Menangkis Konten Hoax

Read Time:3 Minute, 34 Second
Oleh M. Fanshoby*
Penetrasi teknologi smartphone dan media sosial sekarang ini tak kurang membuat kita gembira dan tak jarang pula membuat kita prihatin. Gembira karena kita dapat saling berbagi kesenangan dan suka cita sedangkan prihatin karena mulai bertebaran informasi palsu atau biasa kita sebut hoax (dibaca: hoks). Informasi palsu itu mampu mengecoh dengan seolah-olah kita menganggapnya sebagai kebenaran. Sudah pun terkecoh, masih tetap saja membagikan konten hoax itu ke orang lain.
Perilaku membagikan konten hoax tidak bisa terhindarkan, karena bagi beberapa orang itu merepresentasikan sikap dan ide mereka. Jika sikap dan ide mereka memiliki kesamaan dengan konten tersebut, peduli amat itu hoax atau bukan. Mereka berupaya mengajak orang lain untuk memiliki sikap dan ide mereka dengan menggunakan konten yang belum tentu benar. Mirisnya, bagi beberapa orang percaya karena yang membagikan konten itu merupakan teman yang dikenalnya jujur.
Lalu bagaimana kita mengatasi itu? Konten hoax yang telanjur masuk ke beranda media sosial kita memang sedikit menganggu. Apalagi jika isinya menyebar kebencian seolah hidup hanya soal baik dan buruk atau hitam-putih antara kamu dan dia. Maka, rasa-rasanya kita perlu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi konten informasi yang kita terima. Kita harus bisa membedakan mana informasi benar dan mana informasi palsu.
Kebenaran di sini untungnya tidak serumit dalam perdebatan kebenaran pada kajian filsafat. Epistemologi, sebagai cabang filsafat, mengawalinya dengan mengajukan pertanyaan mendasar: bagaimana kita dapat memastikan bahwa yang kita ketahui adalah benar? Terlepas dari itu, setidaknya bermula dari pertanyaan seperti itu, kegundahan kita selama ini tentang kebenaran informasi akan dapat segera terjawab.
Untuk itu, kita cukupkan saja dengan mencoba memastikan kebenaran itu melalui verifikasi fakta. Asas verifikasi sebenarnya bukan hal yang baru dan hal yang rumit. Ini hanya sedikit membutuhkan tenaga ekstra untuk memeriksa ulang informasi yang kita dapat. Jika kita memiliki akses ke narasumber, tidak ada salahnya kita tanyakan langsung ke narasumber itu mengenai informasi yang kita terima. Karena usaha ekstra itu tidak sebanding dengan efek negatif konten hoax yang kita sebarkan. Di samping dapat merugikan orang lain, itu juga menurunkan kepercayaan orang lain terhadap diri kita sendiri.
Verifikasi fakta itu sebenarnya hal yang lumrah bagi seorang wartawan di perusahaan media. Namun dalam menangkis konten hoax, kita seolah-olah menjadi wartawan untuk diri sendiri. Dalam praktiknya, seorang wartawan harus berpegang teguh pada kebenaran. Urgensitas membicarakan kebenaran dituangkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme. Mereka menempatkan kebenaran sebagai prinsip pertama dalam jurnalisme dan sekaligus dianggap sebagai prinsip yang paling membingungkan.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel membahas secara detail persoalan ini dengan sangat menarik. Mereka menemukan dan merumuskan “kebenaran fungsional” sebagai pilihan. Kebenaran fungsional di sini merupakan kebenaran berdasarkan fakta sesungguhnya. Bagi kita, melakukan verifikasi informasi itu bagian dari upaya pencarian kebenaran fungsional. Sehingga kita pun tidak perlu ikut-ikutan menyebarkan informasi yang tidak sesuai fakta karena kita sudah memverifikasinya langsung.
Lalu bagaimana jika kita tidak memiliki akses ke narasumber untuk memverifikasi informasi yang kita terima? Kita bisa memulainya dengan melihat judul. Apakah ada unsur provokasi dalam judul itu untuk menyudutkan pihak tertentu? Karena pada dasarnya informasi itu hanyalah sebuah fakta yang bebas prasangka. Prinsip dalam memberikan informasi tidak jauh berbeda dengan prinsip praduga tak bersalah. Informasi hanya membeberkan fakta. Tidak perlu menyudutkan. Jika menyudutkan, itu sudah bercampur dengan opini dan pendapat orang lain yang memungkinkan berisi informasi palsu.
Tidak lupa juga kita memeriksa kanal atau alamat situs penyebar informasi itu. Beberapa kanal merepsentasikan kelompok tertentu yang biasanya menyerang kelompok lain. Sikap menyerang itu kerap mengaburkan fakta untuk mengajak orang lain memercayainya. Jelas kanal itu tidak bisa langsung kita percaya. Karena informasi yang dibagikan sudah tidak proporsional dan bercampur dengan pendapat orang lain. Tidak hanya itu, kita perlu perhatikan juga apakah kanal tersebut merupakan kanal yang sudah terverifikasi sebagai kanal berita resmi. Kredibilitas kanal berita resmi bisa memandu kita untuk mengetahui informasi yang sebenarnya.
Barangkali masih banyak cara mengidentifikasi konten hoax. Namun, poin penting dari menangkis konten hoax adalah senantiasa skeptis terhadap informasi yang kita terima. Bersikap skeptis atau ragu-ragu itu membimbing kita kepada fakta yang sebenarnya. Jika Descartes meragukan tentang ke-ada-an dirinya sehingga menuntunya kepada pernyataan, aku berpikir maka aku ada. Jadi, tidak ada salahnya kita ragu-ragu terhadap informasi yang kita dapat dengan harapan dapat menuntun kepada kebenaran.
* Mahasiswa Magister Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengelola Kanal 
islamilenia.com

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Berkeliling Pulau Nikmati Peninggalan Sejarah
Next post Ironi Lingkungan Hidup Indonesia