Teror Predator di Kampus Islam

Teror Predator di Kampus Islam

Read Time:7 Minute, 19 Second
Teror Predator di Kampus Islam
Sejumlah mahasiswa UIN Jakarta mengaku pernah dilecehkan secara fisik dan verbal. Pelakunya bervariasi, dari orang tak dikenal, hingga teman karib seperkuliahan.
Tangisan histeris terdengar nyaring dari sebuah kamar tidur perempuan muda. Dari ruangan lain, dua orang setengah baya bergegas mendatangi sumber tangisan itu. Dilihatnya anak perempuan yang mereka sayangi menangis di tempat tidurnya. Sembari berusaha menenangkan, ibu dan bapak itu terus bertanya mengapa anaknya menangis. Namun mereka tak kunjung mendapat jawaban. Putri mereka terus tersedu.
Ialah Sinta, bukan nama sebenarnya, mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dilecehkan orang tak dikenal lewat sebuah pesan singkat. Ketika itu, ia baru terbangun dari tidur. Lekas setelah terbangun, ia membuka notifikasi pesan singkat dari sebuah nomor anonim, 31 Agustus silam. Sial, seketika ia histeris–tak kuasa menahan tangis–usai membaca pesan itu. Tak disengaja, ia melihat foto alat kelamin pria, terpampang jelas. Karena syok, ia urung memberi tahu kejadian itu saat ditanya ibu dan bapaknya.
Menimpa Beberapa Korban di UIN Jakarta
Mahasiswi FITK lain, Ani–juga nama samaran, turut dikirimi pesan tak senonoh serupa. Tubuhnya seketika terbujur kaku. Ketakutan menyelimuti dirinya. Pesan itu membuatnya gelisah sepanjang malam dan membuatnya terjaga sampai pagi. “Aku merasa kasus ini harus dihentikan, karena beneran banyak korbannya,” ucap Ani pada Jumat (10/9).
Tiara–bukan nama sebenarnya, pun mendapat kiriman serupa, persis dialami Ani dan Sinta. Namun, karena sudah pernah mendapati modus serupa sebelumnya, Tiara memberanikan diri membalas pesan itu. Ia sempat menanyai tujuan pelaku, bahkan tak gentar mengancam akan melaporkannya ke pihak berwajib. Tiara, beserta sejumlah penyintas lainnya kemudian melaporkan kejadian itu kepada pengurus Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Pendidikan Fisika hingga Dewan Mahasiswa (Dema) FITK.
Aduan mereka mendapat respons positif. Esok harinya, Dema FITK lekas membuka formulir pengaduan bagi mereka yang dikirimi pesan jorok tersebut. “Kami akan kawal kasus itu hingga tuntas, sekaligus memberikan pendampingan kepada pihak korban,” tutur Fikri, Ketua Departemen Kemahasiswaan Dema FITK, Kamis (9/9).
Kasus ini pun sampai ke telinga jajaran Dekanat FITK. Kepada Institut, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FITK Khalimi mengaku, usai menerima aduan, pihaknya langsung menggelar pertemuan untuk membahas kasus tersebut. “Selanjutnya, kami akan membentuk tim information technology (IT) guna mengincar identitas pelaku,” ucap Khalimi, Jumat (10/9).
***
Berdasarkan penelusuran Institut, kasus kekerasan seksual berbasis gender online (KBGO) tak hanya sekali menimpa mahasiswa UIN Jakarta. Fira–bukan nama sebenarnya–adalah salah satunya. Kepada Institut ia bercerita, kejadian itu dialaminya ketika ia sedang membersihkan rumah. Tetiba muncul di layar ponselnya notifikasi direct message dari sebuah akun Instagram palsu. 
Mahasiswi Manajemen Dakwah ini mengaku tak tahu harus berbuat apa. Tubuhnya seketika mematung. Ia terkejut dan takut tatkala melihat foto alat kelamin pria dalam pesan tersebut. Tak hanya itu, foto cabul itu pun disertai dengan kalimat “minat gak, Mbak?” Saat itu pula, ia langsung memblokir akun tersebut.
Selang beberapa bulan, kejadian serupa terulang kembali, dialaminya di WhatsApp. Kali ini pelaku mengirimkan kata-kata tak senonoh. Seperti sebelumnya, ia pun langsung memblokir nomor tersebut. Fira juga tidak menceritakan pengalamannya itu kepada siapa pun. “Ini membuat saya trauma. Saat ada yang membicarakan hal mengenai seksual, langsung takut dan teringat kembali,” ujarnya, Senin (11/10).
Mahasiswi UIN Jakarta lainnya, salah satunya Nina, juga bukan nama asli, sempat mengalami KBGO. Suatu waktu, Nina sedang melakukan panggilan video dengan kolega sefakultasnya, sebut saja Bimo. Pembahasan seputar organisasi menjadi topik pembuka obrolan mereka, waktu itu.
Di tengah percakapan, Bimo menyeletuk, “Coba kancingnya (baju) dibuka satu lagi,”  kata dia sembari menatap pakaian yang dikenakan Nina. Nina terkejut. Dia lekas menutup panggilan itu. Berdasarkan penelusuran Institut, Bimo merupakan salah seorang mahasiswa senior di UIN Jakarta. Ia juga diketahui aktif di kepengurusan organisasi ekstra kampus.
Selain KBGO, Nina pun pernah mengalami pelecehan verbal. Suatu ketika, di dalam lift kampus yang berdesakan, Nina menyilangkan tangannya di dada. Namun seorang lelaki terus menatapnya. Nina heran dan bertanya mengapa lelaki itu terus menatapnya. Dengan nada kasar, lelaki itu menjawab, “Ya elah, punya lu kecil juga.” Mendengar ucapan lelaki itu, ia terkejut. “Saya merasa dilecehkan dan diobjektifikasi di bagian tertentu,” ucapnya.
***
Beberapa waktu lalu, aksi “begal payudara” juga sempat menggemparkan UIN Jakarta. Rara, lagi-lagi bukan nama sesungguhnya, adalah salah satu korbannya. Pada suatu siang, Rara sedang duduk menikmati santap siangnya seorang diri di kantin kampus. Di dekatnya lalu melintas seorang laki-laki. Seketika wajahnya pucat, spontan ia berhenti menyantap makanannya. Tak sekadar melintas, rupanya lelaki itu melecehkannya di bagian dada. 
Setelah lelaki itu hengkang, Rara hanya bisa mematung sambil menahan air mata. Ia pun tak ingat wajah lelaki itu. Tanpa rasa berdosa, lelaki itu pergi begitu saja ke arah berlawanan dari posisi duduk Rara. “Sampai saat ini saya masih teringat bagaimana rasa takut itu. Tetapi kalau melapor, takut pakaian saya yang disalahkan,” keluhnya, Rabu (13/10).
Perubahan Draf RUU PKS
Pada 30 Agustus 2021 lalu, tim tenaga ahli Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) resmi mengubah draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan menyusun draf baru. Tak hanya itu, nama beleid itu pun diubah menjadi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). 
Institut telah berupaya meminta konfirmasi ihwal perubahan draf tersebut kepada tim tenaga ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR. Wakil Ketua Komisi VIII DPR, TB Ace Hasan Syadzily, yang diketahui tergabung dalam tim penyusun draf baru tersebut, sampai sekarang belum menjawab pertanyaan yang dikirimkan Institut melalui WhatsApp
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, sekitar 80-an lebih pasal dihilangkan oleh DPR. Sejumlah definisi Kekerasan Seksual yang dihilangkan dalam rancangan itu, di antaranya: pelecehan dalam bentuk pelecehan seksual fisik dan nonfisik; perkosaan; pemaksaan aborsi; pemaksaan perkawinan; pemaksaan kontrasepsi; sterilisasi paksa; penyiksaan seksual; perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis siber atau KBGO. Padahal, kata dia, KBGO saat ini sedang marak terjadi. 
Berdasarkan penuturan Asfi, hak korban, keluarga korban, peran pendamping oleh lembaga layanan, juga keamanan bagi pendamping, pun ikut dihilangkan dalam draf terbaru itu. Ia tak melihat adanya isi yang mementingkan kebutuhan korban. Asfi menilai pasal-pasal yang diubah itu sama sekali tidak mencerminkan pengalaman korban, sekaligus tak memberikan perlindungan bagi korban.  
Oleh karena itu, Asfinawati menilai draf RUU PKS yang baru itu sudah tak sesuai. Ia meminta DPR untuk mengakomodir masukan dari ahli, terutama dari sisi korban dan pendamping. “RUU ini harus dibuat dengan mencerminkan apa yang terjadi di lapangan,” ucapnya kepada Institut, Jumat (1/10).
Menanggapi persoalan itu, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta Ulfah Fajarini justru punya pandangan lain. Sebelum diubah Baleg, Ulfah mengaku mendukung RUU PKS karena dinilai adil dan melindungi perempuan. Namun setelah drafnya diubah, ia pun tetap mendukungnya. Ia merasa jengah draf RUU PKS itu tak kunjung disahkan. “Ini lebih baik daripada tidak disahkan sama sekali,” ujarnya, Senin (20/9).
Untuk kasus pelecehan seksual di UIN Jakarta sendiri, berdasarkan penuturan Ulfah, penyintas bisa langsung melapor kepada pihak PSGA. Ia mengatakan, pihaknya telah menyiapkan pedoman khusus untuk membantu pemulihan trauma korban. “Pemulihannya baik, terarah, dan melindungi,” ucap Ulfah.
Batal Masuk Paripurna
Baleg DPR resmi menyetujui RUU TPKS pada 9 Desember 2021 lalu dan menyatakan bahwa RUU TPKS akan dibawa ke sidang paripurna pada 15 Desember 2021. Namun hal tersebut nyatanya tak pernah terjadi, karena RUU ini ditetapkan batal sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna.
Menanggapi hal tersebut, Ketua YLBHI Asfinawati mengungkapkan kekecewaannya. Kegagalan ini mengingatkannya pada kejadian tahun lalu, saat RUU ini juga gagal dibahas, karena DPR lebih mendahulukan UU Omnibus Law Cipta Kerja. “Jelas sangat mengecewakan, tapi saya tidak kaget. Karena pola DPR saat ini memang tidak mendengarkan kebutuhan masyarakat,” ungkapnya, Selasa (21/12).
Sama halnya dengan Dian Novita. Koordinator Divisi Perubahan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta ini pun mengungkapkan kekecewaannya pada DPR yang hanya mengeluarkan janji-janji tanpa ditepati. Ia mengatakan bahwa sudah selayaknya masyarakat sipil membuat suatu gerakan untuk merespon hal ini.
Walaupun begitu, Dian tetap optimis bahwa RUU TPKS akan masuk ke sidang paripurna 13 Januari 2022 mendatang. Ia berharap DPR dapat mendengarkan aspirasi masyarakat dan tetap memuat substansi RUU yang berpihak pada korban. Karena, menurutnya, Indonesia kini sudah darurat kekerasan seksual, sehingga harus segera ditangani. “Semoga pada 13 januari DPR tidak lagi membohongi publik agar RUU TPKS dapat masuk dalam sidang paripurna,” ujar Dian, Selasa (21/12).
Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021
Pada 31 Agustus 2021 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim resmi mengesahkan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis memberikan dukungan pada Permendikbud tersebut. Dalam Webinar “Membangun Sikap Keagamaan yang Mengedepankan Penghormatan Jiwa Korban Kekerasan Seksual (KS)”, Amany menuturkan bahwa  semua peraturan yang dibuat telah dipikirkan dan bertujuan untuk melindungi korban. “Jika ada yang kontra, bisa direvisi. Tetapi setiap peraturan seperti ini pasti menitikberatkan perlakuan terhadap korban,” pungkas Amany, Sabtu (20/11).

Sekar Rahmadiana Ihsan

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Demi Memberikan Pelayanan Terbaik Previous post Demi Memberikan Pelayanan Terbaik
Rape Culture Hantui UIN Jakarta Next post Rape Culture Hantui UIN Jakarta