Read Time:4 Minute, 20 Second
Keberadaan kelas internasional sebagai langkah UIN Jakarta menuju WCU kini tak ubahnya dengan kelas reguler. Terpaksa gulung tikar.
Satu ruangan bersama mahasiswa dari berbagai negara merupakan bayangan awal Muhammad Ghiyast Farisi tentang kelas internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, ekspektasi mahasiswa Teknik Informatika (TI) kelas Internasional Fakultas Sains dan Teknologi (FST) tahun 2009 itu bak panggang jauh dari api. Jangankan satu kelas bersama mahasiswa mancanegara, fasilitas yang mestinya didapat mahasiswa internasional saja kini sudah tak nampak bukti fisiknya.
Tak hanya Ghiyast, mahasiswa semester 6 TI Internasional, Faiqul Azmi pun merasakan hal serupa. Intensive class (kelas intensif) yang seharusnya ia dapatkan, kini juga sudah tidak lagi dirasakannya. Padahal, menurutnya, intensive class penting bagi mahasiswa kelas internasional agar bisa aktif berbahasa Inggris lantaran menjadi syarat sidang untuk menyandang gelar Sarjana Komputer (S. Kom).
Terhitung sejak 2013, Mahasiswa TI Internasional memang tak lagi mendapat fasilitas berupa, student lounge (ruang diskusi), lobi khusus, komputer di setiap ruangan, staf administrasi, dan dosen yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Pun double degree (gelar ganda), visiting study (pertukaran pelajar), dan field trip (karyawisata) yang jadi program unggulan di kelas internasional. Ruang di lantai empat FST, yang awalnya dikhususkan untuk kelas internasional, beberapa di antaranya kini juga digunakan untuk kelas reguler dan ruang dosen magister Jurusan Agribisnis.
Tak tinggal diam, beberapa mahasiswa TI Internasional FST pada akhir 2014 kemudian melayangkan surat keberatan kepada pihak dekanat sebagai bentuk kekecewaan atas fasilitas yang tak mereka dapatkan. Namun, dekanat memberikan alasan bahwa pihak fakultas ingin menginternasional FST. “Tapi, alasan itu tidak masuk akal,” tukas Faiq, Senin (11/5).
Lain FST lain FEB. Sejak 2011, mahasiswa di Prodi Manajemen Internasional dan Prodi Akuntansi Internasional juga sudah tak mendapat haknya sebagai mahasiswa kelas internasional. Namun beruntung, karena dua prodi internasional itu masih menggunakan pengantar Bahasa Inggris di kelas meski hanya 80 persen. Berbeda dengan FST yang kini sama sekali tak menggunakan bahasa wajib kelas internasional itu.
Dekan FST, Agus Salim, tak menampik ketiadaan beberapa fasilitas seperti laptop atau double degree yang seharusnya didapat mahasiswa kelas internasional. Kata Agus, beberapa fasilitas itu memang seharusnya didapat mahasiswa kelas internasional. Selain itu, tambah Agus, mereka juga seharusnya dapat Praktik Kerja Lapangan (PKL) di negara mitra (Malaysia, Australia, dan Jerman), serta double degree di International Islamic University of Malaysia (IIUM) dan Deakin University Australia.
Terkait pengantar Bahasa Inggris yang tidak digunakan dosen di kelas internasional FST, lanjut Agus, itu karena beberapa dosen kelas internasional belakangan merasa keberatan lantaran gaji yang diterima sepadan dengan besaran gaji yang diterima dosen reguler. “Terakhir dosen-dosen kelas internasionalnya pada komplain karena mereka sudah english addict (sepenuhnya berbahasa Inggris) tapi gaji yang diterima sama saja dengan dosen reguler,” papar Agus.
Namun, salah satu dosen TI Internasional, Yuditha Ichsani, mengaku dirinya hingga kini masih menggunakan pengantar Bahasa Inggris bagi mahasiswa internasional di kelasnya. Hanya saja, ada perbedaan antara mahasiswa semester atas dan semester bawah. Bagi mahasiswa semester atas, saat mengajar, Yuditha sepenuhnya menggunakan pengantar Bahasa Inggris, sedangkan bagi mahasiswa semester awal dengan bilingual (dua bahasa). “Soalnya mahasiswa baru belum fasih berbahasa Inggris baik pasif maupun aktif,” ujar Yuditha, Jumat (22/5).
Sama halnya Yuditha, menurut salah satu dosen Prodi Manajemen Internasional FEB, Sri Hidayati, dosen yang mengajar di kelas internasional wajib sepenuhnya berbahasa Inggris. Kecuali, jika mahasiswa kesulitan untuk memahami materi, maka ia akan menerapkan bilingual. Itu pun hanya untuk memperjelas.
Tercatat, TI Internasional sempat mengalami masa keemasan saat Ghiyast dan rekannya pada 2011 mendirikan Himpunan Internasional (Himter). Saat itu, mereka menuntut dekanat menyediakan fasilitas yang seharusnya diperoleh mahasiswa internasional. Semisal, AC dan jaringan internet di lobi, serta field trip tiap tahunnya. “Waktu itu angkatan gue field trip-nya ke CISCO, Indonesia Data Center (IDC), dan LIPI Bandung,” terang Ghiyast.
Nahas, masa itu tak bertahan lama. Satu tahun berikutnya, saat Ghiyast dan rekannya mengikuti visiting study ke IIUM Malaysia, satu per satu fasilitas sudah mulai tak dirasakan. Di sisi lain, semangat anggota Himter untuk mempertahankan fasilitas juga mulai menurun. Puncaknya saat pergantian dekan pada 2013: staf administrasi diberhentikan, mahasiswa TI Internasional hanya sekali melakukan field trip ke Universitas Gajah Mada (UGM), bahkan kelas internasional dihapuskan.
Nasib kelas internasional
Dari total 12 fakultas, UIN Jakarta memiliki empat fakultas yang membuka kelas internasional, yakni TI dan Sistem Informasi (SI) di FST, Manajemen dan Akuntansi di FEB, Perbandingan Mazhab Hukum Khusus (PMHK) di Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), serta Hubungan Internasional (HI) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Namun, seperti diketahui semua kelas internasional itu kini sudah dihapuskan di tahun yang berbeda. Semisal, HI dihapuskan pada 2012, TI dan SI pada 2013, Manajemen dan Akuntansi pada 2014, dan PMHK pada 2015. Meski begitu, penghapusan itu tetap tidak menghilangkan hak mahasiswa kelas internasional yang masuk sebelum tahun penghapusan itu.
Menurut Agus, penghapusan kelas internasional di UIN Jakarta dikarenakan fakultas belum memiliki pedoman pengelolaan yang seragam. Selain itu, menurut Agus, calon mahasiswa kelas internasional juga tak memiliki kualitas mumpuni. Mereka hanya menjadikan kelas internasional sebagai cadangan.
Faktor lain, sebagai Dekan FST Agus katanya, juga berniat menginternasional kelas reguler. Sehingga, kelas reguler pun bisa mengikuti student exchange dan double degreedengan syarat mampu membiayai biaya hidup dan kuliah di negara mitra. “Agar tak ada kesan dikotomi kelas internasional,” kata Agus, Selasa (19/5).
Aci Sutanti
Average Rating