Agus dan Antisipasi Anti-Intelektualisme

Read Time:4 Minute, 0 Second
Oleh Haris Prabowo*
Diskursus politik Ibu Kota akhir-akhir ini cukup menarik, khususnya menjelang  pemilihan gubernur (Pilgub) 2017 DKI Jakarta mendatang. Pasalnya memang terjadi beberapa gerakan aktor-aktor politik yang cukup membuat peta Pilgub DKI Jakarta berubah secara signifikan. Mulai dari Ahok yang akhirnya ‘melacur’ kepada partai politik dengan menggandeng Djarot kembali, Sandiaga yang akhirnya menggandeng mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, hingga yang paling cukup mengejutkan publik adalah muncul wajah baru dengan wajah lama dibelakangnya, Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni.

Baca : Gengsi Elit Politik Bayangi PIlgub DKI
                                                 
Ditambah lagi, beberapa portal berita menaikkan isu bahwa ketiga pasangan tersebut adalah representasi dari tiga aktor lama kelas kakap, Mega, Prabowo, dan SBY. Mereka ibarat ‘turun gunung’ dalam Pilgub DKI Jakarta mendatang. Mereka mengerti bahwa Jakarta adalah pasar potensial untuk menaikkan namanya sendiri, hingga nama partai pengusung.
Penulis tidak akan membahas Ahok-Djarot maupun Sandiaga-Anies, tetapi Agus Harimurti Yudhoyono terlihat patut diperbincangkan, bahkan diwaspadai. Ia adalah anak dari mantan Presiden Republik Indonesia ke-6. Selain itu, ia dengan berani meninggalkan karier militernya, dengan pangkat mayor, untuk terjun ke kotornya arus perpolitikan Indonesia.
Agus adalah orang yang unik dan patut untuk diteladani. Menurut berbagai sumber ia termasuk kutu buku, yang pastinya bermacam literatur merupakan kudapannya. Baginya, membaca bukanlah sebuah hobi, namun sebuah keharusan bagi seorang prajurit. Ia sadar betul dengan membaca seorang prajurit dapat membuka wawasannya dan mengetahui segala hal.
Hal tersebut bukanlah sebuah citra belaka. Itu bisa dibuktikan dengan tiga gelar master yang ia raih selama menempuh pendidikan. Ia juga pernah mengunggah foto di media sosialnya dengan tumpukan buku dan mengaku telah membaca lebih dari 100 buku selama setahun. Menurutnya, itu bukan hal yang biasa bagi seseorang yang bergelut di bidang militer. Bahkan ia pernah mengutip kalimat dari Leon Trotsky, seorang politisi Uni Soviet dan pemikir Komunis, saat mengunggah fotonya.
Dirinya yang hadir dari kalangan TNI, jika dibandingkan dengan calon lainnya dari ranah sipil, seperti oase di Gurun Sahara. Karena jika kita melihat ke belakang, hubungan antara militer dengan dunia perbukuan di Indonesia tak pernah berjalan harmonis. Terdapat semacam alergi bagi aparat militer jika berdekatan dengan dunia literatur. Mulai dari penggusuran perpustakaan jalanan oleh Kodam Siliwangi di Bandung, pembubaran paksa kegiatan-kegiatan bedah buku oleh aparat, hingga yang terakhir pembubaran perpustakaan jalanan di Universitas Muhammadyah Yogyakarta (UMY) beberapa waktu lalu menjadi ciri anti-intelektualisme.
Penggusuran dan pembubaran akan kegiatan literasi yang terjadi begitu saja membuktikan Pemerintah setempat gagal hadir dalam melindungi konstituennya. Walaupun belum pernah terjadi kasus serupa di wilayah DKI Jakarta, penulis kira Agus bisa menjadi garda terdepan dalam melindungi kebebasan mencari ilmu bagi masyakaratnya. Tentu sosok seperti Agus bisa menjadi pencerah bagi berbagai kegiatan literasi di DKI Jakarta untuk ke depannya. Memiliki wawasan luas dan berintelektual seharusnya menjadi nilai lebih. Paling tidak, ia memiliki otak yang bernas, daripada calon-calon yang lain.
Namun, sepertinya kita juga harus berantisipasi jika segala sesuatu tidak sesuai dengan kemauan. Penulis berharap jika Agus, sebagai individu yang gemar membaca, tidak lupa juga membaca sejarah. Dalam buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, Fernando Baez menjelaskan bahwa dalam sejarahnya sering terjadi pemberangusan atau pemusnahan buku-buku secara lini masa. Praktik tersebut, yang biasa disebut bibliosida, lazimnya dilakukan oleh penguasa. Ini merupakan sebuah cara homogenisasi masyarakat, membuat seluruh masyarakat menjadi seragam sesuai dengan kemauan penguasa. Bibliosida juga merupakan kegiatan anti-intelektualisme.
Tetapi, apakah dengan kegiatan anti-intelektualisme itu berarti sang penguasa adalah seorang kurang terdidik? Justru sebaliknya. Rene Descartes pernah meminta agar pembacanya membakar buku-buku lawas, filsuf David Hume juga meminta agar buku metafisika dibumihanguskan, belum lagi Adolf Hilter yang membakar seluruh buku-buku Yahudi dan komunisme. Jika dilihat dari nama-nama tersebut mereka adalah para cendikiawan, orang pintar, berwawasan luas, dan juga berintelektual.
Maka bisa dikatakan bahwa para pelaku bibliosida dimasa lalu sebenarnya merupakan penikmat buku itu sendiri. Mereka paham betul bagaimana kekuatan buku. Mereka mengerti apa yang akan terjadi dimasyarakat jika mereka hidup dengan buku. Namun orang-orang pintar ini hanya ingin ilmu-ilmu tertentu yang menjadi bahan rujukan pada masanya, karena itu bibliosida terjadi. Kegiatan anti-intelektualisme berakar sejak zaman dahulu.
Jadi, bisa kita membayangkan dua kemungkinan yang akan terjadi jika Agus berhasil menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Ia suka membaca buku, ia tahu kekuatan buku, ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk membentuk masyarakat sesuai dengan keinginannya. Ditambah lagi ia adalah seorang lulusan militer. Hal seperti ini yang sepertinya patut diwaspadai. Kita sebagai masyarakat harus bisa berantisipasi bahwa dengan terpilihnya Agus, kegiatan anti-intelektualisme seperti di Bandung dan Yogyakarta tidak akan terulang di Ibu Kota.
*Redaktur Pelaksana LPM Aspirasi UPN Veteran Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Mahasiswa Keluhkan Loker Perpustakaan FKIK yang Tak Berfungsi
Next post Evaluasi Dua Tahun Jokowi-JK