Emak, Aku Mabok Lift

Read Time:7 Minute, 1 Second

Oleh: Diana Lestari*
Suhu udara dingin masih membungkus tubuh pagi ini. Bahkan aku telah terbangun sebelum ayam jago berkokok dikejauahan. aku tertidur selama hampir 4 jam saja tadi malam. Mataku sulit berkompromi, sudah berusaha memejamkan mata, memaksanya agar tertidur, tapi apalah daya ketika seseorang dilanda kekhawatiran akan sangat sulit sekali berurusan dengan tidur. Setelah berjam-jam bergelung dengan teori dan latihan-latihan soal, pukul satu dini hari akhirnya aku tertidur. Dan seolah tubuhku telah terpasang alarm, aku terbangun dengan sendirinya pukul 4 pagi. Bergegas mandi, tepat setelah langkahku keluar dari kamar mandi, adzan subuh berkumandang merdu.
“Bay!” Aku memukul sembarang pantat Ubay yang tergulung selimut. Posisi tidurnya yang terkurab membuatku terkekeh geli. Belum lagi dengkurannya yang tidak kalah menggelikan. Ubay adalah teman terbaik yang pernah aku punya selama di kampung halaman. Dia telah lebih dulu merantau ke kota ini, menyewa kamar kos yang hanya berukuran 3 x 4 m2, cukup nyaman.
“Bay! Eiih.. hudang maneh, sholat subuh” Aku memukul sekali lagi pantatnya. Membangunkannya untuk shalat. Dia menggeliat, mengganti posisi tidurnya, merentangkan kedua tangan dengan posisi terlentang, tidur lagi. Aku menyerah, memutuskan sholat subuh lebih dulu.
Hari ini akan menjadi hari paling menegangkan bagi calon mahasiswa manapun. Tidak terkecuali aku. Sejak kedatanganku seminggu yang lalu ke kota ini, dengan memantapkan niat, aku sudah merasakan atmosfir ketegangan yang luar biasa. Selama seminggu itu pula aku habis-habisan menggenapkan usaha dengan mengikuti bimbingan persiapan tes masuk universtas, BIMTES orang-orang menyebutnya. Hanya 3 hari saja BIMTES itu berlangsung, tapi selama seminggu itulah aku tidak pernah berhenti belajar dan berdoa. Semoga aku lulus.
Aku tidak punya siapapun di kota ini, tidak ada sanak saudara yang tinggal di sini. Tapi aku sangat beruntung, karena teman terbaikku dengan senang hati menampungku sementara di sini selama aku bejuang mengalahkan soal-soal tes. Atau mungkin jika aku lulus, Ubay bersedia berbagi kamar kost-nya denganku. 
Pukul enam pagi aku sudah berangkat menuju kampus yang jaraknya kurang lebih 300 kilometer dari kos-kosan Ubay. Aku meninggalkan Ubay yang masih tertidur bagai batu. Dia hanya menggeram ketika menjawab ucapan pamitku. Semalam dia pulang hampir pukul 11 malam, Aku tahu dia sangat kelelahan akibat lembur kerja.
Hari ini kebetulan hari minggu, dia bisa tidur puas seharian. Ini hari pertama ujian tes  masuk universitas  jalur mandiri. Kampus telah ramai oleh lalu-lalang peserta tes. Langkahku terhenti persis di depan satu gedung kampus. Bagi orang kampung sepertiku, gedung ini sangat tinggi dengan ke 7 lantainya –-sempat-sempatnya aku menghitung jumlah latai itu. Aku mendongak, beracak pinggang, menatap lekat ketinggian gedung. Lantas bergumam dalam hati. Jepri…. kau akan lulus tes dan kau akan menjadi penghuni gedung ini, HARUS!  Semburat cahaya matari pagi menerpa dinding dan kaca-kaca gedung. 
Lima menit berlalu, aku baru menyadari telah mejadi pusat perhatian orang-orang disekitar. Aku segera menurunkan kedua tangan, memperbaiki posisi ransel yang sebenarnya baik-baik saja. Aku menghembuskan napas kencang, melanjutkan langkah kaki, mulai memasuki loby  kampus. Aku tiba di lantai paling bawah. 
Tepat di hadapanku sebuah televisi super datar dan tipis tergantung di atas langit-langit membawahi tangga, sedang memutar vidio profil kampus. Sekali lagi aku berdiri termangu menatap layarnya. Disebelah kiri dan kananku, sejumlah orang berkerumun di depan pintu yang terbuat dari logam atau sejenisnya. Dikedua sisi pintu itu ada sejenis tombol yang terbenam di tembok, berwarna merah menyala. Ah, bagiku semunya terasa asing. Semua serba baru. Aku segera celingukan, teringat sesuatu.
“Duh, mana ya kertasnya..” Aku merogoh seluruh kantong ranselku. Mencari selembaran kerta, yang berfungsi sebagai kartu peserta tes. jika tidak ada kertas itu aku akan gagal dan kalah, bahkan sebelum berperang.
Ahh.. ieu timu!” Akhirnya aku menemukannya. Aku segera membaca jejeran abjad dan angka dikertas itu, tertulis “FITK. Lt.07 -14”. Apa ini artinya? Aku kembali menatap Televisi datar itu. Ah sudah, sebaiknya aku bertanya. Aku segera mencari seseorang yang bisa aku tanyai. Tengok kanan dan kiri, kenapa semuanya perempuan. Aku gemetar, tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Orang-orang di televisi bilang, ini namanya nervous atau grogi. Sedikit banyak aku juga tahu bahasa orang kota, gaol.
Aku melangkah patah-patah, menghampiri salah-satu gadis berkerudung merah muda, baju hitam lengan panjang, mengenakan rok berwarna sepadan dengan kerudungnya. Di punggungnya teronggok ransel berwarna hitam. Dia salah satu gadis yang berkerumun di depan pintu logam yang masih tertutup itu, berdiri paling belakang. Jarakku hanya satu meter dengannya. Tangan kananku terulur, menyentuh sedikit bahunya.
“Mbak?”
“Ya?” Gadis itu menoleh ke arahku. Mataku terbelalak, gerakannya seolah Slow motion, tiba-tiba udara terasa berhembus lembut menerpa wajahku. Matanya besar dan sayu tapi tidak belo, alisnya tergores hitam alami, batang hidungnya kecil menopang kaca mata, bibirnya tipis, pipinya lembut merah merona, wajahnya tirus, manis sekali.
“Ada apa ya?”
Aku terperanjat terkejut, Asstagfirullahal’aziim… “eh,.. eeh ini mbak, saya mau tanya. Tulisan ini artinya apa ya?” aku segera menunjukan kerta peserta tesku. Dia meraihnya.
“oohh ini.. ini ruang tesnya, ada di lantai 7 ruang kelas no 14.” Dia mengembalikan kertas itu.
“ooh ruang kelas. Lantai 7 ya.” Aku kembali mengambil kertas itu darinya. “Terimakasih Mbak” Dia mengangguk, tersenyum tipis. Lantai 7? Aku balik kanan menatap tangga yang tergelantung televisi datar di atasnya yang sejak tadi tidak berhenti memutar ulang video profil kampus. Aku menelan ludah. Berdiri mematung, tiba-tiba…
“Mas!”
“Ya?” aku menoleh kearah suara. Gadis itu memanggilku. Apa dia ingin mengajakku berkenalan?
“Naik Lift saja. Ini sudah terbuka Liftnya.” Gadis manis itu melambaikan tangannya. Merangsek masuk ke dalam ruang yang sejak tadi pintunya tertutup lama.
“Oh, i-iya iya Mbak.” Aku bergegas ikut masuk, bergabung dengan sejumlah calon peserta tes yang semuanya perempuan. Ooh ini yang namanya Lift. Setahuku, Lift itu tangga yang berjalan sendiri..
Ada sekitar delapan sampai sepuluh perempuan di sini. Aku berdiri merapat ke sudut dinding Lift, menyempil. Gadis itu berada tepat di belakangku. Pintu logamnya berdesing mulai tertutup sendiri. Satu detik. Ruangan ini sedikit berguncang. Perlahan mulai naik, semakin lama semakin terasa cepat. Aku menelan ludah. Kenapa kepalaku terasa pusing? Lift terus berdesing naik. Tiga menit, kepalaku benar-benar terasa pusing. Lift belum juga berhenti. Empat menit, aku mual. 
Tanganku dingin, keringat merembes di dahi dan rambutku. Aku menunduk dalam, tanganku menekan-nekan dinding Lift. Lima metit, pintu Litf terbuka. Dua orang keluar. Aku tidak tahu persis ini di lantai berapa, yang aku tahu aku harus segera keluar dari ruangan kecil ini. Aku keluar mengikuti dua gadis tadi. Menghembuskan napas kencang berulang kali. Di sebelah kiri Lift berjejer kursi-kusri yang  terbuat dari besi lengkap dengan meja berbahan kayu, menghadap ke sebuah jendela berukuran besar yang terbuka lebar.
“Huhf huhf huhf huhf huhf huhf…” aku terduduk di kursi itu, beruntunglah tidak ada satu orang pun yang duduk di sini. Aku bisa leluasa bertingkah. Aku memedamkan wajahku di atas meja kayu. Perutku mual, kepalaku pusing. “Alamaaak… lier siraah.. Jepri payah.. ” mataku terpejam, tanganku sibuk memijat-mijat kepala. “Maak.. Jepri mabok lipt (maklum orang sunda, jadi F nya pake P).” Aku bergumam lemah. “Bahkan kamu baru memulai perjuangan ini Jepri.. Ahhh..”
“Maaf, Mas.”
Nya naon? iee sirah lier…” mulutku spontan nyerocos sebelum mataku melirik ke arah datangnya suara seruan “maaf” itu. “Ee..ehh.. Mbak?” aku terperanjat melihat wajah manis itu tertegun bingung. Dia berdiri di sebelah kiriku. Aku segera memperbaiki posisi duduk senormal mungkin. kami lama terdiam. aku sungguh gugup dan malu. apa dia tau, jika aku sedang mabok lift? Astaga, jika dia tau, habislah reputasiku. Kuno di mata gadis manis ini.
“ehh.. ini..” Akhirnya dia bicara. tangan kanannya terulur. “Kerta masuk tesnya tadi jatuh di dalam Lift.”
“O-oh.. iya. terimakasih.” tanganku patah-patah meraih kertas tes itu dari tangannya. sekali lagi gadis yang belum ku ketahui namanya ini menyelamatkan hidupku, lebih tepatnya menyelamatkan kesempatan tes ku.
“Kenapa turun dilantai ini? lantai 7 kan masih dua lantai lagi di atas.”
“ehh? oh, memang ini lantai berapa ya?” aku balik bertanya. jurus pamungkas agar tidak begitu mempermalukan diri sendiri. aku berusaha tersenyum ketir, melihat wajahnya yang masih menyisakan kebingungan menatapku.
“Ini baru lantai 5. Kelas saya juga di lantai 7. kalau mau kita sama-sama ke sana.” senyumnya terlihat semakin manis. ooooh.. gusti, gadis ini mengajakku? sekali lagi mataku terbelalak, ditambah sekarang hatiku ikut berdesir. Baiklah, aku harus berani menannyakan namanya.
Tanpa berpikir panjang, aku menerima ajakannya. Rasa pusing di kepalaku seketika hilang. tapi semoga aku tidak kembali mabok selama berada di dalam lift menuju dua lantai ke atas sana. Semoga tidak, toh hanya dua lantai saja.
 * Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Manajemen Pendidikan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
100 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Pesan Keras Aliran Cadas
Next post Tirani Identitas