Perbincangan Imajiner di Ciputat

Perbincangan Imajiner di Ciputat

Read Time:4 Minute, 6 Second
Perbincangan Imajiner di Ciputat

Oleh: Jasmiko*

Bicara mengenai dunia yang terbingkai secara global, maka adalah sebuah hal yang biasa ketika melihat seorang bule duduk santai di trotoar sembari menikmati segelas kopi yang dibelinya dari abang-abang penjual kopi yang ia berjualan dengan sepeda, sembari menikmati macet dan bising jalanan tentunya. 

Ketika tengah asyik dengan secangkir kopi, mataku terpaksa dihadapkan pada sebuah realita bahwa dunia benar-benar telah terintegrasi dalam banyak hal, salah satunya adalah pendidikan. Integrasi yang aku maksud di sini adalah globalisme dalam pendidikan, di mana seorang pemuda dari bangsa lain, bebas berpendidikan di Indonesia; terlepas dari banyaknya pemuda pribumi yang tidak mendapatkan akses pendidikan layak.

Sore itu aku duduk di bangku kayu warkop depan kampus 2 UIN; kampus impian anak-anak pondok ketika mendekati masa akhir, atau anak-anak MA yang tertarik untuk mendalami aliran-aliran sesat dalam Islam. Sebuah sore menjelang petang, pukul setengah enam, jalanan semakin ramai, pun mahasiswa semakin banyak di jalanan, kembali ke kosan masing-masing setelah seharian ngampus. Di seberang jalan, di sebuah kursi, aku melihat dua orang perempuan, saling berbicara. Jika melihat warna kulitnya, aku yakin mereka bukan orang pribumi, sedikit lebih hitam. Ketika mengatakan seperti ini, aku tidak bermaksud menuntut kalian untuk mengartikan bahwa kita berbeda, hanya saja Tuhan menciptakan hal-hal unik di dunia.

Aku tidak mengerti bahasa apa yang mereka gunakan, pun aku tidak mendengar. Aku mengamati gerak bibirnya, percuma. Ah, tapi setidaknya aku sedikit paham bahwa mereka berdua menggunakan bahasa Arab. Aku mengira; lebih tepatnya menduga, bahwa mereka adalah mahasiswa yang berasal dari negara luar. Gadis berdua itu satunya bercadar, yang satunya tidak. Aku melihat bayanganku berjalan mendekati mereka, dan samar-samar mendengar percakapan mereka. Setidaknya, aku sedikit paham dengan bahasa Arab.

“Insya Allah dua tahun lagi kita akan lulus, dan kembali ke negara kita!” ujar gadis

bercadar.

“Iya, dua tahun lagi kita akan kembali, dan pasti!” timpal satunya.

Aku menyebut mereka Mari dan Ana, Mari untuk gadis bercadar.

“Aku tidak menyangka bahwa pergaulan di kampus Islam terbesar ini lebih bebas

daripada kampus di negeri kita yang sekular!” ujar gadis bercadar.

Mereka berdua tengah duduk di sebuah kursi kayu di depan gedung FISIP.

“Iya, awalnya aku membayangkan bahwa kampus tempat kita kuliah sekarang ini

adalah kampus yang sangat idealis, islamis, dan penuh dengan tatakrama seperti

kebanyakan kampus di negeri kita!” sahut Ana.

Obrolan mereka harus terhenti, tiba-tiba seorang bapak-bapak lewat di depan

mereka. Kenapa harus berhenti obrolan mereka? Suara motor bapak itu sangat berisik,

naik motor di atas trotoar. Apa salah? Itu sudah menjadi budaya di Indonesia.

“Kenapa bangsa yang kebanyakan penduduknya beragama Islam ini tidak bias

hidup teratur? Padahal jalan sudah lebar, kenapa harus di trotoar?” tanya Ana pada Mari,

jengkel.

“Yah, kita tidak punya hak untuk melarang manusia tidak punya otak. Hanya

kesadaran yang bisa merubah kebiasaan mereka!” ujar Mira ikut jengkel.

Seandainya bapak tua itu mendengar, dia juga tidak akan marah; tidak paham

bahasa Arab.

“Masih banyak sekali hal-hal yang harus diperbaiki dari bangsa ini,” ujar Ana.

Detik itu juga, tiba-tiba aku dikagetkan dengan kedatangan temanku,

membuyarkan percakapan imajiner yang aku dengar dari dua mahasiswi mancanegara di

depan sana.

Aku masih mengamati mereka, temanku duduk di kursi sebelah.

“Tahu bulat, digoreng dadakan…”

Seorang pemuda sekira lulusan SMA mendorong gerobak tahu bulat. Mereka berdua menghentikannya. Bayanganku kembali merangkak ke sana.

“Makanan di sini enak-enak, murah juga!” ujar Ana.

“Iya, tapi hidup mereka tidak sejahtera!” sahut Mira, ada benarnya juga.

“Tidak ada jaminan dari pemerintah, padahal potensi bangsa ini sangat besar!”

Ana mengeluarkan uang sepuluh ribu, membayar. Abang-abang yang usianya

sepadan lulusan SMA kembali mendorong gerobaknya.

“Hei, kita mau kerjain yang mana dulu?”

Tiba-tiba suara temanku membubarkan lagi obrolan imajiner itu.

“Halaman 57,” sahutku.

Beberapa menit kemudian aku masih menerawang ke depan sana, mendengarkan obrolan dua mahasiswi manca. Secara garis besar aku menyimpulkan bahwa mereka berdua menyesal kuliah di Indonesia; dan jika diberi pilihan lagi mereka akan lebih memilih kuliah di Malaysia. 

Tapi setidaknya aku sedikit gembira mendengar kabar bahwa mereka juga sangat bersyukur dipertemukan dengan ibu kost yang baiknya tiada tanding, masyarakat yang ramah-ramah.

Ah, sudahlah, percakapan mereka cukup adil untuk menilai kampus Ciputat. Minus untuk atmosfir akademik, dan plus untuk masyarakat sekitar kampus.

“What doesn’t kill me makes me even stronger”

Kalian pasti familiar dengan suara itu, suara Yu Zhong dalam Mobile Legend. Iya, temanku yang katanya akan mengerjakan tugas, malah log in. Iya, beginilah keadaan pemuda Indonesia.

Di saat yang seperti itu, aku teringat video Youtube beberapa waktu lalu yang aku tonton sembari duduk mengeluarkan kotoran dari perut di WC kampus. Iya, Pak Gibran sedang memberikan edukasi tentang bonus demografi yang harus dimanfaatkan dengan

maksimal. Em, secara garis besar aku setuju dengan apa yang ia katakan, tapi tidak menyentuh substansi yang menjadikan masyarakat skeptis bahwa Indonesia akan menjadi bangsa maju di 2030. Menurut beberapa ahli, pemuda Indonesia sangat siap untuk menjadi negera maju, pemerintah dan jajarannya yang belum siap.

*Penulis merupakan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Kolaborasi Selamatkan Pesisir Negeri Previous post Kolaborasi Selamatkan Pesisir Negeri
Potret Luka Nelayan dan Laut Nusantara Next post Potret Luka Nelayan dan Laut Nusantara