Voice Phishing(Vishing) menjadi salah satu modus penipuan online. Pelaku yang menggunakan trik ini melancarkan aksinya dengan mengelabui calon korbannya melalui panggilan telepon, modusnya: mengaku sebagai petugas layanan bank. Untuk memulai aksinya, pelaku terlebih dahulu memancing korbannya dengan memintadata pribadi, kemudian sang pelaku akan menawakarkan dalih atau iming-imingpengembalian dana pajak, penukaran hadiah, serta aktivasi kartu kepada para calon korbannya.
Kasus vishing belakangan tengah menyasar salah seorang Staf Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (Pustipanda) Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Ihsan Nashihin. Kejadian ini berawal pada November 2020 lalu. Kepada Institut Ihsan mengaku pernah mendapat tawaran dari pihak Bank Negara Indonesia (BNI) untuk memegang kartu kredit.
Ihsan lantas menerima tawaran itu danmengaktivasi kartu sesuai prosedur. Sehari setelahnya, ia kerap mendapat telepon dari nomor yang mengaku-ngaku pihak BNI. Penepon tersebut, kata Ihsan, juga kerap menawarinya produk-produk asuransi. Karena sering dihantui oleh telepon tersebut, ia pun tak kuasa menahan rasa gusar. Pada Maret kemarin, Ihsan menjawab panggilan tersebut dan sontak ingin segera menutup kartu kreditnya.
Pada Selasa (6/4) sore, Ihsan lagi-lagi mendapat telepon atas nama BNI yang mengaku akan membantu penutupan layanan kartu kreditnya. Ihsan tak secuil pun menaruh rasa curiga lantaran penelpon itu tahu benar data dirinya. Dengan begitu, Ihsan pun bersedia memberikan data pribadinya.
Di luar dugaan, pasca kejadian itu, datanya justru disalahgunakan untuk transaksi ilegal toko online. Kerugiannya, ditaksirmencapai Rp15 juta. Akhirnya pada pekan lalu, Ihsanmemutuskan berkonsultasi dengan pihak kepolisian. “Senin depan akan membuat surat laporan polisi,” ucap Ihsan, Selasa siang (11/5).
Keesokan harinya, Ihsan melakukan pengaduan ke costumer serviceBNI cabang Ciputat. Di sana, Ihsanmeminta agar layanankartu kreditnya ditutup. Sayangnya,pihak BNI menerangkan bahwalayanan kartu kreditnya itu tidak bisa ditutup, kecuali Ihsan sudah melunasi seluruh tagihannya. Imbasnya, ia pun terus menerus diintai oleh panggilan-panggilan tak dikenal yang memintanya untuk melunasi tagihan tersebut.
Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadja, kendati persoalan tersebut masuk ke ranahperdata, tapi bisa menjadi delik pidana jika variabelnya berubah. Sejak awal ataubaru diketahui kemudian, memang ada perjanjian tertulis, namun disusupi kebohongan. Ditambah lagi, kata dia, apabila sang debitur berstatus gagal bayar atau wanprestasi, lalu menggerakkan orang untuk memberi utang atau menghapuskan hutang,maka kasus tersebuttelahmemenuhi unsur pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai penipuan.
Tak hanya debitur, lanjut Fickar, kreditur juga bisa terkena delik. Adapun unsurnya yakni jika krediturmemaksa debitur, menyebarkan berita bohong ihwal debitur, menggunakan kekerasan dalam merebut objek lain milik debitur, menculik debitur atau pelbagai tindakan lain yang berpotensi melanggar hak asasi manusia
Dalam kasus hukum perdata, kataFickar, hanya institusi pengadilan melalui mekanisme eksekusi yang berhak melakukan penagihan paksa. Mekanisme tersebut, dimulai dari peringatan untuk membayar utang (aanmaning), sita eksekusi atas barang jaminan lain milik debitur, hingga lelang dan membayarnya kepada kreditur. “Tidak ada kewenangan debt collector, tentara dan kepolisian dalam penagihan hutang,” pungkasnya pada Selasa malam (11/5).
Syifa Nur Laila
Average Rating