Pengaruh email yang menghasilkan emisi karbon dianggap menjadi kontribusi krisis iklim di dunia.
Isu yang membahas pemanasan global belakang ini kembali mencuat di kalangan masyarakat. Gerakan menghapus email pun sudah beredar dan menjadi tendensi di media sosial. Banyak pengguna yang menyerukan untuk menghapus email sampah atau spam untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim. Krisis iklim terjadi akibat aktivitas manusia di abad 20 yang berkaitan dengan bisnis.
Mengutip dari Jurnal Reformasi Administrasi: Mewujudkan Masyarakat Madani,karya Meru Indra Kurnia Jati. Dengan judul Cukai Karbon Untuk Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan Di Indonesia. Perubahan tren karbondioksida serta suhu rata-rata udara ekstrim setelah revolusi industri menandakan bahwa saat ini sedang terjadi pemanasan global antropogenik, yaitu perubahan iklim berupa peningkatan suhu rata-rata permukaan Bumi yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Menurut laporan Global Humanitarian Forum tahun 2009, kerugian ekonomi sebesar kira-kira 125 miliar dólar AS diderita setiap tahunnya karena krisis iklim. Dilansir dari The God Planet, menerangkan bahwa hampir setiap harinya, 107 juta email terkirim. Rata-rata orang Amerika memiliki sekitar 500 pesan email yang belum dibaca, Akibatnya, setiap manusia menyumbang 0,3 gram CO2 . Berdasarkan emisi karbon, sumber tersebut juga memperkirakan bahwa rata-rata tahun mengirim email memancarkan sekitar 136 kilogram karbon dioksida, jumlah tersebut hampir sama dengan mengemudi 200 mil menggunakan mobil bertenaga gas.
Ketua Pemuda Tata Ruang (Petarung Kota) Yogyakarta Wahyu Aji, menuturkan bahwa satu email itu membutuhkan energi listrik untuk mengakses atau menampilkannya di gawai kita, melalui cloud atau penyimpanan awan, sedangkan penyimpanan awan membutuhkan listrik di server utamanya. Selain email, aplikasi media sosial pun juga menyumbang CO2 secara digital. “Jadi email itu sebenarnya masih sangat sedikit menyumbang CO2,dibandingkan dengan aplikasi media sosial lainnya,” tutur Wahyu, Selasa (19/4).
Wahyu juga menambahkan, bahwa gerakan menghapus email ini merupakan salah satu bentuk kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Hanya saja, kata Wahyu, akan jadi masalah bila gerakan ini dijadikan gerakan utama, sehingga gerakan yang lebih besar pengaruhnya terlupakan.“ Padahal masih banyak hal lain yang dapat dilakukan yang berdampak berkali kali lipat selain menghapus email, seperti penanaman pohon dan pengurangan polusi udara,” tutur nya, Selasa (19/4).
Hal sebaliknya dituturkan oleh Dosen Geografi Universitas Pendidikan Indonesia, Irena Novarlia. Ia menuturkan bahwa email yang memiliki keterkaitan dengan krisis iklim belum dapat dibuktikan secara signifikan kebenarannya. Ia juga membandingkan bahwa keterkaitan email dengan energi listrik belum seberapa dibandingkan dengan aplikasi yang platformnya lebih besar seperti media sosial, virtual meeting dan marketplace.
Irena juga menyampaikan kepada masyarakat, bahwa kita harus memprioritaskan keselamatan bumi dengan berbuat hal dari yang kecil dahulu agar dapat membawa pengaruh yang besar untuk keselamatan bumi, “ berbuatlah dari yang kecil dahulu, sehingga dapat menghasilkan pengaruh yang besar,” tutur Irena, Rabu (20/4).
Salah satu Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Naila mengutarakan alasan ia jarang menghapus email. Bagi Naila email kurang terlalu penting dibandingkan dengan aplikasi lain, sehingga ia tidak terlalu memperhatikan notifikasi yang ia terima, “Banyak aplikasi yang lebih baru dan canggih dibandingkan email, dan pesan email saya anggap itu kurang penting,” tutur Naila Selasa (19/4).
Mahasiswi UIN Jakarta lainnya, turut jarang menghapus email karena alasan yang sama seperti Naila. Namun ia beranggapan, jika ia mengetahui hal ini lebih awal, pastinya ia akan sering menghapus spam email. “Kalau saya tahu berita ini lebih awal, pastinya saya akan menghapus spam email untuk membantu melindungi bumi,” tutur Shintia, Selasa (19/4).
Reporter: Ken Devina
Editor: Syifa Nur Layla
Average Rating