Redesain Kepemimpinan

Read Time:3 Minute, 53 Second
Ilustrasi. (Sumber: Internet)

Oleh : Muhammad Shofwan Nidhami*
Dalam beberapa bulan ini, realitas politik negeri kian ramai. Hal itu terlihat dari adanya demo di berbagai daerah dan munculnya surat terbuka untuk presiden. Ini semua tidak luput dari tumpang tindihnya kebijakan pemerintah. Sungguh miris menyaksikan karut marut kondisi ini. Padahal, bangsa ini mempunyai potensi besar untuk menjadi negeri adidaya. Dengan semua kekayaan alam yang kita miliki, meminjam istilah Mustofa Bisri bahwa Indonesia sebagai miniatur surga.
Pada saat yang sama, friksi antar kubu politik yang tak kunjung padam, tumpulnya hukum, dan instabilitas perekonomian membuat kita semakin yakin bahwa bangsa ini kini tengah dirundung krisis multidimesional. Karena itu, diperlukan upaya untuk meredesain negeri ini sesuai dengan cita-cita the founding fathers, yaitu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kewajiban ini menjadi tugas pokok presiden dalam menciptakan tatanan bangsa agar sesuai dengan acuan dasar yaitu Pancasila. Karena jika mengacu penggunaan sistem yang berlaku —presidensial— hubungan antara badan eksekutif dan legislatif mempunyai kedudukan yang independen. Presiden juga mempunyai kekuatan yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan oleh kekuatan parpol manapun.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki hak prerogatif yang tidak dipunyai oleh kekuasaan politik lain, yang bisa digunakan untuk menjalankan kekuasaan negara. Dalam konteks ini, presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif tetapi juga pusat kekuasaan negara. Dan presiden memiliki banyak andil untuk mengatur keteraturan negeri melalui kekuasaannya.
Pemimpin Pancasilais
Namun, sistem ini tidak efektif bila pemimpinnya non-integritas, non-kualitas dan destruktif. Karena implikasinya  terhadap tatanan penegakan hukum, perekomonian, dan lain sebagainya. Untuk itu, kita harus memiliki pemimpin yang mampu bertindak logis dan etis  dalam menjalankan kewajibannya.
Tujuan dari dipilihnya pimpinan negara agar bisa mengembalikan ketenteraman, kesejahteraan, dan ketertiban yang ada dalam masyarakat. Dan hal ini bisa terwujud bila pemimpin tidak bertindak konspiratif dengan pihak asing manapun. Dengan tetap teguh pada pendirian dan janji-janji awal sebelum terpilihnya yaitu untuk membangun Indonesia hebat. Menyetir titah Tuhan Surat Ash-Shaf ayat 2-3 yang intinya kemurkaan Allah kepada orang yang hanya pandai bersilat lidah namun tidak ada pengamalannya.
Dan  jika mengacu dari kacamata hukum, maka tujuan dari negara hukum (rechtstaat) itu bisa terwujud salah satunya bila disertai dengan kepemimpinan yang adil. Sebagaimana tertera pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Untuk mendapat keadilan itu, kita harus memiliki sebuah pemimpin pancasilais tersebut.
Pernyataan yang dilontarkan oleh Prof. Soerjono Soekanto bahwa kutub citra keadilan ada dua yaitu neminem laedere atau equality (jangan merugikan orang lain) dan Suum Cuique Tribuere atau Equaity (bertindak sebanding).  Dari dua kutub keadilan ini bisa kita analisa bahwa pada bagian equality lebih pada tatanan pergaulan hidup. Sedangkan di bagian kedua lebih    mengarah penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang tidak sama ataupun hal-hal yang lebih konkret dan khusus.
Hubungan konsepsi di atas bila kita hubungkan dengan pemimpin pancasilais tampak jelas bahwa salah satu jalan untuk mendapat tujuan itu melalaui torotoar ini. Karena keadilan me rupakan bagian asas negara yang harus diejawantahkan dalam menjalankan pemerintahan itu sendiri. Tanpa hal ini, seolah-olah keberadaan negara sedang pincang tidak memiliki pegangan. Yang ada hanya ketidakadilan dalam memutus perkara kenegaraan. 
Oleh karena itu, sudah saatnya kita sadar realitas bahwa negara sedang berada dalam keadaaan karut-marut. Apakah ini sebuah kutukan ataupun sedang kekosongan kekuasaan yang diakibatkan  instabilitas kepemimpinan. Atau bisa dikatakan juga ini implikasi dari kita memiliki presiden sialan, hal ini tergantung dari penilaian masyarakat. Sebutan ini cocok untuk digunakan ataupun malah sebaliknya. Hal ini bukan untuk memprovokasi tapi hanya sebagai perenungan hidup bernegara saat ini.
Mempelajari kepemimpinan ala Rasulullah Waba’duh; sebuah pemerintahan dan kepemimpinan yang paling ideal yaitu pada masa Rasulullah. Pada masa inilah kita menyaksikan kesejahteraan, ketertiban, dan ketenteraman dalam sebuah negara. Karena konsep yang digunakan ala kepemimpinan Rasul yaitu Sidiq, Amanah, Tablig, dan Fatonah (baca:kepemimpinan Rasulullah). Dengan empat kriteria ini pemimpin pancasilais juga dapat terbentuk dan terwujudkan.
Dalam konsep kepemimpinan pancasilais dan ala Rasulullah memiliki sebuah kemiripan baik dari segi agamis dan nasionalis. Karena dua konsep model kepemimpinan ini selalu mendahulukan kepentingan umat dari pada pribadi. Dan seorang pemimpin harus memiliki dua kutub konsep tersebut.
Meminjam istilah Prof. Oeman Senoadji yaitu penafsiran futuristik atau menafsirakan sesuai dengan masa depan. Di sini pemimpin pun juga harus mempunyai kemampuan membaca realitas dengan penafsiran futuristik, agar dalam menentukan kebijakan dan memutuskan suatu perkara tidak asal-asalan. Harus ada pertimbang matang dalam menyelesaikan perkara kenegaraan tersebut baik melaui musyawarah dan lain sebagainya.
Karena itu, dari berbagai konsepsi di atas berharap pemimpin pancasilais terwujud. Dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai pancasila dan dasar-dasar hukum negara. Pemimpin bukanlah boneka siapa pun. Pemimpin adalah tangan panjang rakyat yang akan mewujudkan negara lebih baik.

*Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Menghadapi Dosen Korup
Next post Stumble Upon Consignment Team