan membikin perhitungan dengan orang itu. Begitulah kau, begitu besar pembelaanmu kepada kami. Semakin kami tambah mantap untuk tak perlu merepotkanmu untuk menjawab status kami denganmu.

Kami juga masih ingat waktu itu di tempat ini manakala kau bilang kami adalah bibit-bibit masa depan. Bibit-bibit emas. Kami adalah pembawa keberuntungan untuk keluargamu. Sebabnya, sambil mengucapkan itu kau tersenyum bangga sumringah. Waktu itu, kami tidak mengerti apa maksudmu. Kami hanya diam dan sesekali mengikuti irama rayuan angin kemana ia berhembus.

Dan sejauh kau merasa bahagia, kau bangga terhadap kami semua, kau perlakukan kami semua begitu istimewa. Itu sudah cukup. Tak perlu kami semua mengerti apa maksud perkataanmu waktu itu.
***
Kini kami tumbuh semakin dewasa dan besar. Kini kau tak lagi perlu bersusah payah menyiram kami sebab kami sekarang sudah tak dahaga lagi. Kami sudah terbiasa bergaul dengan terik matahari. “Kami sekarang bisa tahan”, kata kami, “sudah berapa waktu bukan kanak lagi”.[1] 

Daun-daun kami sebagian sudah menguning berkibaran menjanjikan. Kami menyambut senyummu tiap pagi saat kau mengunjungi kami. Senyum, yang menurut kami tak pernah berubah, masih tampak seperti dulu meskipun garis usia dan legam akibat terik jelas di wajahmu. Dan caramu memberi kami perhatian, kerja keras dan kepedulian yang berlebihan, masih seperti beberapa bulan yang lalu.

Kini kami makin menua dan siap dipanen. Kau bilang nanti pada saat yang tepat, kau akan petik daun-daun kami untuk didiamkan di rumahmu barang beberapa hari demi menjalani proses pematangan khusus. Lalu setelah itu, dalam proses yang bertahap, kau akan dengan bangga mengatakan pada pembeli: “lihatlah tembakau kami, coba resapi aromanya. Tembakau ini bakal membikin produksi rokokmu makin meroket, diminati banyak perokok dunia ini. Kau pasti suka”.

Ucapan itu membuatmu tersenyum meski pembeli menanggapi geli. Pembeli hanya perlu sedikit tersenyum untuk menghargai senyum puasmu dan selebihnya banyak menilai kelemahan-kelemahan kami, tembakaumu yang siap dijual. Ucapanmu juga membuat kami mengerti akhirnya mengapa kau mencintaiku terlampau besar dan kerja keras untuk merawatku. Kami benar-benar harapan kesejahteraan keluargamu.

Namun, tiba-tiba kau malah sunyi. Garis senyum di wajahmu hilang seketika. Kau sempat bersitegang dengan sang pembeli. Katamu dengan meyakinkan “ini daun emas, bagaimana mungkin kau patok harga semurah itu?”. Di wajahmu jelas tergurat marah. Harga yang diberikan pembeli tak sesuai dengan kerja keras dan kualitas tembakau ini, begitu katamu dengan tegas.

“tembakau-tembakau musim ini tak sebagus musim lalu”, kau dengar itu dari pembeli, “kalau kau bersikukuh dengan harga itu, jelas pabrik rokok kami akan memilih yang lain. Toh, banyak yang mau seharga itu”.
Kau tampak kesal dengan sikap dan cara pembeli menghargai tembakaumu. Kami lihat kau masih hendak bersitegang. Tapi ….

“kau coba tawarkan ke pabrik-pabrik rokok yang lain”, kau lihat bagaimana ekspresi sang pembeli, sambil menggeleng-gelengkan kepala dia melanjutkan, “tak kan ada yang mau menerima di atas harga itu”.

Kau tak bisa berbuat banyak. Kebutuhanmu untuk segera melunasi hutang-hutang selama masa penanaman, proses panen dan sampai siap jual sekarang lebih mendesak. Terbayang untuk segera membiayai sekolah anak-anakmu dan keperluan dapur istrimu. Kini kau berada diantara pertimbangan menjual murah agar segera peroleh duit atau mempertahankan harga yang menurutmu ideal tapi kau ragu benarkah harga tembakau sekarang lagi anjlok?

Beberapa hari lalu kau sempat tersenyum. Kau bilang ada demonstrasi mahasiswa yang menuntut agar keberadaan nasib petani diperhatikan. Kau juga bilang mereka, para mahasiswa, mengatakan bahwa masa depan petani terletak pada masa depan kami. Masa depan kami adalah penentu kesejahteraan para petani. Mereka juga mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah tentang kami, tembakau, yang lebih menguntungkan pembeli daripada petani.

Entahlah seterusnya kritik itu. Yang pasti, akhirnya kau memilih pertimbangan yang pertama, menjual dengan harga murah demi memperoleh duit segera meskipun tak cukup menguntungkan bila dihitung dari kerja kerasmu dan pembiayaan lainnya.

Kami begitu kasihan padamu yang telah merawat dan membesarkan kami. Kalau akhirnya kau tak memiliki kemerdekaan untuk menentukan harga kami, apalah artinya kau sebagai pemilik kami. Kau dan kami sudah dipermainkan.

Kalau saja kami bisa bicara, kami akan memberimu pertimbangan bahwa sesungguhnya kaulah yang lebih berhak tentukan harga. Kami akan meyakinkanmu bahwa pabrik atau pemerintah sekalipun tak berhak begitu saja menentukan harga kami. Kalau saja kami bisa berontak, kami akan berpihak kepadamu. Kami akan melawan kebijakan-kebijakan pabrik. Kami akan bergabung dengan mahasiswa dalam irama demonstrasi yang sampai kini masih terus berlanjut menuntut pemerintah.

Sayangnya, kami hanyalah anak-anak tembakau yang kau rawat dan besarkan sejak bibit hingga tumbuh besar dan siap dijual. Kami hanyalah anak-anak tembakau yang sepenuhnya pasrah pada permainan harga pabrik, calo dan pemerintah. Kau, petani, sebagai pemilik sah, sayangnya tak bisa berbuat banyak. Kau kehilangan kemerdekaanmu, hai Petani tembakau.

(Cerpen ini dihaturkan untuk masyarakat Tani Tembakau di tengah permainan para Tengkulak dan kebijakan pemerintah)


*Penulis adalah Mahasiswa tingkat akhir FISIP UIN Syarif Hidayatullah dan penyuka dongeng




[1]             Kata-kata ini berasal dari puisi Chairil Anwar, Derai-Derai Cemara. Sebagian kata saya modifikasi untuk keperluan cerpen.

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post UIN Jakarta Butuh Rektor Populer
Next post Penyebaran Wi-Fi Kampus Tidak Merata